Biografi
Imam Junaid Al-Baghdadi
Junaid bin Muhammad Abu al-Qasim al-Khazzaz al-Baghdadi berasal dari Nahavan, Persia. Ia lahir pada tahun 830 M dan wafat pada tahun 910 M. Ia belajar ilmu-ilmu dasar kepada Sari al-Saqati (Paman Junaid dari pihak Ibu), yakni al-Qur'an, bahasa, sastra, dan terutama bidang sufisme. Selain pada belajar pada al-Saqati, ia juga belajar Hadits dan Fiqh pada Abu Thawr, seorang Faqih di Baghdad, serta belajar sufisme pada al-Muhasibi. Namun, intelektualisme dan teoretisasi dalam bidang tasawuf lah yang kemudian mengantarkannya menjadi ulama terkenal hingga sekarang. Karenanya, ia adalah seorang ulama sufi dan wali Allah yang paling menonjol
namanya di kalangan ahli-ahli sufi. Beliau termasuk orang terawal yang menyusun dan membahas tentang ilmu
tasauf dengan ijtihadnya. Banyak kitab-kitab yang menerangkan tentang ilmu
tasauf berdasarkan kepada ijtihad Imam Junaid Al-Baghdadi.
Imam
Junaid adalah seorang ahli perniagaan yang berjaya. Beliau memiliki sebuah
gedung perniagaan di kota Baghdad yang ramai pelanggannya. Sebagai seorang guru
sufi, beliau tidak disibukkan dengan
menguruskan perniagaannya sebagaimana sebagian peniaga lain yang kaya raya di Baghdad. Waktu yang beliau gunakan untuk berniaga sering disingkatkan karena beliau lebih mengutamakan pengajian bagi para muridnya yang dahaga ilmu pengetahuan. Sesuatu yang mengagumkan ialah Imam Junaid selalu menutup kedainya setelah selesai mengajar murid-muridnya. Kemudian beliau kembali ke rumah untuk beribadah seperti solat, membaca al-Quran dan berzikir. Setiap malam beliau berada di masjid besar Baghdad untuk menyampaikan kuliahnya. Penduduk Baghdad banyak berdatangan ke masjid untuk mendengar kuliahnya sehingga masjid penuh sesak.
menguruskan perniagaannya sebagaimana sebagian peniaga lain yang kaya raya di Baghdad. Waktu yang beliau gunakan untuk berniaga sering disingkatkan karena beliau lebih mengutamakan pengajian bagi para muridnya yang dahaga ilmu pengetahuan. Sesuatu yang mengagumkan ialah Imam Junaid selalu menutup kedainya setelah selesai mengajar murid-muridnya. Kemudian beliau kembali ke rumah untuk beribadah seperti solat, membaca al-Quran dan berzikir. Setiap malam beliau berada di masjid besar Baghdad untuk menyampaikan kuliahnya. Penduduk Baghdad banyak berdatangan ke masjid untuk mendengar kuliahnya sehingga masjid penuh sesak.
Imam
Junaid hidup dalam keadaan zuhud. Beliau redha dan bersyukur kepada Allah SWT
dengan segala nikmat yang dikurniakan kepadanya. Beliau tidak pernah
berangan-angan untuk mencari kekayaan duniawi dari sumber pekerjaannya sebagai
peniaga.
Beliau
selalu membagi-bagikan sebagian dari keuntungan perniagaannya kepada golongan
fakir miskin, peminta dan orang-orang tua yang lemah. Bertasauf sesuai Sunnah
Rasulullah saw. Imam Junaid seorang yang berpegang kuat kepada al-Quran dan as-Sunnah.
Beliau sentiasa merujuk kepada al-Quran dan sunnah Rasulullah saw dalam setiap
pengajiannya.
Beliau
pernah berkata, “Setiap jalan (tarekat) tertutup, kecuali bagi mereka yang
sentiasa mengikuti perjalanan Rasulullah saw. Barangsiapa yang tidak menghafal
al-Quran, tidak menulis hadis-hadis, tidak boleh dijadikan panutan dalam bidang
tasauf ini.”
Akhirnya
kekasih Allah itu telah menyahut panggilan Ilahi pada 297 Hijrah. Imam Junaid
telah wafat di sisi As-Syibli, salah seorang muridnya. Ketika
sahabat-sahabatnya hendak mengajar kalimat tauhid, tiba-tiba Imam Junaid
membuka matanya dan berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah melupakan kalimat
itu sejak lidahku pandai berkata-kata.”
Diuji Dengan Seorang
Wanita Cantik
Imam
Junaid mempunyai beberapa kelebihan dan karamah. Di antaranya ialah pengaruh
beliau yang kuat setiap kali menyampaikan kuliahnya. Kehadiran murid-muridnya
di masjid, bukan saja terdiri dari orang-orang biasa, bahkan semua golongan
meminatinya. Masjid-masjid sering dipenuhi oleh ahli-ahli falsafah, ahli kalam,
ahli fikih, ahli politik dan sebagainya. Namun begitu, beliau tidak pernah
angkuh dan bangga diri dengan kelebihan tersebut.
Setiap
insan yang ingin mencapai keredhaan Allah selalu menerima ujian dan cobaan.
Imam Junaid menerima ujian daripada beberapa orang musuhnya setelah pengaruhnya
meluas. Mereka telah membuat fitnah untuk menjatuhkan reputasi Imam Junaid.
Musuh-musuhnya telah bekerja keras menghasut khalifah di masa itu agar membenci
Imam Junaid. Namun usaha mereka untuk menjatuhkan kemasyhuran Imam Junaid tidak
berhasil.
Musuh-musuhnya
berusaha membuat sesuatu yang dapat memalukan Imam Junaid. Pada suatu hari,
mereka menyuruh seorang wanita cantik untuk menggoda Imam Junaid. Wanita itu
pun mendekati Imam Junaid yang sedang tekun beribadah. Ia mengajak Imam Junaid
agar melakukan perbuatan terkutuk. Namun wanita cantik itu dikecewakan oleh
Imam Junaid yang sedikitpun tidak mengangkat kepalanya. Imam Junaid meminta
pertolongan dari Allah agar terhindar daripada godaan wanita itu. Beliau tidak
suka ibadahnya diganggu oleh siapapun. Beliau melepaskan satu hembusan nafasnya
ke wajah wanita itu sambil membaca kalimah Lailahailallah. Dengan takdir
Allah, wanita cantik itu tersungkur ke bumi dan mati seketika.
Mendengar
berita kematian wanita tersebut, Khalifah memarahi Imam Junaid karena dianggap
telah melakukan sebuah tindakan jinayah (kejahatan). Lalu khalifah memanggil
Imam Junaid untuk memberikan penjelasan atas perbuatannya. “Mengapa engkau
membunuh wanita ini?” tanya khalifah. “Saya bukan pembunuhnya. Bagaimana pula
dengan keadaan tuan yang diamanahkan sebagai pemimpin untuk melindungi kami,
tetapi tuan berusaha untuk meruntuhkan amalan yang telah kami lakukan selama 40
tahun,” jawab Imam Junaid.
Syeikh Junaid al-Baghdadi dan Bahlul
Syekh Junaid al Baghdadi, seorang sufi terkemuka, pergi ke luar kota Baghdad. Para muridnya juga ikut dengannya. Syekh itu bertanya tentang Bahlul. Mereka menjawab, “Ia adalah orang gila, apa yang Anda butuhkan darinya?”“Cari dia, karena aku ada perlu dengannya,” kata Syekh Junaid. Murid-muridnya lalu mencari Bahlul dan bertemu dengannya di gurun. Mereka lalu mengantar Syekh Junaid kepadanya.
Syeikh Junaid al-Baghdadi dan Bahlul
Syekh Junaid al Baghdadi, seorang sufi terkemuka, pergi ke luar kota Baghdad. Para muridnya juga ikut dengannya. Syekh itu bertanya tentang Bahlul. Mereka menjawab, “Ia adalah orang gila, apa yang Anda butuhkan darinya?”“Cari dia, karena aku ada perlu dengannya,” kata Syekh Junaid. Murid-muridnya lalu mencari Bahlul dan bertemu dengannya di gurun. Mereka lalu mengantar Syekh Junaid kepadanya.
Ketika
Syekh Junaid mendekati Bahlul, ia melihat Bahlul sedang gelisah sambil
menyandarkan kepalanya ke tembok. Syekh itu lalu menyapanya. Bahlul menjawab
dan bertanya padanya, “Siapakah engkau?” “Aku adalah Junaid al Baghdadi,” kata
syekh itu.“Apakah engkau Abul Qasim?” tanya Bahlul. “Ya!”jawab syekh itu. “Apakah
engkau Syekh Baghdadi yang memberikan petunjuk spiritual pada orang-orang?”
tanya Bahlul. “Ya!” jawab sang syekh. “Apakah engkau tahu bagaimana cara makan?” tanya Bahlul.
Syekh
itu lalu menjawab, “Aku mengucapkan Bismillaah (Dengan nama Allah). Aku makan
yang ada di hadapanku, aku menggigitnya sedikit, meletakkannya di sisi kanan
dalam mulutku, dan perlahan mengunyahnya. Aku tidak menatap suapan berikutnya.
Aku mengingat Allah sambil makan. Apa pun yang aku makan, aku ucapkan
Alhamdulillaah (Segala puji bagi Allah). Aku cuci tanganku sebelum dan sesudah
makan.” Bahlul berdiri, menyibakkan pakaiannya, dan berkata, “Kau ingin menjadi
guru spiritual di dunia, tetapi kau bahkan tidak tahu bagaimana cara makan!”
Sambil berkata demikian, ia berjalan pergi. Murid Syekh itu berkata, “Wahai Syekh! Ia adalah orang gila.” Syekh itu menjawab, “Ia adalah orang gila yang cerdas dan bijak. Dengarkan
kebenaran darinya!”
Bahlul
mendekati sebuah bangunan yang telah ditinggalkan, lalu ia duduk. Syekh Junaid
pun datang mendekatinya. Bahlul kemudian bertanya, “Siapakah engkau?” “Syekh
Baghdadi yang bahkan tak tahu bagaimana caranya makan,” jawab Syekh Junaid. “Engkau
tak tahu bagaimana cara makan, tetapi tahukah engkau bagaimana cara berbicara?”
tanya Bahlul. “Ya!” jawab sang syekh. “Bagaimana cara berbicara?” tanya Bahlul. Syekh itu lalu menjawab, “Aku
berbicara tidak kurang, tidak lebih, dan apa adanya. Aku tidak terlalu banyak
bicara. Aku berbicara agar pendengar dapat mengerti. Aku mengajak orang-orang
kepada Allah dan Rasulullah. Aku tidak berbicara terlalu banyak agar orang
tidak menjadi bosan. Aku memberikan perhatian atas kedalaman pengetahuan lahir
dan batin.” Kemudian ia menggambarkan apa saja yang berhubungan dengan sikap
dan etika.
Lalu
Bahlul berkata, “Lupakan tentang makan, karena kau pun tak tahu bagaimana cara
berbicara!” Bahlul pun berdiri, menyibakkan pakaiannya, dan berjalan pergi. Murid-muridnya
berkata, “Wahai Syekh! Anda lihat, ia adalah orang gila. Apa yang kau harapkan
dari orang gila?!” Syekh itu menjawab, “Ada sesuatu yang aku butuhkan darinya.
Kalian tidak tahu itu.” Ia lalu mengejar Bahlul lagi hingga mendekatinya. Bahlul lalu bertanya, “Apa
yang kau inginkan dariku ? Kau, yang tidak tahu bagaimana cara makan dan
berbicara, apakah kau tahu bagaimana cara tidur?” “Ya, aku tahu!” jawab syekh
itu. “Bagaimana caramu tidur?” tanya Bahlul. Syekh Junaid lalu menjawab,
“Ketika aku selesai salat Isya dan membaca doa, aku mengenakan pakaian
tidurku.” Kemudian ia ceritakan cara-cara tidur sebagaimana yang lazim
dikemukakan oleh para ahli agama. “Ternyata kau juga tidak tahu bagaimana cara
tidur!” kata Bahlul seraya ingin bangkit. Tetapi Syekh itu menahan pakaiannya
dan berkata, “Wahai Bahlul! Aku tidak tahu. Karenanya, demi Allah, ajari aku!”
Bahlul pun berkata, “Sebelumnya, engkau mengklaim bahwa dirimu berpengetahuan dan berkata bahwa engkau tahu, maka aku menghindarimu. Sekarang, setelah engkau mengakui bahwa dirimu kurang berpengetahuan, aku akan mengajarkan padamu. Ketahuilah, apa pun yang telah kau gambarkan itu adalah permasalahan sekunder. Kebenaran yang ada di belakang memakan makanan adalah bahwa kau memakan makanan halal. Jika engkau memakan makanan haram dengan cara seperti yang engkau gambarkan, dengan seratus sikap pun, maka itu tak bermanfaat bagimu, melainkan akan menyebabkan hatimu hitam!” “Semoga Allah memberimu pahala yang besar,” kata sang syekh.
Bahlul pun berkata, “Sebelumnya, engkau mengklaim bahwa dirimu berpengetahuan dan berkata bahwa engkau tahu, maka aku menghindarimu. Sekarang, setelah engkau mengakui bahwa dirimu kurang berpengetahuan, aku akan mengajarkan padamu. Ketahuilah, apa pun yang telah kau gambarkan itu adalah permasalahan sekunder. Kebenaran yang ada di belakang memakan makanan adalah bahwa kau memakan makanan halal. Jika engkau memakan makanan haram dengan cara seperti yang engkau gambarkan, dengan seratus sikap pun, maka itu tak bermanfaat bagimu, melainkan akan menyebabkan hatimu hitam!” “Semoga Allah memberimu pahala yang besar,” kata sang syekh.
Bahlul
lalu melanjutkan, “Hati harus bersih dan mengandung niat baik sebelum kau mulai
berbicara. Dan percakapanmu haruslah menyenangkan Allah. Jika itu untuk duniawi
dan pekerjaan yang sia-sia, maka apa pun yang kau nyatakan akan menjadi malapetaka
bagimu. Itulah mengapa diam adalah yang terbaik. Dan apa pun yang kau katakan
tentang tidur, itu juga bernilai sekunder. Kebenaran darinya adalah hatimu
harus terbebas dari permusuhan, kecemburuan, dan kebencian. Hatimu tidak boleh
tamak akan dunia atau kekayaan di dalamnya, dan ingatlah Allah ketika akan
tidur!” Syekh Junaid lalu mencium tangan Bahlul dan berdoa untuknya.
Syair Junaid al-Baghdadi
Bersemayam dalam Kalbu
Kini kutahu, Tuhan — Siapa
Bersemayam dalam hatiku
Dalam rahsia, jauh daripada dunia
Lidahku bercakap dengan-Nya yang kupuja
Melalui sebuah jalan
Kami mendekat rapat
Terpisah jauh daripada-Nya
Berat siksa yang mendera jiwa
Walau Kau sembunyikan wajah-Mu
Jauh daripada pandangan mataku
Dalam cinta kurasa kehadiran-Mu
Yang mesra dalam hatiku
Dalam bencana mengerikan
Tak kusesali seksa yang mencabik jiwa
Hanya Kau saja Tuhan yang kurindu
Bukan kurnia atau tangan pemurah-Mu
Apabila seluruh dunia Kau berikan kepadaku
Atau sorga sebagai pahala
Aku berdoa supaya seluruh kekayaanku
Tak berharga dibanding melihat wajah-Mu
Bersemayam dalam hatiku
Dalam rahsia, jauh daripada dunia
Lidahku bercakap dengan-Nya yang kupuja
Melalui sebuah jalan
Kami mendekat rapat
Terpisah jauh daripada-Nya
Berat siksa yang mendera jiwa
Walau Kau sembunyikan wajah-Mu
Jauh daripada pandangan mataku
Dalam cinta kurasa kehadiran-Mu
Yang mesra dalam hatiku
Dalam bencana mengerikan
Tak kusesali seksa yang mencabik jiwa
Hanya Kau saja Tuhan yang kurindu
Bukan kurnia atau tangan pemurah-Mu
Apabila seluruh dunia Kau berikan kepadaku
Atau sorga sebagai pahala
Aku berdoa supaya seluruh kekayaanku
Tak berharga dibanding melihat wajah-Mu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar