Jumat, 22 April 2011

Menuju Pemahaman Tentang Sastra Muslim

Prolog
         Sastra adalah bagian dari seni merangkai kata dan makna, baik melalui lisan, tulisan, maupun kombinasi lisan dan gerak, untuk mengekspresikan dan menggapai inti keindahan, nilai-nilai universal, dan fenomena emosional, terutama kebahagiaan. Bagaikan cermin dari segala yang hidup di kalangan bangsa-bangsa di dunia, termasuk kaum Muslim, seni bersastra ini memantulkan dimensi-dimensi kehidupan kaum muslim, baik yang bersifat spiritual, sosial, politik, maupun yang lainnya, serta baik dalam tingkat individu maupun komunitas (ummah).  Oleh karena itu, pada satu sisi, aktivitas bersastra terkait erat dengan karakteristik kemanusiaan sendiri, artinya ia melekat dengan kehidupan-psikologis setiap individu manusia, yang kemudian membentuk karakter individu dan komunitas. Pada sisi lain, aktivitas bersastra berjalin kelindan dengan dimensi norma-norma dan nilai-nilai estetis, etis, metafisis, dan logis yang ada pada setiap individu dan komunitas tersebut.
      Karenanya, sebagaimana masyarakat lainnya, kehidupan masyarakat muslim tidaklah dapat dilepaskan dari aktivitas bersastra. Pertama, karena orang-orang muslim, terutama dalam konteks masyarakat bertradisi lisan (atau menurut kategori Jack Goody, masyarakat "bernalar lisan"), menjadikan sastra (adab) menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan keseharian mereka. Sastra bagi mereka adalah 1) media komunikasi (penyampaian pesan), 2) sumber nilai kemasyarakatan, 3) ukuran kompetensi kalangan terdidik, 4) ciri dari status sosial, dan 4) media hiburan. Kedua, aktivitas bersastra menjadi bagian dari perhatian dari pengembangan kebijakan pemerintah muslim, sejak dulu hingga kini, dan masyarakat muslim, terutama untuk menumbuhkembangkan budaya literasi. Ketiga, dunia sastra muslim membentuk "geo-politik-nya" sendiri, baik ia bagian dari "sub-kultur" dari heterogenitas kultural masyarakat muslim ataupun "sub-kultur" dari dunia sastra pada umumnya, maupun ia sebagai "dunia sastra otonom".   

 Pengertian Sastra
      Tidak mudah mendefinisikan sastra, karena banyak definisi yang telah diajukan para pemikir dan para ahli sebelumnya. Hanya saja, sebagai simpulan dari berbagai definisi sastra dapat diajukan batasan sebagai berikut. Sastra merupakan hasil karya kreatif seseorang dalam bentuk lisan, tulisan, dan aktivitas sebagai hasil dialognya dengan realitas, dalam bentuk puisi, prosa, drama, performansi, atau genre sastra lainnya. Dari definisi ini, terdapat beberapa kata kunci yang perlu dipahami.   
        Pertama, sastra merupakan "karya kreatif"; hal ini dimaksudkan bahwa karya sastra tidak hanya dibatasi pada "karya tulis", tetapi juga meliputi "karya lisan", karya dalam bentuk gerak [perform], dan karya lainnya yang merupakan hasil aktivitas-kreasi ["mencipta"]. Hemat saya, pemaknaan terbatas dari makna sastra sebagai "karya tulis" merupakan citraan atau persepsi "Barat" [Eropa dan Amerika]. Mereka mempunyai kata Literature [noun], yang berarti "huruf atau tulisan" untuk menunjukkan kata sastra. Darinya, mereka memaknai sastra hanya dengan "karya tulis". Sedangkan di Timur [setidaknya dalam tradisi India, Arab, dan Melayu], kata sastra [atau adab] tidak hanya dibatasi dengan makna "karya tulis', tetapi meliputi "aktivtas bersastra' dan "nilai" yang terkandung di dalamnya. Selain itu, orang Barat miskin dengan tradisi sastra lisan; sekalipun ada, kini, sastra lisan tersebut telah dituliskan atau telah menjadi sastra tulisan. Karenanya, mereka kemudian mengeluarkan "sastra lisan" dari cakupan batasan literature. Sedangkan, di Timur, produk sastra lisan masih sangat melimpah, demikian pula dengan tradisinya, relatif masih tetap bertahan.Karenanya, di Timur, sastra lisan menjadi bagian dari "bangunan sastra" itu sendiri.
        Kedua, bentuk karya kreatif ini meliputi "tulisan" [goresan, termasuk kaligrafi dan lukisan], "lisan" [sastra lisan, story telling, short story telling, deklamasi, dll], serta aktivitas bersastra. Dalam definisi sastra yang selama ini diperkenalkan, serta dalam pembelajaran sastra, aspek "aktivitas bersastra" sering diabaikan, sehingga dalam konteks di Indonesia, pembelajaran sastra dilakukan hanya dengan mengenalkan hasil produk sastra karya orang lain, dengan "membaca cerita, dongeng, dll" atau hanya sekedar apresiasi saja; Sedangkan aspek pengalaman membuat karyanya, yang melibatkan upaya eksplorasi aspek rasa [emosi] dan nalar-imajinasi, sangat diabaikan. Bahkan dalam kasus pembelajaran English (Bahasa Inggris], aspek sastra-nya dapat dikatakan hampir tidak ada; Jika tidak percaya, coba saja buka-buka saja bukud ajar bahasa Inggris dari mullai tingkat SD sampai PT, jarang--untuk tidak menyebut "tidak ada"-- ditemukan aspek sastranya; sebagian perancang kurkulum, penulis buku, dan bahkan guru bahasa Inggris berasumsi bahwa mempelajari aspek sastra dari bahasa Inggris sebagai "sulit" atau "tidak perlu'. Dari hal ini, wajar apabila beberapa ahli, seperti Chaedar Alwasilah, menyebutkan bahwa pembelajaran sastra di Indonesia
      Oleh karena itu, pemaknaan sastra yang diajukan dalam tulisan ini mencakup "karya kreatif berupa tulisan, lisan, dan aktivitas". Pemaknaan seperti ini, pada satu sisi, memiliki kelebihan yakni keluasan maknanya, tetapi pada sisi lain, akan semakin menyumirkan pemaknaan yang sudah ada. Hal terakhir menyebabkan mengukuhkan polemik tentang apakah "sastra" dapat dijadikan satu disiplin "ilmu" atau hanya sebatas "studies". Rene Wellek dan Austin Warren dalam Theory of Lietarture  (p 15) menyebutkan bahwa perlu dibedakan antara sastra (literature) dan studi sastra (literary study), “We must first make a distiction between literature and literary study. The two are distinct activities: one of creative, an art; the other, if not precisely a science, is a species of knowledge or of learning.”

Pengertian Muslim    
      Muslim merupakan identitas keagamaan (dan budaya) yang disandang oleh seseorang karena keterikatannya dengan tata nilai (dan agama) Islam. Ia yang merupakan eksteriosasi dari nilai-nilai dan kepercayaan yang dianutnya, terkait dengan pengakuan terhadap Allah yang Maha Esa dan Muhammad saw. sebagai Nabi dan Rasul terakhir; atau identitas bagi siapa pun yang mengaku menganut Islam, yakni Islam sebagai nama "agama", ajaran, dan "tata nilai". Dengan demikian, muslim merupakan indentitas keyakinan, sikap, dan perilaku bagi siapapun yang mengikatkan diri dan terikat dengan ajaran Islam.
      Secara sederhana, Muslim dapat diindikasikan oleh pengakuan seseorang tentang agamanya, yakni Islam. Selama ia mengaku bergama Islam, maka ia berhak disebut sebagai Muslim; atau selama ia telah bersyahadat, yakni mengucapkan asyhadu an-la ilaha Illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah,  maka ia adalah Muslim.  Dalam konteks sebagai identitas seorang sastrawan, hal ini berarti bahwa setiap sastrawan yang mengaku beragama Islam, maka ia berhak dilabeli sebagai sastrawan Muslim; dan karyanya dapat dilabeli sebagai "Sastra Muslim".

Pengertian Sastra Muslim      
       Penggunaan istilah sastra muslim masih dipolemikkan. Terhadap penggunaan term ini, terdapat tiga kelompok, yakni.1) kelompok yang setuju, 2) kelompok yang menentang, dan 3) kalangan yang moderat atau tidak jelas sikapnya. Hanya saja, dalam wacana kelompok kedua lebih vokal dibanding kedua kelompok lainnya. Bagi kalangan yang tidak setuju dengan penggunaan term "sastra muslim", ada sejumlah alasan tentang sikap mereka, yakni 1) sastra bersipat universal, dan dengan demikian dapat diapresiasi oleh siapapun, 2) penggunaan sastra muslim telah mengkotak-kotakkan sastra berdasarkan identitas agama, dan dengan demikian bertentangan dengan prinisp pertama.
       Namun demikian, sastra muslim adalah realitas. Pertama, penamaan "sejarah Islam" (Islamic History), "Budaya Islam" (Islamic Culture), Peradaban Islam (Islamic Civilisastion), dan lainnya  sangat umum digunakan dan diakui dalam berbagai cabang keilmuan. Jika term-term tersebut diterima, maka Islamic Literature harus juga dapat diterima. Kedua, adalah fakta bahwa masyarakat muslim memiliki tradisi bersastra yang unik dan massif, dengan demikian, keberadaan sastra tidak dapat dilepaskan dari masyarakat muslim dan sebaliknya. Dengan dua alasan ini, maka sastra muslim merupakan realitas ajeg yang dapat disejajarkan dengan sastra lainnya. Dalam tulisan ini, sastra muslim dapat dimaknai dengan tiga pengertian.  
      Pertama, sastra yang dikarang oleh orang-orang muslim [ini berarti identitas keagamaan pengarang yang menjadi patokan dari pengertian ini];
     Kedua, sastra yang berbicara tentang kehidupan dan budaya orang-orang muslim [ini berarti sastra yang berkonten kehidupan masyarakat muslim; tanpa peduli siapa pengarangnya]; 
    Ketiga, sastra yang berbicara tentang nilai-nilai yang dianut oleh kaum muslim [patokannya adalah nilai-nilai]; pada sisi ini, sastra muslim identik dengan sastra Islam(i)].
     Sebenarnya cukup banyak beberapa sastrawan muslim yang memberi istilah sendiri pada karya sastra yang dibuatnya yang mengarah pada "sastra Muslim". Istilah-istilah tersebut berakar pada wacana keimanan atau religiusitas yang dibawanya. Ada yang menyebutnya sastra pencerahan (Danarto), sastra profetik (Kuntowijoyo), sastra sufistik-Islam (Abdul Hadi WM), sastra zikir (Taufiq Ismail), sastra dunia dalam M. Fudoli Zaini), sastra transenden (Sutardji Calzoum Bachri), dan sebagainya. Namun selain Abdul Hadi WM, tak satu pun yang mengidentikkan penyebutan tersebut dengan sastra Islam, walau sebenarnya hal tersebut, tak bisa dinafikan, merupakan tafsir lain dari sastra Islam.

Kendala Indetifikasi dan Klasifikasi
      Ketiga pengertian di atas masih diperdebatkan formulasinya. Hanya saja, dalam realitasnya, sastra muslim sangat sulit diidentifikasi, diklasifikasikan, atau dikategorikan. 
     Pertama, identitas keagamaan para sastrawan seringkali tidak dinampakkan dalam karya sastra. Sekalipun, misalnya,  sastrawan itu kemudian dapat diidentifikasi sebagai muslim, maka kesulitan lainnya seringkali muncul, yakni apakah karya sastranya merupakan aktualisasi atau ekspresi dari nilai-nilai keagamaannya atau tidak; kesulitan lainnya pun seringkali muncul terkait dengan identitas pengarang, yakni dari nama samaran (nama pena), transformasi atau perubahan sikap dan perilaku keagamaan, dan representasi dari karyanya.  
     Kedua, sastra yang berbicara tetang kehidupan muslim, dan lainnya, seringkali memotret satu segmen kehidupan, sehingga tidak merepresentasikan totalitas kehidupan muslim. Hal ini seringkali memunculkan stereotype atau simplikasi pencitraan pada budaya muslim, terlebih jika karya sastra itu berbicara tentang sisi "buruk" dari kehidupan atau budaya muslim. Terlebih lagi, jika karya sastra tersebut ditulis oleh orang non-muslim yang mempunyai sudut pandang dan tingkat pemahaman dan penghayatan yang relatif berbeda dengan orang-orang muslim.
   Ketiga, sastra yang berbicara nilai-nilai keislaman, seringkali, terjebak pada simplikasi simbol-simbol keagamaan tertentu atau pemihakan pada madzhab-madzhab tertentu; sehingga sulit membedakan apakah karya sastra tersebut menyajikan universalitas Islam atau hanya merepresentasikan madzhab tertentu atau merepresentasikan pemahaman si pengarang saja. Misalnya, apakah penggunaan terminologi yang khas Muslim, seperti astagfirullah, masya Allah, subhanallah, dan innalillah, secara otomatis akan menjadikan karya itu mewakili nilai-nilai keislaman. Tentu saja, jawabannya, belum tentu, karena keberadaan term-term di atas harus dilihat dari posisi, peran, fungsi, dan signifikansinya dalam keseluruhan struktur dan sistem karya sastra tersebut.

Sastra Muslim dan Prospek Kajian
    Kajian tentang "sastra Muslim" saat ini di Indonesia masih sangat minim, kalau boleh dikatakan nyaris tak ada atau hampir mati. Jangankan pembahasan karyanya, menyoal apa itu sastra Muslim (bahkan sastra Islam(i) saja sampai saat ini masih kabur alias tak ada rujukan yang jelas, baik dari para sastrawan sendiri, kritikus maupun ulama. A. Hasjmy yang memiliki perhatian yang besar terhadap kesusastraan Muslim baru banyak membahas karya para pengarang hikayat Aceh atau lagi-lagi berhenti pada angkatan Pujangga Baru. Sedangkan Ali Audah yang juga tertarik di bidang tersebut, lebih sering membahas sastrawan-sastrawan Islam dari Timur Tengah atau Mesir.
   Pendadaran tentang sastra Muslim di Indonesia seringkali berjalin kelindan dengan beberapa pencitraan berikut; a) Ia seringkali diidentikkan dengan sastra berbahasa Arab dan atau beraksara Arab, termasuk beraksara Arab-Pegon; 2) ia seringkali juga diidentikkan dengan sastra klasik, seperti sastra Melaly atau baru-baru ini sastra Muslim dipersempit berkutat pada sastra Pesantren saja, atau 3) sastra Muslim hanya diidentikkan dengan sejumlah karya yang penuh dengan label-label atau term-term Arab, yang belum tentu identik dengan nilai-nilai keislaman, atau digunakan dalam konteks keislaman.
  Dengan demikian, kajian mengenai Sastra Muslim, baik di Indonesia maupun daerah lainnya, masih memberikan peluang kajian dan pengembangan yang cukup besar. Terlebih, beberapa fakta menunjukkan bahwa sastra yang ditulis oleh kalangan muslim, kini, cukup berkembang, sekalipun tidak perlu di luar atau di dalamnya kental dengan term-term Arab (muslim). Selebihnya, banyak sastra yang ditulis kalangan Muslim yang ditulis dalam bahasa yang berkembang di Barat (Amerika dan Eropa, khususnya berbahasa Inggris), seperti karya-karya yang ditulis oleh Abdur Razak Ghurnah, Khaled Hossaeni, Layla Abou Layla, Yusuf Islam, Sami Yusuf, Mesut Cortiz, dan Maher Zein. 
 
      
Cileunyi Bandung, 20 April 2011

Dadan Rusmana

1 komentar:

  1. pengertian Sastra muslim adalah sastra muslim yang berbentuk lisan atau sastra yang tercipta dari suatu ujaran atau ucapan.

    BalasHapus