Rabu, 07 Desember 2011

Benarkah Nusantara Telah Dikenal di Jaman Nabi?

        Nama Andalas atau Swarnadwipa (untuk menyebut Sumatera) atau Jawadwipa (untuk menunjuk Jawa) telah dikenal di dunia Internasional, khususnya di Asia dan Timur Tengah. Ditemukan sejumlah data-data sejarah dan linguistik  (dan budaya) yang menunjukkan hubungan bilateral dan internasional antara kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan berbagai kerajaan di Timur Tengah, Asia Tenggara (sepanjang semenanjung Indocina) dan Asia (khususnya India dan China). Secara khusus, hubungan kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan kerajaan-kerajaan di Jazirah Arab dapat diurut hingga abad ke-3 SM, yakni berhubungan dengan kerajaan Saba. Komoditas kapur barus dan Java (kopi) merupakan dua komoditas andalan dari wilayah Nusantara ini. Hubungan ini terus berlanjut dari zaman ke zaman.

     Jejak sejarah menunjukkan berbagai dokumen sderhana yang dimiliki oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara dan kerajaan-kerajaan yang menajdi partnernya menunjukkan pengakuan eksistensi masing-masing kerajaan, dan pada beberapa kasus terjadi hubungan dagang (hubungan bilateral). Sementara, jejak linguistik dan  budaya menunjukkan adanya kesamaan (dan bahkan keterpengaruhan) bahasan dan budaya nusantara oleh bahasa dan budaya dari luar. Hal ini menunjukkan adanya hubungan manusia, bahasa, dan budaya antara Nusantara dan kerajaan-kerajaan lainnya di luar.
       Berdasarkan pada jejak historis, linguistik, budaya ini, sebagian pakar tentang "Sejarah Islam [di dunia Melayu dan Nusantara] menyebutkan bahwa "Nabi Muhammad saw. telah mendengar tentang dunia Melayu dan Nusantara ini". Bahkan, selebihnya, beliau mengutus beberapa sahabat untuk melakukan misi dakwah ke Dunia Melayu ini. Karenanya, kemudian muncul pendapat bahwa "Islamisasi Dunia Melayu dan Nusantara" telah dimulai sejak Nabi saw., yakni abad ke 7, langsung dari Jazirah Arab. Tulisan di bawah ini, berusaha mendeskripsikan mengenai pandangan tentang hal tersebut.

Benarkan pulau Sumatra [dulu bernama Swarnadwipa atau Andalas] telah dikenal oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam semasa hidup, serta telah dilalui dan disinggahi para pedagang dan pelaut Arab di masa itu? Pernyataan ini diungkap Prof. Dr. Muhammad Syed Naquib al-Attas di buku terbarunya “Historical Fact and Fiction”. Kesimpulan Al-Attas ini berdasarkan inductive methode of reasoning. Metode ini, ungkap al-Attas, bisa digunakan para pengkaji sejarah ketika sumber-sumber sejarah yang tersedia dalam jumlah yang sedikit atau sulit ditemukan, lebih khusus lagi sumber-sumber sejarah Islam dan penyebaran Islam di Nusantara memang kurang.

Menurut Syed al-Attas, ada dua fakta yang dapat digunakanuntuk sampai pada kesimpulan di atas, yakni: 
  1. Pertama, bukti sejarah Hikayat Raja-Raja Pasai yang di dalamnya terdapat sebuah hadits yang menyebutkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menyuruh para sahabat untuk berdakwah di suatu tempat bernama Samudra, yang akan terjadi tidak lama lagi di kemudian hari.  
  2.  Kedua, berupa terma “kāfūr” yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Kata ini berasal dari kata dasar “kafara” yang berarti menutupi. Kata “kāfūr” juga merupakan nama yang digunakan bangsa Arab untuk menyebut sebuah produk alam [semacam tonik, campuran untuk minuman berenergi] yang dalam Bahasa Inggris disebut camphor, atau dalam Bahasa Melayu disebut dengan kapur barus. Kata Kapur ini digunakan oleh al-Qur'an, misalnya dalam QS al-Insan [atau al-Dahr; surat ke 76] ayat ke-5. 
"Sungguh, orang-orang yang berbuat kebajikan akan minum dari gelas [berisi minuman] yang campurannya adalah air kapur" [QS al-Insan (76):5]

Masyarakat Arab menyebutnya dengan nama tersebut karena bahan produk tersebut tertutup dan tersembunyi di dalam batang pohon kapur barus/pohon karas (cinnamomum camphora) dan juga karena “menutupi” bau jenazah sebelum dikubur. Produk kapur barus yang terbaik adalah dari Fansur (Barus) sebuah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, yang terletak di pantai Barat Sumatra.
Dengan demikian tidak diragukan wilayah Nusantara lebih khusus lagi Fansur [Sumatra] telah dikenal oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dari para pedagang dan pelaut yang kembali dengan membawa produk-produk dari wilayah tersebut dan dari laporan tentang apa yang telah mereka lihat dan dengar tentang tempat-tempat yang telah mereka singgahi.
Dalam acara bedah buku “Historical Fact and Fiction” pada 13/11/2011) diselenggarakan oleh Islamic Studies Forum for Indonesia (ISFI) bekerja sama dengan Persatuan Pelajar Sulawesi Selatan (PPSS) di kampus International Islamic University Malaysia (IIUM), Prof. Dr. Tatiana Denisova, dosen di Departemen Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Akademi Studi Islam di Universitas Malaya Kuala Lumpur Malaysia, mengungkapkan kesetujuannya dengan al-Attas dalam penggunaan inductive methode of reasoning dalam mengkaji sejarah. Muslimah asal Rusia yang pandai berbahasa Melayu ini setuju dalam masalah ini berdasarkan pengalaman Denisova yang setiap hari menghadapi masalah kurangnya bahan-bahan dan kajian-kajian dalam bidang ilmu sejarah Islam di Nusantara, dan berdasarkan kenyataan konsep sejarah Islam yang tidak berasaskan pada konsep dan falsafah Islam. Lebih lanjut, mantan staf domestik di KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Rusia yang mendorong al-Attas menulis buku tersebut dan membantu al-Attas dalam menyediakan bahan-bahan tulisan untuk penulisan buku tersebut lebih lanjut menjelaskan menurutnya ada empat faktor penyebab minimnya sumber dan kajian sejarah Islam dan sejarah penyebaran Islam di Nusantara.

  • Pertama, sumber dan karya ilmiah sejarah Islam yang ditulis dalam huruf Jawi/Pego (Arab latin) oleh masyarakat Nusantara tidak begitu terkenal di kalangan ilmuwan Barat karena tidak banyak dari mereka yang pandai membaca tulisan Jawi.
  • Kedua, banyak sumber sejarah yang hilang atau tidak diketahui keberadaannya pada zaman penjajahan.
  • Ketiga, biasanya sumber-sumber sejarah yang ditulis masyarakat Nusantara dianggap oleh orientalis sebagai artifak sastra, sebagai karya dongeng atau legenda, yang hanya bisa dipelajari dari sudut filologi atau linguistik, dan tidak bisa diterima sebagai sumber sejarah yang sempurna dan benar.
  • Para orientalis hanya membicarakan dan menganalisa gaya bahasa dan genre, tetapi tidak memperhatikan informasi-informasi lain yang berkaitan dengan fakta sejarah berupa aktivitas ekonomi, undang-undang, aktivitas intelektual dan lain sebagainya.
  • Keempat, karena minimnya sumber dan kajian sejarah Islam Nusantara membuat para ilmuwan Barat hanya menggunakan sumber, kajian dan tulisan dari luar Nusantara termasuk dari Barat. Mereka tidak memperhatikan atau mungkin tidak tahu adanya bahan-bahan dan informasi yang terdapat dalam berbagai sumber sejarah Islam termasuk sumber-sumber sejarah dari wilayah Nusantara.
Dalam acara bedah buku yang dihadiri 120 orang mahasiswa dan mahasiswi IIUM yang berasal dari Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei tersebut. Prof. Dr. Abdul Rahman Tang, dosen pascasarjana di Departemen Sejarah dan Peradaban, Kulliyyah of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences di International Islamic University Malaysia, selaku pembanding menyatakan kajian sejarah Islam Nusantara yang dilakukan al-Attas dalam buku tersebut sebagian besar bersifat spekulatif.
Salah satu fakta spekulatif tersebut adalah hadits yang terdapat dalam Hikayat Raja Raja Pasai. Menurutnya, fakta-fakta tersebut bisa valid jika telah menjalani proses “verification of fact”. Namun Al-Attas tidak melakukan proses ini terhadap hadits tersebut. Muslim China warga Malaysia ini mempertanyakan status hadits ini dan mengkhwatirkan implikasinya terhadap pemikiran masyarakat Nusantara. Menurutnya, al-Attas melakukan inductive methode of reasoning secara tidak konstruktif.
Sedang Dr. Syamsuddin Arif, dosen IIUM asal Jakarta, selaku pembicara kedua dalam acara bedah buku tersebut mengungkapkan kesimpulan al-Attas di atas logis dan sesuai dengan fakta. Hal ini berdasarkan perjalanan pelaut dan pedagang Arab pada masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang pergi ke China. Untuk mencapai negeri China melalui laut tak ada rute lain kecuali melalui dan singgah wilayah Nusantara.
Lebih lanjut Arif mengemukakan berbagai teori dan pendapat tentang kapan, dari mana, oleh siapa, dan untuk apa penyebaran Islam di Nusantara beserta bukti-bukti dan fakta-fakta yang digunakan untuk mendukung pendapat-pendapat tersebut. Arif juga menjelaskan ilmuwan siapa saja yang memegang dan yang menentang pendapat-pendapat tersebut. Di akhir makalahnya, Arif mempertanyakan pendapat J.C. Van Leur yang pertama kali menyatakan bahwa penyebaran Islam di Nusantara dimotivasi oleh kepentingan ekonomi dan politik para pelakunya. Van Leur dalam bukunya “Indonesian Trade and Society” berpendapat, sejalan dengan melemahnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Sumatera dan khususnya di Jawa, para pedagang Muslim beserta muballigh lebih berkesempatan mendapatkan keuntungan dagang dan politik. Dia juga menyimpulkan adanya hubungan saling menguntungkan antara para pedagang Muslim dan para penguasa lokal.
Pihak yang satu memberikan bantuan dan dukungan materiil, dan pihak kedua memberikan kebebasan dan perlindungan kepada pihak pertama. Menurutnya, dengan adanya konflik antara keluarga bangsawan dengan penguasa Majapahit serta ambisi sebagian dari mereka untuk berkuasa, maka islamisasi merupakan alat politik yang ampuh untuk merebut pengaruh dan menghimpun kekuataan. “Namun, benarkah demikian? That’s a problem!”, ungkap Arif.
Suasana debat akademis di antara pembicara yang “pro dan kontra” terhadap karya al-Attas dalam acara bedah buku tersebut cukup memanas tetapi tetap mengedepankan akhlaqul karimah dan mengedepankan rasio dibanding emosi. Begitulah semestinya debat ilmiah para ilmuwan Muslim.


Sumber: */Abdullah al-Mustofapenulis peneliti ISFI (Islamic Studies Forum for Indonesia) Kuala Lumpur, Malaysia, Jum’at, 9 Desember 2011. Dalam http://yasirmaster.blogspot.com/2011/12/benarkah-nusantara-telah-dikenal-di.html

3 komentar:

  1. ,,BissMillahi..

    AssalamuAlaykum Bpk Dadan ^_^..SubhannAllah Indah sekali Pembahasan Bedah Bukunya Bpk,,,Salam Salam Semesta Salam Bpk ^_^.." Apakah yg Menjadi penyebab Keraguan atas Itu & Menjadi Pertanyaan yg Membawa Kepada Perdebatan ???..Apakah yang tidak diketahui(SAW) yang di Diri Beliaulah(SAW) Seluruh Induk Ilmu Pengetahuan bermuara,,,yang Orang-orang dari Zaman Awal Sampai Nanti Zaman Akhir Masih Terus Menulis/Mengkaji & Menkaji Tanpa Mampu Menjelaskan dengan Sempurna Melainkan Secuil darinya.." SyukurHamdAllah ya Bpk...Semoga Saja Qita Semua diHantarkan kepada Pengetahuan yang Sebenar-benarnya Mengenai Sejarah - Sejarah..InsyaAllah..InsyaAllah..Aamiin..Salam Hormat Saya Bpk jg buat Bpk2 Prof Semua ya Bpk ^_^..Salam CINTA Semesta Salam..

    BalasHapus
  2. Syukron atas kunjungannya. Semoga bermanfaat dan menjadi kebaikan bagi semulia-mulianya kehidupan manusia [rahmat li al-'alamin]. Karena pengetahuan adalah "Cahaya Tuhan", dan cahaya Tuhan haruslah diperoleh dengan hati yang bersih, jiwa yang tenag [muthmainnah], dan usaha dari para pencari kebenaran [salik].

    BalasHapus
  3. Bahwa Nusantara telah dikenal pada masa Rasulullah adalah sangat mungkin, karena kafilah-kafilah dari negara-negara Arab telah singgah di Nusantara sebelum abad ke-3 M. Oleh karena itu, wilayah-wilayah di Nusantara sangat mungkin dikenal oleh sebagian orang Arab, termasuk Rasulullah... Namun, persoalannya apa keuntungan dari dikenalnya Nusantara oleh Rausulullah? sebaliknya, apa kerugiannya apabila Rasulullah belum mengenal Nusantara?

    BalasHapus