Asarpin*
Lampung Post, 27 April 2007
TRADISI resital (membaca) al-Quran dalam Islam dinamakan tilawah. Bentuk resital yang paling populer di tanah air adalah pembacaan Alquran secara murattal, atau ritmik, yang juga sering disebut tartilan. Tradisi ini di negeri kita biasanya dilombakan dalam festival Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ). Dalam MTQ, yang ditonjolkan adalah al-Quran sebagai keindahan aural (keindahan yang didengarkan), bukan yang dituliskan. Bacaan al-Quran yang aural dilantunkan begitu merdu, begitu indah, seperti puisi kanonis yang kaya akan semesta metafora.
Dalam al-Quran memang terdapat banyak muatan puisi dan prosa. Kisah nabi Adam dan Hawa, kisah nabi Musa, Isa, Yusuf, Sulaiman, Daud, dan cerita kaum Ad dan Thamud, cerita Ashabul Kahfi, Ashabul Fil, Isra-Mikraj, merupakan kisah-kisah dalam bentuk prosa dan puisi. Hasil penelitian Shahnon Ahmad (1977) dari Malaysia menunjukkan ada sebanyak 227 surat Alquran yang merujuk para penyair, terutama penyair jahiliyah. Dalam surat-surat Makiyah (surat yang turun di Mekah), terutama yang pendek-pendek, struktur stilistik (gaya) dan bahasa sangat bertumpu pada struktur puisi. Kata alif, lam, mim, ya, ain, shod, menunjukkan stilistik yang sama dengan puisi.
Sudah banyak riwayat diceritakan bagaimana pesona keindahan bahasa dan stilistika Alquran yang mampu menggugah orang bahkan terpengaruh olehnya. Kisah masuk Islamnya pujangga al-Walid bin al-Mughirah yang diutus oleh suku Quraisy untuk berdialog dengan nabi Muhammad, kisah terpesonanya Umar bin al-Khattab terhadap al-Quran hingga ia masuk Islam, merupakan kisah tentang keindahan bahasa dan gaya Alquran. Ketakjuban masyarakat terhadap al-Quran muncul dari adanya semacam gairah akan kesusastraan. Kita masih ingat ketika al-Quran diturunkan, masyarakat Arab pada waktu itu sudah memiliki tradisi sastra yang kuat. Ketika masyarakat Arab menerima al-Quran pun senantiasa dikaitkan dan diuji dengan sastra, terutama keindahan bahasa, retorika, dan gayanya.
Keindahan al-Quran ketika dibacakan mengandung kekuatan sastrawi yang mampu membetot pikiran dan perasaan pendengarnya. Maka tak heran bila ada yang beranggapan bahwa Alquran mengandung kekuatan magis yang mampu memengaruhi orang yang membaca atau mendengarkannya. Ini tentu tidak mengherankan karena keindahan Alquran itu sendiri berasal dari yang Mahaindah. Allah sendiri Mahaindah dan mengagumi keindahan.
Jika Allah adalah Mahaindah maka sudah tentu firmannya juga indah. Kata al-Quran sendiri berarti bacaan, bacaan yang indah. Untuk mendekati Alquran yang indah disyaratkan dengan pendekatan yang mampu menguak tabir keindahannya. Dan ini sangat mungkin dilakukan dengan kajian sastra yang memang sangat apresiatif terhadap bahasa dan seni keindahan. Dengan kata lain, "mendekati" yang Mahaindah yang telah melahirkan firman yang sangat indah (al-Quran), sangat logis dengan pendekatan puisi. Manusia tak akan mampu "berjumpa" dengan yang Mahaindah dalam kondisi yang tidak indah atau kotor, karena itu untuk "menjumpai" yang Mahaindah dibutuhkan seperangkat alat yang indah atau minimal yang menghargai keindahan.
Amin al-Khuli pernah mengajukan metode pendekatan sastra dalam membangkitkan semesta metafora dalam Alquran. Seorang mufasir, kata Amin al-Khuli dan Nashr Hamid Abu Zayd dalam buku Metode Tafsir Sastra versi terjemahan bahasa Indonesia (Fakultas Adab Press IAIN (sekarang UIN) Yogyakarta, 2004) mau tak mau harus menggunakan ilmu-ilmu sastra seperti gramatika, metafora, gaya, agar mampu menghindari makna monolitik atas al-Quran, dan pada saat yang sama, mampu menghadirkan keragaman makna al-Quran itu sendiri.
Amin al-Khuli tidak sendirian, muridnya, Nashr Hamid Abu Zayd bahkan telah mengaplikasikan pendekatan teks dan metode tafsir sastra dalam menguak dimensi keindahan al-Quran. Jauh sebelum Amin al-Khuli, ulama tafsir yang menekankan bahasa dalam tindak penafsiran al-Quran adalah Muhammad Abduh (1848--1905) dan Thaha Husayn (1889--1973). Di Indonesia, tentu kita masih ingat H.B. Jassin dalam Al-Quran Bacaan Mulia dan Al-Quran Berwajah Puisi yang sangat heboh itu.
Adakah yang salah dengan cara seperti itu? Metode tafsir sastra atas al-Quran itu sendiri merupakan sebuah ijtihad. Bila kini banyak para ulama dan pemikir yang menggunakan pendekatan sosiologi, antropologi, psikologi, sejarah, filsafat, dalam menafsirkan al-Quran, dan banyak yang tak lagi keberatan, maka metode tafsir sastra atas al-Quran sangat mungkin dilakukan. Mengungkap makna terhadap ayat-ayat Alquran melalui pendekatan puisi atau prosa tidak berarti menempatkan al-Quran di bawah puisi. Justru dengan cara ini, keindahan al-Quran tidak semata-mata sebagai klaim sempit umat Islam, tapi akan memiliki landasan argumentasi pengetahuan yang kuat. Bila kita percaya bahwa al-Quran itu indah dan penciptanya Mahaindah maka pendekatan sastra yang menekankan sisi keindahan tak akan mampu menggerogoti kemukjizatan Alquran.
Bukankah jalan menuju ke pengetahuan tentang mukjizat Alquran senantiasa terpampang bagi siapa saja yang ingin mengetahui keindahannya. Pintu untuk bisa membuka rahasia kemukjizatannya betapapun kecilnya yang bisa dilakukan oleh manusia sangat mungkin dengan kajian sastra dan puisi khususnya. Mengapa puisi? Karena "puisi", kata 'Abd al-Qahir, akan mampu menjamin anda untuk tak terjebak pada akidah tunggal itu, seraya menganggap yang lain kafir, akan menjamin anda untuk tak melakukan kesalahan di dalam membuat klaim, menjaga anda untuk tak menjadi orang yang alim hanya secara taklid semata.
* Asarpin, Peminat Kajian Sastra
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/04/alquran-keindahan-aural-dan-puisi.html
Lampung Post, 27 April 2007
TRADISI resital (membaca) al-Quran dalam Islam dinamakan tilawah. Bentuk resital yang paling populer di tanah air adalah pembacaan Alquran secara murattal, atau ritmik, yang juga sering disebut tartilan. Tradisi ini di negeri kita biasanya dilombakan dalam festival Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ). Dalam MTQ, yang ditonjolkan adalah al-Quran sebagai keindahan aural (keindahan yang didengarkan), bukan yang dituliskan. Bacaan al-Quran yang aural dilantunkan begitu merdu, begitu indah, seperti puisi kanonis yang kaya akan semesta metafora.
Dalam al-Quran memang terdapat banyak muatan puisi dan prosa. Kisah nabi Adam dan Hawa, kisah nabi Musa, Isa, Yusuf, Sulaiman, Daud, dan cerita kaum Ad dan Thamud, cerita Ashabul Kahfi, Ashabul Fil, Isra-Mikraj, merupakan kisah-kisah dalam bentuk prosa dan puisi. Hasil penelitian Shahnon Ahmad (1977) dari Malaysia menunjukkan ada sebanyak 227 surat Alquran yang merujuk para penyair, terutama penyair jahiliyah. Dalam surat-surat Makiyah (surat yang turun di Mekah), terutama yang pendek-pendek, struktur stilistik (gaya) dan bahasa sangat bertumpu pada struktur puisi. Kata alif, lam, mim, ya, ain, shod, menunjukkan stilistik yang sama dengan puisi.
Sudah banyak riwayat diceritakan bagaimana pesona keindahan bahasa dan stilistika Alquran yang mampu menggugah orang bahkan terpengaruh olehnya. Kisah masuk Islamnya pujangga al-Walid bin al-Mughirah yang diutus oleh suku Quraisy untuk berdialog dengan nabi Muhammad, kisah terpesonanya Umar bin al-Khattab terhadap al-Quran hingga ia masuk Islam, merupakan kisah tentang keindahan bahasa dan gaya Alquran. Ketakjuban masyarakat terhadap al-Quran muncul dari adanya semacam gairah akan kesusastraan. Kita masih ingat ketika al-Quran diturunkan, masyarakat Arab pada waktu itu sudah memiliki tradisi sastra yang kuat. Ketika masyarakat Arab menerima al-Quran pun senantiasa dikaitkan dan diuji dengan sastra, terutama keindahan bahasa, retorika, dan gayanya.
Keindahan al-Quran ketika dibacakan mengandung kekuatan sastrawi yang mampu membetot pikiran dan perasaan pendengarnya. Maka tak heran bila ada yang beranggapan bahwa Alquran mengandung kekuatan magis yang mampu memengaruhi orang yang membaca atau mendengarkannya. Ini tentu tidak mengherankan karena keindahan Alquran itu sendiri berasal dari yang Mahaindah. Allah sendiri Mahaindah dan mengagumi keindahan.
Jika Allah adalah Mahaindah maka sudah tentu firmannya juga indah. Kata al-Quran sendiri berarti bacaan, bacaan yang indah. Untuk mendekati Alquran yang indah disyaratkan dengan pendekatan yang mampu menguak tabir keindahannya. Dan ini sangat mungkin dilakukan dengan kajian sastra yang memang sangat apresiatif terhadap bahasa dan seni keindahan. Dengan kata lain, "mendekati" yang Mahaindah yang telah melahirkan firman yang sangat indah (al-Quran), sangat logis dengan pendekatan puisi. Manusia tak akan mampu "berjumpa" dengan yang Mahaindah dalam kondisi yang tidak indah atau kotor, karena itu untuk "menjumpai" yang Mahaindah dibutuhkan seperangkat alat yang indah atau minimal yang menghargai keindahan.
Amin al-Khuli pernah mengajukan metode pendekatan sastra dalam membangkitkan semesta metafora dalam Alquran. Seorang mufasir, kata Amin al-Khuli dan Nashr Hamid Abu Zayd dalam buku Metode Tafsir Sastra versi terjemahan bahasa Indonesia (Fakultas Adab Press IAIN (sekarang UIN) Yogyakarta, 2004) mau tak mau harus menggunakan ilmu-ilmu sastra seperti gramatika, metafora, gaya, agar mampu menghindari makna monolitik atas al-Quran, dan pada saat yang sama, mampu menghadirkan keragaman makna al-Quran itu sendiri.
Amin al-Khuli tidak sendirian, muridnya, Nashr Hamid Abu Zayd bahkan telah mengaplikasikan pendekatan teks dan metode tafsir sastra dalam menguak dimensi keindahan al-Quran. Jauh sebelum Amin al-Khuli, ulama tafsir yang menekankan bahasa dalam tindak penafsiran al-Quran adalah Muhammad Abduh (1848--1905) dan Thaha Husayn (1889--1973). Di Indonesia, tentu kita masih ingat H.B. Jassin dalam Al-Quran Bacaan Mulia dan Al-Quran Berwajah Puisi yang sangat heboh itu.
Adakah yang salah dengan cara seperti itu? Metode tafsir sastra atas al-Quran itu sendiri merupakan sebuah ijtihad. Bila kini banyak para ulama dan pemikir yang menggunakan pendekatan sosiologi, antropologi, psikologi, sejarah, filsafat, dalam menafsirkan al-Quran, dan banyak yang tak lagi keberatan, maka metode tafsir sastra atas al-Quran sangat mungkin dilakukan. Mengungkap makna terhadap ayat-ayat Alquran melalui pendekatan puisi atau prosa tidak berarti menempatkan al-Quran di bawah puisi. Justru dengan cara ini, keindahan al-Quran tidak semata-mata sebagai klaim sempit umat Islam, tapi akan memiliki landasan argumentasi pengetahuan yang kuat. Bila kita percaya bahwa al-Quran itu indah dan penciptanya Mahaindah maka pendekatan sastra yang menekankan sisi keindahan tak akan mampu menggerogoti kemukjizatan Alquran.
Bukankah jalan menuju ke pengetahuan tentang mukjizat Alquran senantiasa terpampang bagi siapa saja yang ingin mengetahui keindahannya. Pintu untuk bisa membuka rahasia kemukjizatannya betapapun kecilnya yang bisa dilakukan oleh manusia sangat mungkin dengan kajian sastra dan puisi khususnya. Mengapa puisi? Karena "puisi", kata 'Abd al-Qahir, akan mampu menjamin anda untuk tak terjebak pada akidah tunggal itu, seraya menganggap yang lain kafir, akan menjamin anda untuk tak melakukan kesalahan di dalam membuat klaim, menjaga anda untuk tak menjadi orang yang alim hanya secara taklid semata.
* Asarpin, Peminat Kajian Sastra
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/04/alquran-keindahan-aural-dan-puisi.html
melalui http://media-dunia-sastra.blogspot.com/2011/02/alquran-keindahan-aural-dan-puisi.html