Selasa, 28 Februari 2012

A Thousand Splendid Suns, Khaled Khosseini: Resensi

        Selain The Kite Runner, salah satu karya Khaled Khosseini yang tak kalah menariknya adalah A Thousand Splendid Suns. Buku ini dipublish pada tahun 2007 dan mendapat pujian dari banyak kalangan, termasuk Kirkus, Publishers Weekly, Library Journal, and Booklist, serta menduduki karya popoler di Amazon.com

                      
                                Sumber: en.wikipedia.org                         Sumber: swotti.com


-------------- 
 Resensi Oleh Iswanto

Kata kata yang selalu diucapkan ibu kepada Mariam : “ Hati pria sangat berbeda dengan rahim ibu, Maria. Rahim tak akan berdarah ataupun melar karena harus menampungmu”. “Hanya akulah yang kaumiliki di dunia ini, dan kalau aku mati, kau tak akan punya siapa-siapa lagi. Tak akan ada siapa pun yang peduli padamu. Karena kau tidak berarti! Selalu dan selalu kalimat itu terucap dari ibunya setiap Mariam bersikeras ingin berjumpa dengan Jalil. Seorang ayah yang tak pernah sah mengakuinya sebagai anak.


Kenekatan Mariam menemui ayahnya (Jalil) pada akhirnya harus dibayar mahal. Dia mendapati sosok tubuh yang tidak bernapas, sosok mayat ibunya yang gantung diri secara diam-diam karena kenekatan anaknya. Kehidupan Mariam sontak berubah. Dengan hidup sendiri dia sekarang menapaki kehidupan yang semakin pahit. Diakui sebagai anak haram, menjalani kepasrahan dengan perkawinan yang dipaksakan, perihnya hati karena perlakuan suami. Kepahitan yang dijalani ternyata juga ada asa sebagai mentari yang muncul yang bias dijadikan surga dalam menghadapi kehidupannya.


= = = = = = = = = = = =


Itulah sepenggal sinopis dari novel ber judul A Thousand Splendid Suns, karya Khaled Khosseini. Sebuah novel bergenre fiksi-drama yang ditulis tahun 2008, setebal 508 yang diterbitkan Qanita (Mizan Grup).


Novel berkisah awalnya dari dua orang manusia yang bernama Mariam dan Nana. Mereka hidup pada satu “kesalahan” paradigma budaya di tanah Afghan, sehingga mereka harus hidup dalam lingkup keterbatasan konsekwensi budaya dengan label “harami”. Anak haram yang melekat pada Mariam hasil buah tindakan ibunya, Nana, dengan seorang laki-laki yang bernama Jalil. Seorang laki-laki sebagai ayah biologis Mariam, tetapi laki-laki itu tidak pernah secara syah mengakui Mariam sebagai anaknya.


Kerinduan sang anak kepada ayahnya, telah menimbulkan tindakan nekad untuk menemui sang bapak, tetapi keinginan kuat itu tidak diijini ibunya dan ditentang keras olehnya.


Mariam suatu ketika nekad menemuinya, tetapi kenekatan itu pada akhirnya harus dibayar mahal dengan hilangnya nyawa seseorang yang selama ini menjadi teman hidupnya. Nana , ibunya kedapatan telah gantung diri dan Marian begitu menyesalinya dengan kepergian ibunya itu.


Waktu berikutnya, Mariam harus menjalani kehidupannya sendiri ditengah-tengan kerasnya kehidupan di tanah Afghan. Di tanah ini tak seorangpun yang peduli pada dirinya karena dia anak “harami”. Mariam terus menapaki kehidupan dengan mengais cinta dalam kegersangan siang dengan latar belakang kehidupan Afghanistan yang “keras”, aroma mesiu dan hentakan dentuman yang khas, Mariam juga masih menaruh asa dalam cengkraman angina malam yang begitu dingin menyengat.


Satu novel dari sang penulis yang cukup enak dibaca setelah buku pertamanya The Kite Runner.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar