“Karena
itu, sementara dalam bentuk engkau adalah mikrokosmos,
pada
hakikatnya engkau adalah makrokosmos.
Tampaknya
ranting itu tempat tumbuhnya buah
padahal
ranting itu tumbuh justru demi buah.
Kalau
bukan karena mengharap dan menginginkan tubuh,
betapa
pekebun itu akan menanam pohon.
Jadi
sekalipun tampaknya pohon itulah yang melahirkan buah
(Tapi)
pada hakikatnya (justru) pohon itulah yang lahir dari buah.”
(The
Mastnawi 4:30)
Maulana
Jalaluddin Rumi al-Balkhi adalah seorang arif besar. Beliau lebih dikenal
dengan Maulawi Rumi, dan merupakan sastrawan Persia abad ke tujuh Hijriah.
Salah satu karya masterpiece-nya adalah Matsnawi, yang isinya membahas
tentang banyak hal. Dalam buku Menapak Jalan Spiritual, Murtadha
Muthahhari mengatakan, “Matsnawi merupakan samudra filsafat dan irfan, yang
sarat dan penuh dengan berbagai hal yang pelik yang bersifat spiritual, sosial
dan irfan.”
Pembahasan
tentang hakikat manusia adalah salah satu bahasan khusus yang dibahas oleh Rumi
dalam Matsnawinya. Memahami hakikat manusia sangatlah sulit bagi
sebagian dari kita. Padahal itu merupakan hakikat dirinya. Imam Khomeini pernah
mengatakan “Menjadi ulama itu gampang tapi menjadi manusia itu amatlah
sulit.” Dengan mengetahui esensi manusia akan mengantarkan seseorang kepada
pengetahuan akan Tuhan.
Allah
mengungkapkan tanda keagungan dan kekuaasaan-Nya melalui alam dan dalam diri
manusia. Sehingga kalau kita mengetahuinya dengan baik maka hidup kita pun akan
baik. Allah berfirman : “Akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat
(Tanda-tanda Kekuasaan) kami di ufuk (tepi langit) dan pada diri mereka
sendiri. Sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran ini sebenarnya (dari
Allah). Tidakkah cukup bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas tiap-tiap sesuatu.”
(QS. Al-Ankabut : 53)
Manusia
adalah makhluk yang unik. Hingga kini fisiknya saja masih diteliti dan masih
banyak rahasia yang belum terpecahkan. Telebih lagi dari sisi jiwanya. Yang
merupakan inti dari segala hal. Dalam hadis banyak disebutkan tentang keutamaan
ma’rifatun nafs ini (pengetahuan tentang hakikat diri). Misalnya, Imam
Ali berkata, “Barang siapa yang mengetahui hakikat dirinya, maka dia telah
mencapai puncak setiap makrifah dan ilmu.”, “Janganlah kalian bodoh dengan
tidak mengetahui hakikat diri kalian, karena kalau kalian bodoh dengan itu
berarti kalian bodoh dengan segala hal.”, “Cukuplah pengetahuan seseorang itu
kalau mengetahui hakikat dirinya dan cukuplah kebodohannya kalau tidak tahu
akan hakikat dirinya.”
Maulawi
Rumi adalah termasuk orang yang mengetahui hakikat dirinya, sehingga dia
mencapai puncak makrifat dan keyakinan. Sebagaimana yang diutarakan dalam
bait-bait syairnya. Dalam bait pertama dia mengatakan : “Karena itu,
sementara dalam bentuk engkau adalah mikrokosmos, pada hakikatnya engkau adalah
makrokosmos.”
Dari
segi fisiknya, manusia adalah bagian dari makrokosmos, karena kita hidup di
alam. Kita membutuhkan makan, kita membutuhkan air, kita perlu sayuran, kita
pun perlu untuk makan daging. Apakah kebutuhan kita akan semua itu secara fitri
dan tidak bisa dilepaskan sampai kapan pun ? Atau makanan hanyalah sebagai
penunjang saja agar kita bisa bertahan hidup ? Dan alam diciptakan sebagai
penunjang dalam hidup manusia ?
Rumi
mengatakan bahwa dalam hakikatnya manusia, (bukan fisiknya) adalah makrokosmos.
Kita adalah alam lain yang lebih besar dari alam ini. Sebagaimana perkataannya
Imam Ali, “Apakah kalian mengira kalian, hanya tubuh kecil ini,padahal
kalian adalah alam yang sangat besar.”Aneh memang manusia itu lebih banyak
meneliti hal-hal diluar dirinya sedangkan hakikat dirinya sendiri tidak pernah
diteliti, tidak pernah mencoba meneropong kedalam jiwanya. Selanjutnya Maulawi
Rumi menjelaskan lebih jauh dengan sebuah perumpamaan :
“Tampaknya
ranting itu tempat tumbuhnya buah,
padahal
ranting itu tumbuh justru demi buah.”
Beliau
umpamakan bahwa manusia itu ibarat buah, dan buah merupakan hasil akhir dan
harapan petani penanam buah. Sedangkan alam ibarat ranting, ranting tercipta
demi buah, ranting hanyalah sebagai wasilah untuk tumbuhnya buah. Jadi yang
paling penting itu adalah buahnya bukan ranting atau pun pohon. Sebagaimana
sering disebutkan dalam Al-Quran bahwa alam diciptakan merupakan tanda dari
kasih sayang Allah akan manusia. Agar manusia bisa memanfaatkannya untuk lebih
mendekatkan dirinya kepada Allah. Jadi inti dari itu semua adalah alam
diciptakan untuk manusia, yang harus dijadikan sebagai perantara untuk mencapai
ridha Allah.
Tapi
sayang berapa banyak dari manusia ini yang menjadikan alam, materi, kekayaan
sebagai tujuan bukannya sebagai perantara penghantar kepada Tuhan. Dan akibat
dari itu adalah penyimpangan dan keserakahan untuk mendapatkan kekayaan dengan
menggunakan segala cara. Kita terkadang melebihi binatang untuk mendapatkan hal
yang kita inginkan. Kita banyak melakukan penyelewengan dalam menggunakan alam.
Yang semestinya kita gunakan untuk kemajuan kemanusiaan kita malah
menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan demi menguasai alam. Sebagaimana Allah
berfirman, “Apabila kami berikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan
menjauhkan darinya (tidak berterima kasih) tapi apabila ia tertimpa kejahatan,
ia (berdoa) dengan doa yang panjang.”
Tubuh
kita hanyalah perantara, karena kita hidup di alam fisik, alam yang senantiasa
bebenturan dengan materi, Rumi melanjutkan : “Kalau bukan mengharap dan
menginginkan tubuh betapa pekebun itu akan menanam pohon.”
Pohon
hanya sebagai perantara sang petani untuk mendapatkan buah, karena buah tidak
mungkin ada tanpa adanya pohon. Begitu juga hakikat manusia itu tidak akan
bercahaya tanpa melalui perantara tubuh kasar ini, tubuh harus mengikuti ruh,
dan harus seiring dengan ruh,jangan sampai tubuh dan tuntutannya (hawa nafsu)
yang mengendalikan.
Kalau
kita pandang sekilas nampaknya kita bagian dari alam, kita tidak bisa lepas
dari alam, tapi kalau kita teliti dan mencoba menganalisis lebih jauh
rahasia-rahasia alam maka akan nampak dan akan kita ketahui bahwa alam
diciptakan untuk kita, alam berasal dari kita, alam sebagai pemandu dan
pengingat kita akan keagungan dan kebesaran sang pencipta, sepertinya pohon
tumbuh untuk melahirkan buah padahal pohon asalnya dari buah. “Jadi
sekalipun pohon itu tampaknya yang melahirkan buah (tetapi) pada hakikatnya
justru pohon itulah yang lahir dari buah.”
Maulawi
belum menerangkan secara rinci akan hakikat manusia, dia baru menerangkan bahwa
kita adalah alam yang lain (makrokosmos lain) dan bukannya bagian dari alam,
karena alam yang ini diciptakan demi cintanya Allah pada manusia sebagai bukti,
pengantar dan pengingat akan kebesaran-Nya.
Hakikat
manusia dalam kaca mata Rumi adalah debu, debu yang mengepul ketika kuda lewat,
debu yang mengecap sepatu kuda ketika kaki kuda menginjaknya. Debu yang diinjak
kaki sang kuda akan mengecap kaki kuda karena tidak mungkin jika debu diinjak
kaki kuda menimbulkan tanda dan cap yang lain, bukan kaki kuda. Manusia
seharusnya menjadi khalifah di alam dan bukannya perusak alam. Manusia
seharusnya merupakan Tajalli (Manisfestasi) dari keagungan
sifat-sifatNya. Manusia seharusnya menjadi khalifah dan duta kebesaran-Nya.
Adakah manusia yang seperti itu ?
Jelas
ada karena hakikat manusia yang sebenarnya adalah mereka, mereka yang sudah
mencapai maqam kedekatan kepada-Nya, merekalah orang-orang yang senantiasa
menjaga bumi, menjaga kelestarian alam dan penghuninya, merekalah yang
senantiasa mengingatkan kita kepada Pencipta alam yaitu Allah, merekalah para
Nabi, para Imam dan para aulia Allah.
Kita
harus menjadi debu di kaki-Nya. Karena seharusnya setiap individu adalah
menjadi debu di kaki-Nya. Agar kita menjadi hamba-Nya yang berserah diri
seperti para wali Allah, supaya kita menjadi mahkota diatas kepala raja,
keagungan di atas keagungan.
“…Setiap
individu adalah debu,
Hanya
telapak kaki kuda itu menjadi cap kaki-Nya di atas debu,
jadilah
debu di kaki-Nya demi cap kaki kuda itu
agar
engkau dapat menjadi Laksana mahkota di atas kepala raja.”
Namun
bagaimanakah caranya untuk mengetahui hakikat diri ini, setelah kita mengetahui
bahwa kita adalah makrokosmos dan alam sebagai wasilah kemudian hakikat
kita adalah debu di kaki-Nya ? Dan bagaimanakah agar supaya hakikat diri ini
senantiasa ada dan terpatri kuat dalam jiwa? Sehingga kita bisa menjadi mahkota
di atas kepala raja ?
Karena
mungkin saja banyak yang mengetahui hakikat diri tapi sayang hanya sekedar
isapan jempol belaka, karena makrifat ini memiliki standar dan ciri tersendiri
yang akan selalu tampak dalam sikap dan perbuatan kita sehari-hari, kita hanya
terbiasa melihat bulan yang ada di air. Kita terpaku dan terpana dengan melihat
indahnya rembulan yang ada di air padahal hakikat bulan ada di langit.
Maulawi
Rumi dalam perkataannya yang lain, menerangkan tentang cara untuk mencapai
makrifah diri ini, dia mengatakan bahwa untuk mencapai makrifah ini adalah
dengan cara Tazkiyatun nafs, membersihkan diri dari debu keegoisan,
mensucikan diri dari lumpur kemaksiatan dan mengosongkan diri dari selain-Nya.
Senantiasa menghiasi diri dengan mengingat-Nya.menerangi jiwa dengan selalu
berbuat baik, dan menanamkan asma-NYA dalam jiwa agar tidak gelap. Sehingga
dengan jelas akan terlihat jalan dan tidak pernah tersandung, jalannya akan
senantiasa lurus dan tidak pernah bengkok karena selalu dalam sinaran-Nya.
Hanya
dengan mengosongkan diri dari selain-Nya dan menghiasi jiwa dengan
keagungan-Nya kita bisa tahu siapa diri ktia, apa hakikat diri kita yang
sebenarnya. Kita harus senantiasa berkontemplasi agar tahu hakikat diri kita
dengan pasti. Rumi bertutur :
“Oh
sucikanlah seluruh jiwamu dari debu keegoisan
bebaskanlah
dirimu dari sifat mementingkan diri sendiri
sehingga
kau lihat sendiri hakikat dirimu bersih tanpa noda,
lihatlah
dalam lubuk hatimu pengetahuan para nabi
tanpa
buku, tanpa perantara, tanpa guru.”
Itulah
sosok Maulawi Rumi, Wali Allah yang telah mengetahui dirinya, telah
mengosongkan dirinya dari selain-Nya, telah sampai kepada kedudukan debu di
kaki-Nya. Sehingga dengan lancar dan gamblang menggambarkan kepada kita cara
mengetahui dan menjadi debu di kaki-Nya. Kita sebagai manusia yang tidak
mengetahui kebutuhan jasadi saja harus kembali merenungi perkataan sang
maulawi, agar kita seperti dia, menjadi debu di kaki-Nya.
Akhirnya
Maulawi mengungkapkan kekesalannya dengan mengungkapkan sebuah cerita, yaitu
dia merasa kesal karena tidak pernah bertemu dengan manusia. Dia hanya selalu
bertemu dengan hantu dan hewan-hewan yang menakutkan. Dia ingin sekali bertemu
dengan manusia. Dan ingin selalu mencarinya, walau pun butuh waktu yang lama.
Dia mengungkapkan kekesalannya dengan syairnya :
“Kemarin
sang tuan jalan-jalan keliling kota, dan lentera di tangannya. Ia berkata, “aku
bosan dengan hantu dan hewan, aku rindu bertemu manusia, hatiku jenuh melihat
sahabat patah semangat. Aku ingin melihat singa Tuhan rastam putra zal, mereka
berkata : “kami telah mencarinya dalam waktu yang panjang ia tak ditemukan ia
Menjawab, “Sesuatu yang tak ditemukan itulah yang senantiasa aku cari.”
Sumber : http://buletinmitsal.wordpress.com/about/hakikat-manusia-dalam-matsnawi-rumi/
yang mengutip dari Majalah Syi’ar
terbitan Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta
anda py facebook?
BalasHapus