Khaled Khosseini adalah salah satu penulis Amerika, kelahiran Afghanistan. Salah satu novel magnum opus dari Khaled Khosseini adalah The Kite Runner.
Waktu kecil Amir & Hassan senantiasa bersama. Ibu Amir telah
meninggal saat melahirkan Amir. Ayahnya seorang yang berpengaruh dan
dihormati dalam masyarakatnya. Ayahnya seorang pria sejati, pemberani
dan berkemauan keras. Kenyataan bahwa karakter Amir jauh dari pandangan
ayahnya tentang pria sejati membuat jarak antara mereka. Amir yang
penggemar sastra, pandai membuat cerita. Tapi bukannya ayahnya, malah
Rahim Khan, sahabat rekan bisnis ayahnya yang memberikan apresiasi atas
kepandaiannya ini. Selama ini, Rahim Khanlah yang dapat menyelami
perasaan Amir atas sikap keras ayahnya. Harapan ayahnya, puteranya
pandai sepakbola dan kegemaran lain semacamnya yang lebih 'bersifat
lelaki'. Amir kecil menjadi merasa dirinya tak cukup baik bagi ayahnya,
bahkan berprasangka ayahnya membencinya karena ia membunuh ibunya.
Hassan dan ayahnya, Ali, sebagai pembantu keluarga Amir tinggal di gubuk
kecil di belakang rumah Amir yang besar. Ibu Hassan adalah seorang
penari cantik yang kabur setelah melahirkan Hassan. Hassan memiliki
segala hal yang dapat membuat anak-anak berandal seusianya mencemoohnya.
Ia keturunan Hazara, sebuah etnis minoritas yang dalam masyarakatnya di
anggap rendah. Ia juga berbibir sumbing, dan ayahnya menderita polio.
Meski Amir dan Hassan layaknya kawan bermain yang akrab, tapi kenyataan bahwa Amir adalah tuan dan Hassan adalah pelayan mewarnai persahabatan mereka. Tanpa diminta, Hassan selalu bertanggungjawab atas kenakalan mereka yang sebenarnya muncul dari ide Amir. Hassan anak yang cerdas dan berbakat, hanya saja ia tak bersekolah. Amir menyadari bahwa bakat Hassan melebihi dirinya. Ayah Amir juga sangat menyayangi Hassan. Hal ini membuat Amir memendam iri dan kerap berbuat tak adil terhadap Hassan, yang selalu bersikap menerima dan tak pernah marah. Sikap inilah yang semakin membuat Amir marah pada dirinya sendiri, tapi melampiaskannya pada Hassan.
Titik terpenting yang sangat berpengaruh bagi kehidupan Amir adalah saat turnamen layang-layang pada musim dingin 1975. Turnamen ini sangat bergengsi dan diikuti dengan antusias oleh seluruh masyarakat. Turnamen baru berakhir jika di langit tinggal hanya satu layang-layang pemenang, tak peduli berapa lamanya pertandingan berlangsung. Layang-layang yang paling akhir terputus menjadi buruan paling dinantikan semua orang. Layang-layang itu menjadi simbol kebanggaan bagi yang berhasil menangkapnya. Momen ini menjadi sangat penting bagi Amir yang ingin merebut perhatian dari ayahnya. Jika dia berhasil menjadi pemenang, dan mendapatkan layang-layang terakhir yang putus... Kala ragu menjelang momen ini, Hassan selalu memberikan dukungan dan motivasi untuk meyakinkan Amir.
Dan Amir memang mendapatkannya, tapi dengan harga mahal. Ia berhasil menyingkirkan layang-layang lain hingga tinggal punyanya sendiri dan sebuah layang-layang biru tangguh yang lain di langit. Atas strategi arahan Hassan, akhirnya layang-layang biru itu putus juga. Segera Hassan bersedia mengejar dan tangkapkan layang-layang itu untuk Amir. Saat itulah kalimat itu terucap, "Untukmu, yang keseribu kalinya". Sebuah kalimat kesetiaan Hassan yang tak habis-habisnya untuk Amir.
Larin Hassan sangat cepat, hingga Amir tak bisa mengejarnya. Amir sembunyi saat melihat Hassan dengan layang-layang biru ditangannya, dihadang sekelompok anak berandal dipimpin Assef yang kejam. Dibalik persembunyiannya, ia saksikan semuanya. Assef memaksa Hassan serahkan layang-layangnya. Assef mendendam pada Hassan yang pernah mengancam menembakkan ketapel pada matanya untuk membela Amir. Assef janji akan membebaskannya jika Hassan serahkan layang-layang. Tapi Hassan tak bergeming. Baginya, layang-layang itu untuk Amir. Batin Amir bergejolak, apa ia akan membela Hassan seperti Hassan membela dia, dan kesampingkan bahaya? Tapi ia terlalu takut. Ia tidak kesana, sampai hal mengerikan terjadi. Hassan disodomi oleh Assef.
Sejak itu semua berubah. Amir tak bisa mengusir rasa bersalah. Ia bertanya-tanya adakah Hassan tahu, ia melihat semuanya? Meski Hassan bersikap biasa padanya, Amir tak bisa mengimbanginya. Tak tahan, Amir merasa perlu berjauhan dengan Hassan. Ia malah merancang sebuah tuduhan agar Hassan diusir. Meski ayahnya tak mau mengusir mereka, Hassan dan Ali tetap pergi. Dan hidup Amir justru semakin hampa.
Waktu berlalu, Amir dewasa kini tinggal di San Fransisco. Sejak pendudukan Rusia ke Kabul, Amir dan Ayahnya meninggalkan tanah air. Banyak hal telah dialami, ketegangan di pengungsian, jatuh miskin, usaha ayahnya untuk membiayai hidup di negeri orang dan sekolah Amir, hingga Amir menikah namun tak kunjung punya anak, sampai ayahnya wafat. Sebuah telepon dari Rahim Khan mengembalikan seluruh memori traumatis masa lalunya. Afganistan masih bergejolak dan tengah diduduki Taliban, tapi Rahim Khan justru memanggilnya kesana.
Orang seperti Amir mau meninggalkan San Fransisco yang nyaman & justru kembali ke tanah kelahiran yang sama sekali tak aman? Keputusan itu memang gila, tapi akhirnya Amir tahu itulah yang terbaik yang harus dilakukan untuk menebus dosanya. Seperti kata Rahim Khan, ”Ada jalan untuk kembali baik, Amir”.
Amir mendapati kebohongan terbesar selama hidupnya dari almarhum ayahnya sendiri, yang mengatakan bohong adalah mencuri kebenaran, dan mencuri adalah satu2nya dosa yang ada di dunia. Kebenaran justru terungkap dari Rahim Khan, bahwa Hassan adalah saudara tirinya, hasil perselingkuhan ayahnya dengan istri Ali. Hassan dan istrinya sudah syahid, hanya meninggalkan sepucuk surat dan sebuah foto ia dan puteranya. Misi Amir ke Afghanistan adalah mencari anak Hassan, Sohrab dan membawanya menjauh dari segala kengerian yang kerap terjadi bagi anak-anak dalam kondisi perang.
Tentu tak semudah itu. Tapi Amir menjalaninya, menyaksikan negeri kelahirannya menjadi puing, merasakan seluruh kenangan masa kecilnya yang jauh, bahkan harus berhadapan dengan ketua Taliban yang berbahaya. Demi Sohrab, ia menempuh seluruh kesulitan. Bahkan saat Sohrab tak pernah lagi tersenyum, terhapus kepahitan hidup yang terlalu berat bagi anak sekecil ia.
Meski Amir dan Hassan layaknya kawan bermain yang akrab, tapi kenyataan bahwa Amir adalah tuan dan Hassan adalah pelayan mewarnai persahabatan mereka. Tanpa diminta, Hassan selalu bertanggungjawab atas kenakalan mereka yang sebenarnya muncul dari ide Amir. Hassan anak yang cerdas dan berbakat, hanya saja ia tak bersekolah. Amir menyadari bahwa bakat Hassan melebihi dirinya. Ayah Amir juga sangat menyayangi Hassan. Hal ini membuat Amir memendam iri dan kerap berbuat tak adil terhadap Hassan, yang selalu bersikap menerima dan tak pernah marah. Sikap inilah yang semakin membuat Amir marah pada dirinya sendiri, tapi melampiaskannya pada Hassan.
Titik terpenting yang sangat berpengaruh bagi kehidupan Amir adalah saat turnamen layang-layang pada musim dingin 1975. Turnamen ini sangat bergengsi dan diikuti dengan antusias oleh seluruh masyarakat. Turnamen baru berakhir jika di langit tinggal hanya satu layang-layang pemenang, tak peduli berapa lamanya pertandingan berlangsung. Layang-layang yang paling akhir terputus menjadi buruan paling dinantikan semua orang. Layang-layang itu menjadi simbol kebanggaan bagi yang berhasil menangkapnya. Momen ini menjadi sangat penting bagi Amir yang ingin merebut perhatian dari ayahnya. Jika dia berhasil menjadi pemenang, dan mendapatkan layang-layang terakhir yang putus... Kala ragu menjelang momen ini, Hassan selalu memberikan dukungan dan motivasi untuk meyakinkan Amir.
Dan Amir memang mendapatkannya, tapi dengan harga mahal. Ia berhasil menyingkirkan layang-layang lain hingga tinggal punyanya sendiri dan sebuah layang-layang biru tangguh yang lain di langit. Atas strategi arahan Hassan, akhirnya layang-layang biru itu putus juga. Segera Hassan bersedia mengejar dan tangkapkan layang-layang itu untuk Amir. Saat itulah kalimat itu terucap, "Untukmu, yang keseribu kalinya". Sebuah kalimat kesetiaan Hassan yang tak habis-habisnya untuk Amir.
Larin Hassan sangat cepat, hingga Amir tak bisa mengejarnya. Amir sembunyi saat melihat Hassan dengan layang-layang biru ditangannya, dihadang sekelompok anak berandal dipimpin Assef yang kejam. Dibalik persembunyiannya, ia saksikan semuanya. Assef memaksa Hassan serahkan layang-layangnya. Assef mendendam pada Hassan yang pernah mengancam menembakkan ketapel pada matanya untuk membela Amir. Assef janji akan membebaskannya jika Hassan serahkan layang-layang. Tapi Hassan tak bergeming. Baginya, layang-layang itu untuk Amir. Batin Amir bergejolak, apa ia akan membela Hassan seperti Hassan membela dia, dan kesampingkan bahaya? Tapi ia terlalu takut. Ia tidak kesana, sampai hal mengerikan terjadi. Hassan disodomi oleh Assef.
Sejak itu semua berubah. Amir tak bisa mengusir rasa bersalah. Ia bertanya-tanya adakah Hassan tahu, ia melihat semuanya? Meski Hassan bersikap biasa padanya, Amir tak bisa mengimbanginya. Tak tahan, Amir merasa perlu berjauhan dengan Hassan. Ia malah merancang sebuah tuduhan agar Hassan diusir. Meski ayahnya tak mau mengusir mereka, Hassan dan Ali tetap pergi. Dan hidup Amir justru semakin hampa.
Waktu berlalu, Amir dewasa kini tinggal di San Fransisco. Sejak pendudukan Rusia ke Kabul, Amir dan Ayahnya meninggalkan tanah air. Banyak hal telah dialami, ketegangan di pengungsian, jatuh miskin, usaha ayahnya untuk membiayai hidup di negeri orang dan sekolah Amir, hingga Amir menikah namun tak kunjung punya anak, sampai ayahnya wafat. Sebuah telepon dari Rahim Khan mengembalikan seluruh memori traumatis masa lalunya. Afganistan masih bergejolak dan tengah diduduki Taliban, tapi Rahim Khan justru memanggilnya kesana.
Orang seperti Amir mau meninggalkan San Fransisco yang nyaman & justru kembali ke tanah kelahiran yang sama sekali tak aman? Keputusan itu memang gila, tapi akhirnya Amir tahu itulah yang terbaik yang harus dilakukan untuk menebus dosanya. Seperti kata Rahim Khan, ”Ada jalan untuk kembali baik, Amir”.
Amir mendapati kebohongan terbesar selama hidupnya dari almarhum ayahnya sendiri, yang mengatakan bohong adalah mencuri kebenaran, dan mencuri adalah satu2nya dosa yang ada di dunia. Kebenaran justru terungkap dari Rahim Khan, bahwa Hassan adalah saudara tirinya, hasil perselingkuhan ayahnya dengan istri Ali. Hassan dan istrinya sudah syahid, hanya meninggalkan sepucuk surat dan sebuah foto ia dan puteranya. Misi Amir ke Afghanistan adalah mencari anak Hassan, Sohrab dan membawanya menjauh dari segala kengerian yang kerap terjadi bagi anak-anak dalam kondisi perang.
Tentu tak semudah itu. Tapi Amir menjalaninya, menyaksikan negeri kelahirannya menjadi puing, merasakan seluruh kenangan masa kecilnya yang jauh, bahkan harus berhadapan dengan ketua Taliban yang berbahaya. Demi Sohrab, ia menempuh seluruh kesulitan. Bahkan saat Sohrab tak pernah lagi tersenyum, terhapus kepahitan hidup yang terlalu berat bagi anak sekecil ia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar