Jumat, 06 Desember 2013

Hakikat Manusia Dalam Matsnawi Jalal al-Din al-Rumi

“Karena itu, sementara dalam bentuk engkau adalah mikrokosmos,
pada hakikatnya engkau adalah makrokosmos.
Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah
padahal ranting itu tumbuh justru demi buah.
Kalau bukan karena mengharap dan menginginkan tubuh,
betapa pekebun itu akan menanam pohon.
Jadi sekalipun tampaknya pohon itulah yang melahirkan buah
(Tapi) pada hakikatnya (justru) pohon itulah yang lahir dari buah.”
(The Mastnawi 4:30)

Maulana Jalaluddin Rumi al-Balkhi adalah seorang arif besar. Beliau lebih dikenal dengan Maulawi Rumi, dan merupakan sastrawan Persia abad ke tujuh Hijriah. Salah satu karya masterpiece-nya adalah Matsnawi, yang isinya membahas tentang banyak hal. Dalam buku Menapak Jalan Spiritual, Murtadha Muthahhari mengatakan, “Matsnawi merupakan samudra filsafat dan irfan, yang sarat dan penuh dengan berbagai hal yang pelik yang bersifat spiritual, sosial dan irfan.”

Minggu, 01 Desember 2013

Beragam Tafsir Sastra Islam

Sastra Indonesia, ilustrasi
Sastra Indonesia, ilustrasi


                                                            

Oleh Afriza Hanifa
REPUBLIKA.CO.ID, Kebudayaan, kesenian, dan kesusastraan Islam ialah manifestasi rasa, karsa cipta, dan karya manusia dalam mengabdi kepada Allah.

         Ketika Cinta Bertasbih, Ayat-Ayat Cinta, Negeri 5 Menara, 99 Cahaya Langit Eropa, Rembulan Tenggelam di Wajahmu, dan Hafalan Shalat Delisa merupakan contoh beberapa novel fiksi Islami yang beberapa waktu terakhir menjadi bestseller di Indonesia. Sebagiannya bahkan difilmkan di layar lebar. Namun, novel hanyalah satu dari beragam jenis karya sastra. Pada masa lalu, sastra bernapaskan Islam lebih mendapat tempat dalam perkembangan masyarakat. Sastrawan Muslim mengambil banyak bagian dalam sejarah sastra Indonesia. Sebut saja, Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniri, Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Hamka.

Pencitraan Allah dalam Syair-Syair Hamzah Fansuri

     Sosok dan karya intelektual Hamzah Fansuri terus menerus menjadi perbincangan hangat di kalangan para pengkaji dan pemerhati sufis, sejarah Islam di Nusantara, dan sejarah sosial intelektual Islam di Indonesia. Sekalipun, dimunculkan dalam sosok yang dianggap kontroversial karena pandangan-pandangan atau cara mengekspresikan pandangannya yang berbeda, namun Hamzah Fansuri tetap memiliki akar sejarah dan intelektual dalam pararelisme sejarah dan intelektual Islam Indonesia. 
      Di bawah ini disajikan tulisan yang ditulis oleh Nab Bahany AS tentang  “Eksistensi Allah dalam Syair-Syair Hamzah Fansuri”. Di dalamnya konsepsi Allah dari Hamzah Fasuri dibedah dari berbagai segi, dan hasilnya adalah konsepsi Allah dari Hamzah Fansuri tetaplah monoteistik dan tidak keluar dari ajaran Islam mainstream.  


“Eksistensi Allah" dalam Syair Hamzah Fansuri
Nab Bahany As

Banyak dari kalangan Sejarawan, Sastrawan, dan Budayawan di berbagai belahan dunia yang menaruh minat untuk mengkaji perkembangan sejarah sosial intelektual Islam di Nusantara. Berbagai dinamika intelektual dan pergulatan sosial-budaya dalam perjalanan sejarah Islam di Nusantara dari zaman ke zaman ini memiliki daya tarik, akar sejarahnya sendiri, dan "semangat zaman"nya sendiri. Di antara tokoh Sufi dan Sastrawan terkenal di Nusantara (dan dunia Melayu) adalah sastrawan klasik dan ulama sufi terkenal dari Aceh, yakni Syeihk Hamzah Fansuri (1607). Dalam sejarahnya ia dikenal sebagai tokoh pelopor lahirnya kesusastraan Melayu Indonesia. Mengenai identitas Syeikh Hamzah Fansuri, sebuah syair yang disusunnya menyebutkan:

Engkau Bersama Sang Sahabat Sekarang

Aku Berharap, 
Aku mampu menunjukkan kepadamu, 
Ketika engkau kesepian, atau berada dalam kegelapan
Cahaya Mempesona Wujudmu Sendiri

(Hafidz al-Syirazi)

     Pada penggalan puisi di atas, Hafidz menggambarkan sebagian persiapan yang dibutuhkan untuk "Perjalanan Cinta" ruhaniyah, yakni sahabat (atau lebih utamanya adalah mursyid [sang guru]. Tanpa kehadiran sang guru, yang juga memosisikan diri sebagai sahabat, perjalanan menuju Sang Kekasih, akan sangat mungkin tidak terarah, terjal, dan tersesat. Oleh karena itu, keberadaan sang guru diperlukan sebagai pembimbing dan penunjuk jalan. Pada bagian lain, Dia mendesak kita untuk membuang perilaku-perilaku negatif yang telah menjadi kebiasaan dan sifat-isfat yang tidak perlu, yang hanya akan membebani diri kita. Untuk melakukan perjalanan ini, kita harus ringan, senang dan bebas untuk menari (menapaki perjalanan Cinta menuju sang Khalik)

Sumber:
  1. Daniel Ladinsky, Hafidz: Aku Mendengar Tuhan Tertawa, Surabaya: Risalah Gusti, 2005.

Selasa, 01 Oktober 2013

Potret Sastra Muslim Kita Kini

    Tulisan di bawah ini sangat menarik dan menggelitik untuk dicerna dan dikritisi. Di dalamnya digambarkan bagaimana ironi dialaketis antara variasi identitas yang dimiliki oleh pengkaji (sastra) telah memberikan variasi persepsi dan intertpretasi ketika melihat ajaran Islam dan  ekspresi pencapaian intelektualitas dan kultural dari kalangan Muslim. Selamat mencerna tulisan di bawah ini.


Sastra Islam Kita Kini
Oleh: Budi P Hatees

Para sastrawan kita, yang namanya selalu diapungkan setiap kali dibicarakan tentang sastra religius bernafas Islam,  senantiasa sibuk menulis karya sastra dengan teks-teks yang selalu tentang negasi hitam dengan putih. Hitam melambangkan jalan kejahatan dan  putih simbol dari jalan Allah.

Senin, 22 April 2013

Membaca Ulang Dunia Timur Lewat Karya Najib Kilani dalam "Melodi Kaki Langit"

 
Sumber Gambar: 
http://www.bukukita.com/Buku-Novel/Spiritualitas/105047-Melodi-Kaki-Langit.html


 
Latar Belakang Masalah 
           Karya sastra adalah hasil pengejawatahan berpikir kreatif-imajinatif seorang pengarang atas realitas sosial yang terjadi di sekelilingnya, baik yang memiliki hubungan sebab akibat langsung terhadap dirinya maupun yang terjadi di luar dirinya dan dituangkan dalam media yang dikehendakinya pula. Ia juga terkait dengan proses pengelolaan pengembaraan emosional dan imajinasi terhadap segala yang dirasa dan dialami dalam kehidupan fisik dan batinnya. Begitu pula dengan ide dan gagasan pengarang. Bersandar pada teori mimetik dan atau homologus, imajinasi pengarang lahir dari kondisi sosial yang dialami oleh pengarang itu sendiri, maka dari itu karya sastra yang dibuat seorang pengarang tentunya bersandar dan mencerminkan pada kenyataan sosial pada saat karya itu dibuat. Jika karya tersebut lahir dalam kondisi sosial yang baik maka karya sastra yang dihasilkannya akan baik pula, dan jika karya sastra tersebut lahir dalam kondisi sosial yang buruk maka karya sastra yang lahir akan buruk pula. Karya sastra dapat diposisikan sebagai representasi dari nilai, norma, dan tata perilaku dari masyarakat yang mengitarinya. 
          Sebuah karya sastra juga memiliki peran yang penting dalam masyarakat, selain merupakan refleksi dari kondisi sosial masyarakat, karya sastra juga memiliki kemampuan untuk menggugah perasaan orang lain untuk berpikir tentang kehidupan dan permasalahannya. Membangun sebuah konsep pemikiran melalui karya sastra ternyata mampu memberikan ruang kepada para pembaca untuk menelisik karya itu tidak hanya mengenai struktur dalam pembangunnya namun juga segala sesuatu yang berkaitan dengan gejala-gejala kemasyarakatan yang melingkupinya. Berbagai ideologi kemudian ditawarkan, salah satunya adalah wacana orientalisme yang dibangun Barat, yang kemudian membentuk konsep Barat yang dinamis dan Timur yang statis. Konsep Timur bukan lagi hanya menjadi bentukan letak geografis melainkan juga menjadi bentukan secara kultural, bahwa yang disebut Timur adalah konsep semua yang ada diluar peradaban Barat. Konsep Timur adalah sesuatu yang misterius namun juga segala sesuatu itu masih orisinil sehingga lebih dekat pada konsep surgawi. Dengan konsep itu pula muncul wacana East as the Paradise.

Kompleksitas Sosial-Budaya Yang Mengitari Perkembangan Sastra Muslim Modern di Wilayah Afrika


Sebagai salah satu produk budaya manusia, sastra dalam perkembangannya tentu senantiasa mengiringi perubahan dan perkembangan masyarakat pendukungnya. Kelahiran sastra di mana dan kapan pun berada tidak dapat dilepaskan dari masyarakat pembacanya. Kebermaknaan sebuah karya sastra lahir akibat adanya resepsi dari pembaca. Masyarakat pembaca dalam hal ini akan bisa melakukan resepsi maupun apresiasi, bila karya sastra itu menampilkan sesuatu yang tidak jauh dan asing dari kehidupan mereka, karena medium sastra, baik lisan atau tulis, adalah bahasa dan bahasa itu sendiri merupakan produk sosial. Tidaklah berlebihan, bila ada yang menyatakan bahwa karya sastra adalah sebuah “dokumen,” kesaksian tentang suasana hati dan pikiran masyarakat dan zaman penciptaannya (Taufik Abdullah, 1991: 45). Dengan demikian, bila masyarakat pendukungnya selalu dalam proses evolusinya maka tidaklah bisa diandaikan bahwa karya sastra yang dilahirkan atau yang mengawalnya tidak mengalami evolusi perkembangannya.