Tulisan di bawah ini sangat menarik dan menggelitik untuk dicerna dan dikritisi. Di dalamnya digambarkan bagaimana ironi dialaketis antara variasi identitas yang dimiliki oleh pengkaji (sastra) telah memberikan variasi persepsi dan intertpretasi ketika melihat ajaran Islam dan ekspresi pencapaian intelektualitas dan kultural dari kalangan Muslim. Selamat mencerna tulisan di bawah ini.
Sastra Islam Kita Kini
Oleh: Budi P Hatees.
Para sastrawan kita, yang namanya selalu diapungkan setiap kali dibicarakan tentang sastra religius bernafas Islam, senantiasa sibuk menulis karya sastra dengan teks-teks yang selalu tentang negasi hitam dengan putih. Hitam melambangkan jalan kejahatan dan putih simbol dari jalan Allah.
Para kreator ini memposisikan diri sebagai penyampai isi Al Quran, sembari memposisikan pembaca sebagai pihak yang bukan saja tidak paham kandungan kitab suci, juga telah meninggalkan ajaran-ajaran samawi itu dalam kehidupan sehari-hari. Karena godaan hidup sekuler begitu kuat sekalipun realitas justru menunjukkan yang mereka raih hanya memperpanjang daftar patologi-patologi modernitas.
Dengan begitu, teks-teks sastra yang mereka tampilkan kuat ditandai dengan apa yang disebut menggurui, meskipun hal itu tak keliru, tetapi menjadi persoalan krusial karena sebagaian besar pembaca karya-karya mereka berasal dari kalangan sendiri. Sastrawan lain, lebih menyibukkan diri untuk “menghujat” nilai-nilai dalam Islam lewat tafsir-tafsir yang keliru terhadap isi Al Quran dengan orientasi yang kuat untuk menyebarkan permusuhan terhadap agama Islam.
Salman Rusdhi, sastrawan yang pernah mengguncang dunia Islam dengan novelnya Satanic Verses, lewat novel fantasinya, Midnight’s Children, mengkritik Islam sebagai pemicu lahirnya fundamentalis agama. Muslim digambarkannya sebagai mahluk hidup yang tak menghargai hidup lewat laku para tokoh cerita yang menghalalkan darah orang-orang dari agama berbeda.
“Kejahatannya terbesarnya adalah dia seorang Hindu,” kata seorang muslim dalam salah satu bagian dari Midnight’s Children, setelah orang itu memenggal leher seorang Hindu.
Fundamentalis agama adalah titik krusial yang selalu dipersoalkan, dibesar-besarkan dan dijadikan kebenaran untuk mendeskriditkan Islam lewat tafsir Quran atas ayat-ayat yang mengajarkan jihad. Ayat-ayat jihad itu tidak keliru, tapi mengutipnya dan menafsirkannya secara keliru, hanya akan memposisikan muslim sebagai sosok yang harus distigmatisasi dan dimusuhi manusia di seluruh dunia.
Indonesia, bangsa dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Mata seluruh dunia selalu diarahkan ke negeri ini sebagai salah satu bangsa yang menjadi sasaran utama dari kritik tajam Salman Rusdhi dalam karya-karyanya.
Malangnya, sastrawan yang selalu menghujat Islam, tidaklah sendirian di dunia kreatif penciptaan sastra. Masih ada Wole Soyinka, pemenang Hadiah Nobel untuk Sastra tahun 1986 berkebangsaan Nigeria, yang tak kalah bengis mengkritisi Islam penghasil fundamentalis agama. Hidup di Nigeria yang didera pembunuhan antarkelompok agama, Soyinka sampai pada kesimpulan, fundamentalisme agama lebih berbahaya daripada rezim militer yang diktator. Fundamentalis agama tak berbentuk dan bergerak ke banyak arah.
Kita tahu, sejak 1999, di dua belas negara bagian Nigeria Utara, penduduk yang muslim memilih menerapkan Syariah Islam. Tak ada yang salah dengan Syariah Islam dan pilihan itu pun tak keliru. Dimana-mana di belahan bumi ini, tuntutan tentang pentingnya Syariah Islam mengemuka bersamaan dengan semakin kuatnya sekularisme mengubah manusia menjadi mahluk yang merasa dirinya telah sampai pada posisi Adi Kuasa sekaligus Adi Kuasa. Inilah manusia yang disemangati patologi modernitas, yang isi kepala dan tindakannya berdasarkan pemahaman kacau tentang yang profane dengan duniawi, mewujud pada diri Christopher Hitchens, misalnya. Hitchens, seorang atheis sejati, menulis sebuah buku yang mencengangkan, God Is Not Great: Religion Poisons Everything.
Masa kini adalah kemerosotan, terutama kemerosotan akhlak ketika Tuhan dipersalahkan. Mereka yang muslim, wajar bila menghendaki agar Syariah Islam ditetapkan, sebagai acuan hidup berbangsa dan bernegara di masa datang. Bagi mereka yang merasa telah ada di posisi Adi Kuasa, Syariat Islam hanya akan mempercepat kehancuran kekuasaan yang dimilikinya. Supaya tak terlanjur jatuh, segala yang akan mengancam kekuasaan itu diposisikan tak sekadar pesaing, tetapi juga musuh yang harus ditumpas.
Fundamentalis tak hanya domain Islam. Dari agama-agama samawi lainnya, fundamentalis juga bisa lahir. Di Negeri Paman Sam, yang menyebut diri sebagai asal demokrasi, seorang George W. Bush bisa menjadi fundamentalis agama. Bush, yang dalam kedudukannya sebagai Presiden Amerika Serikat menghidupkan ”sebujah kelompok” di Gedung Putih. Orang konservatif yang mencampuradukkan yang ”ilahiyah” dengan yang ”duniawi”, lalu meneriakkan perang besar terhadap Al Qaedah sebagai musuh Tuhan dengan menyemangati tentara Amerika Serikat sebagai Bala Tentara Tuhan. Kita tahu Amerika Serikat kalah di Afganistan dan luluh lantak di Irak.
Wajar bila kehendak untuk menerapkan Syariah Islam juga muncul di lingkungan muslim suatu Negara, termasuk Nigeria. Bagi Soyinka, Negiria sebagai republik berpenduduk 147 juta dan hanya 50 persennya muslim, tidak memerlukan syariah Islam. Alasannya, syariah Islam justru membuat korupsi meluas, 70 persen penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, ketimpangan sosial tajam dan hanya 68 persen penduduknya yang melek huruf. Seakan-akan dengan iman agama lain, persoalan serupa pasti tuntas dan patologi-patologi sosial akan lenyap dari Nigeria.
Dalam sebuah sajaknya yang provokatif, Soyinka menulis sajak, Twelve Canticles for the Zealot dan menyebut muslim di Nigeria sebagai zilot sang “pelayan vampire” bertengger di puncak menara “kesalihan”. Kita tahu zilot adalah sebuah pengertian yang dipungut dari Injil untuk menggambarkan sikap orang fanatik yang militant dan munafik. Dalam pemahaman Soyinka pada sajak itu, zilot menunjuk mereka yang atas nama hukum agama yang murni mengancam spontanitas kegembiraan hidup di atas bumi, di bawah langit, di antara makhluk yang fana.
Jauh di tahun 1930, Mohammad Iqbal, penyair dan filosof itu, merumuskan argumennya agar minoritas Muslim di India punya tanahairnya sendiri. Dalam karya sastra, Iqbal tak seperti sastrawan di negeri kita, mereka yang selalu disebut representasi sastrawan Islami, karena ia tidak menulis dengan hasrat besar untuk menggurui. Iqbal menulis karya sastra sebagai pemikiran, dan ia terus-menerus membicarakan Islam sebagai identitas dan kita tahu, Pakistan kemudian lahir dari hasil pemikiran itu.
Sastrawan kita bersama karya sastra mereka yang disebut Islami, tak mampu bicara banyak. Terutama tentang nilai-nilai Islam yang khas Indonesia, yang mampu melawan pemikiran-pemikiran sastrawan asing saat mengstigmatisasi Islam. Dengan sendirinya mendeskriditkan Indonesia sebagai bangsa dengan basis muslim terbesar di dunia. Sastrawan Islam kita sibuk menampilkan tokoh-tokoh yang hitam putih dan selalu saja yang putih berada pada posisi sebagai entitas yang harus dimenangkan. Hidup, jelas-jelas, tidak selalu berpihak pada yang putih. Sebab Allah punya kehendak dan manusia tak bisa secara psti dan tepat menafsirkan kehendak Allah dalam teks-teks sastra.
Penulis Sastrawan, menulis dari Sipirok
Sumber:
- http://www.analisadaily.com/news/41346/sastra-islam-kita-kini;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar