Sabtu, 30 Juli 2011

Junaid al-Baghdadi: Dimensi Kreatif Sastra Sufistik

Biografi Imam Junaid Al-Baghdadi
Junaid bin Muhammad Abu al-Qasim al-Khazzaz al-Baghdadi berasal dari Nahavan, Persia. Ia lahir pada tahun 830 M dan wafat pada tahun 910 M. Ia belajar ilmu-ilmu dasar kepada Sari al-Saqati (Paman Junaid dari pihak Ibu), yakni al-Qur'an, bahasa, sastra, dan terutama bidang sufisme. Selain pada belajar pada al-Saqati, ia juga belajar Hadits dan Fiqh pada Abu Thawr, seorang Faqih di Baghdad, serta belajar sufisme pada al-Muhasibi. Namun, intelektualisme dan teoretisasi dalam bidang tasawuf lah yang kemudian mengantarkannya menjadi ulama terkenal hingga sekarang. Karenanya, ia adalah seorang ulama sufi dan wali Allah yang paling menonjol namanya di kalangan ahli-ahli sufi.  Beliau termasuk orang terawal yang menyusun dan membahas tentang ilmu tasauf dengan ijtihadnya. Banyak kitab-kitab yang menerangkan tentang ilmu tasauf berdasarkan kepada ijtihad Imam Junaid Al-Baghdadi.
Imam Junaid adalah seorang ahli perniagaan yang berjaya. Beliau memiliki sebuah gedung perniagaan di kota Baghdad yang ramai pelanggannya. Sebagai seorang guru sufi, beliau tidak disibukkan dengan
menguruskan perniagaannya sebagaimana sebagian peniaga lain yang kaya raya di Baghdad. Waktu yang beliau gunakan untuk berniaga sering disingkatkan karena beliau lebih mengutamakan pengajian bagi para muridnya yang dahaga ilmu pengetahuan. Sesuatu yang mengagumkan ialah Imam Junaid selalu menutup kedainya setelah selesai mengajar murid-muridnya. Kemudian beliau kembali ke rumah untuk beribadah seperti solat, membaca al-Quran dan berzikir. Setiap malam beliau berada di masjid besar Baghdad untuk menyampaikan kuliahnya. Penduduk Baghdad banyak berdatangan ke masjid untuk mendengar kuliahnya sehingga masjid penuh sesak.
Imam Junaid hidup dalam keadaan zuhud. Beliau redha dan bersyukur kepada Allah SWT dengan segala nikmat yang dikurniakan kepadanya. Beliau tidak pernah berangan-angan untuk mencari kekayaan duniawi dari sumber pekerjaannya sebagai peniaga.
Beliau selalu membagi-bagikan sebagian dari keuntungan perniagaannya kepada golongan fakir miskin, peminta dan orang-orang tua yang lemah. Bertasauf sesuai Sunnah Rasulullah saw. Imam Junaid seorang yang berpegang kuat kepada al-Quran dan as-Sunnah. Beliau sentiasa merujuk kepada al-Quran dan sunnah Rasulullah saw dalam setiap pengajiannya.
Beliau pernah berkata, “Setiap jalan (tarekat) tertutup, kecuali bagi mereka yang sentiasa mengikuti perjalanan Rasulullah saw. Barangsiapa yang tidak menghafal al-Quran, tidak menulis hadis-hadis, tidak boleh dijadikan panutan dalam bidang tasauf ini.”
Akhirnya kekasih Allah itu telah menyahut panggilan Ilahi pada 297 Hijrah. Imam Junaid telah wafat di sisi As-Syibli, salah seorang muridnya. Ketika sahabat-sahabatnya hendak mengajar kalimat tauhid, tiba-tiba Imam Junaid membuka matanya dan berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah melupakan kalimat itu sejak lidahku pandai berkata-kata.”

Diuji Dengan Seorang Wanita Cantik
Imam Junaid mempunyai beberapa kelebihan dan karamah. Di antaranya ialah pengaruh beliau yang kuat setiap kali menyampaikan kuliahnya. Kehadiran murid-muridnya di masjid, bukan saja terdiri dari orang-orang biasa, bahkan semua golongan meminatinya. Masjid-masjid sering dipenuhi oleh ahli-ahli falsafah, ahli kalam, ahli fikih, ahli politik dan sebagainya. Namun begitu, beliau tidak pernah angkuh dan bangga diri dengan kelebihan tersebut.
Setiap insan yang ingin mencapai keredhaan Allah selalu menerima ujian dan cobaan. Imam Junaid menerima ujian daripada beberapa orang musuhnya setelah pengaruhnya meluas. Mereka telah membuat fitnah untuk menjatuhkan reputasi Imam Junaid. Musuh-musuhnya telah bekerja keras menghasut khalifah di masa itu agar membenci Imam Junaid. Namun usaha mereka untuk menjatuhkan kemasyhuran Imam Junaid tidak berhasil.
Musuh-musuhnya berusaha membuat sesuatu yang dapat memalukan Imam Junaid. Pada suatu hari, mereka menyuruh seorang wanita cantik untuk menggoda Imam Junaid. Wanita itu pun mendekati Imam Junaid yang sedang tekun beribadah. Ia mengajak Imam Junaid agar melakukan perbuatan terkutuk. Namun wanita cantik itu dikecewakan oleh Imam Junaid yang sedikitpun tidak mengangkat kepalanya. Imam Junaid meminta pertolongan dari Allah agar terhindar daripada godaan wanita itu. Beliau tidak suka ibadahnya diganggu oleh siapapun. Beliau melepaskan satu hembusan nafasnya ke wajah wanita itu sambil membaca kalimah Lailahailallah. Dengan takdir Allah, wanita cantik itu tersungkur ke bumi dan mati seketika.
Mendengar berita kematian wanita tersebut, Khalifah memarahi Imam Junaid karena dianggap telah melakukan sebuah tindakan jinayah (kejahatan). Lalu khalifah memanggil Imam Junaid untuk memberikan penjelasan atas perbuatannya. “Mengapa engkau membunuh wanita ini?” tanya khalifah. “Saya bukan pembunuhnya. Bagaimana pula dengan keadaan tuan yang diamanahkan sebagai pemimpin untuk melindungi kami, tetapi tuan berusaha untuk meruntuhkan amalan yang telah kami lakukan selama 40 tahun,” jawab Imam Junaid.


Syeikh Junaid al-Baghdadi dan Bahlul
 Syekh Junaid al Baghdadi, seorang sufi terkemuka, pergi ke luar kota Baghdad. Para muridnya juga ikut dengannya. Syekh itu bertanya tentang Bahlul.  Mereka menjawab, “Ia adalah orang gila, apa yang Anda butuhkan darinya?”“Cari dia, karena aku ada perlu dengannya,” kata Syekh Junaid. Murid-muridnya lalu mencari Bahlul dan bertemu dengannya di gurun. Mereka lalu mengantar Syekh Junaid kepadanya.
Ketika Syekh Junaid mendekati Bahlul, ia melihat Bahlul sedang gelisah sambil menyandarkan kepalanya ke tembok. Syekh itu lalu menyapanya. Bahlul menjawab dan bertanya padanya, “Siapakah engkau?” “Aku adalah Junaid al Baghdadi,” kata syekh itu.“Apakah engkau Abul Qasim?” tanya Bahlul. “Ya!”jawab syekh itu. “Apakah engkau Syekh Baghdadi yang memberikan petunjuk spiritual pada orang-orang?” tanya Bahlul. “Ya!” jawab sang syekh. “Apakah engkau tahu bagaimana cara makan?” tanya Bahlul.
Syekh itu lalu menjawab, “Aku mengucapkan Bismillaah (Dengan nama Allah). Aku makan yang ada di hadapanku, aku menggigitnya sedikit, meletakkannya di sisi kanan dalam mulutku, dan perlahan mengunyahnya. Aku tidak menatap suapan berikutnya. Aku mengingat Allah sambil makan. Apa pun yang aku makan, aku ucapkan Alhamdulillaah (Segala puji bagi Allah). Aku cuci tanganku sebelum dan sesudah makan.” Bahlul berdiri, menyibakkan pakaiannya, dan berkata, “Kau ingin menjadi guru spiritual di dunia, tetapi kau bahkan tidak tahu bagaimana cara makan!” Sambil berkata demikian, ia berjalan pergi. Murid Syekh itu berkata, “Wahai Syekh! Ia adalah orang gila.” Syekh itu menjawab, “Ia adalah orang gila yang cerdas dan bijak. Dengarkan kebenaran darinya!”
Bahlul mendekati sebuah bangunan yang telah ditinggalkan, lalu ia duduk. Syekh Junaid pun datang mendekatinya. Bahlul kemudian bertanya, “Siapakah engkau?” “Syekh Baghdadi yang bahkan tak tahu bagaimana caranya makan,” jawab Syekh Junaid. “Engkau tak tahu bagaimana cara makan, tetapi tahukah engkau bagaimana cara berbicara?” tanya Bahlul. “Ya!” jawab sang syekh. “Bagaimana cara berbicara?” tanya Bahlul. Syekh itu lalu menjawab, “Aku berbicara tidak kurang, tidak lebih, dan apa adanya. Aku tidak terlalu banyak bicara. Aku berbicara agar pendengar dapat mengerti. Aku mengajak orang-orang kepada Allah dan Rasulullah. Aku tidak berbicara terlalu banyak agar orang tidak menjadi bosan. Aku memberikan perhatian atas kedalaman pengetahuan lahir dan batin.” Kemudian ia menggambarkan apa saja yang berhubungan dengan sikap dan etika.
Lalu Bahlul berkata, “Lupakan tentang makan, karena kau pun tak tahu bagaimana cara berbicara!” Bahlul pun berdiri, menyibakkan pakaiannya, dan berjalan pergi. Murid-muridnya berkata, “Wahai Syekh! Anda lihat, ia adalah orang gila. Apa yang kau harapkan dari orang gila?!” Syekh itu menjawab, “Ada sesuatu yang aku butuhkan darinya. Kalian tidak tahu itu.” Ia lalu mengejar Bahlul lagi hingga mendekatinya. Bahlul lalu bertanya, “Apa yang kau inginkan dariku ? Kau, yang tidak tahu bagaimana cara makan dan berbicara, apakah kau tahu bagaimana cara tidur?” “Ya, aku tahu!” jawab syekh itu. “Bagaimana caramu tidur?” tanya Bahlul. Syekh Junaid lalu menjawab, “Ketika aku selesai salat Isya dan membaca doa, aku mengenakan pakaian tidurku.” Kemudian ia ceritakan cara-cara tidur sebagaimana yang lazim dikemukakan oleh para ahli agama. “Ternyata kau juga tidak tahu bagaimana cara tidur!” kata Bahlul seraya ingin bangkit. Tetapi Syekh itu menahan pakaiannya dan berkata, “Wahai Bahlul! Aku tidak tahu. Karenanya, demi Allah, ajari aku!”
       Bahlul pun berkata, “Sebelumnya, engkau mengklaim bahwa dirimu berpengetahuan dan berkata bahwa engkau tahu, maka aku menghindarimu. Sekarang, setelah engkau mengakui bahwa dirimu kurang berpengetahuan, aku akan mengajarkan padamu. Ketahuilah, apa pun yang telah kau gambarkan itu adalah permasalahan sekunder. Kebenaran yang ada di belakang memakan makanan adalah bahwa kau memakan makanan halal. Jika engkau memakan makanan haram dengan cara seperti yang engkau gambarkan, dengan seratus sikap pun, maka itu tak bermanfaat bagimu, melainkan akan menyebabkan hatimu hitam!” “Semoga Allah memberimu pahala yang besar,” kata sang syekh.
Bahlul lalu melanjutkan, “Hati harus bersih dan mengandung niat baik sebelum kau mulai berbicara. Dan percakapanmu haruslah menyenangkan Allah. Jika itu untuk duniawi dan pekerjaan yang sia-sia, maka apa pun yang kau nyatakan akan menjadi malapetaka bagimu. Itulah mengapa diam adalah yang terbaik. Dan apa pun yang kau katakan tentang tidur, itu juga bernilai sekunder. Kebenaran darinya adalah hatimu harus terbebas dari permusuhan, kecemburuan, dan kebencian. Hatimu tidak boleh tamak akan dunia atau kekayaan di dalamnya, dan ingatlah Allah ketika akan tidur!” Syekh Junaid lalu mencium tangan Bahlul dan berdoa untuknya. 

Syair Junaid al-Baghdadi

Bersemayam dalam Kalbu

Kini kutahu, Tuhan — Siapa
Bersemayam dalam hatiku
Dalam rahsia, jauh daripada dunia
Lidahku bercakap dengan-Nya yang kupuja

Melalui sebuah jalan
Kami mendekat rapat
Terpisah jauh daripada-Nya
Berat siksa yang mendera jiwa

Walau Kau sembunyikan wajah-Mu
Jauh daripada pandangan mataku
Dalam cinta kurasa kehadiran-Mu
Yang mesra dalam hatiku

Dalam bencana mengerikan
Tak kusesali seksa yang mencabik jiwa
Hanya Kau saja Tuhan yang kurindu
Bukan kurnia atau tangan pemurah-Mu

Apabila seluruh dunia Kau berikan kepadaku
Atau sorga sebagai pahala
Aku berdoa supaya seluruh kekayaanku
Tak berharga dibanding melihat wajah-Mu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar