Diposting
tanggal Rabu, 05 Desember 2007
http://mwalidin.blogspot.com/2007/12/silang-sengketa-sastrawan-dinasti.html
Pendahuluan
Bila
berbicara tentang kesusastraan pada masa Umayyah, maka berbagai
referensi akan membahas tiga penyair besar masa itu, yaitu al-Farazdaq,
Jarir dan al-Akhtal. Ketiganya hidup semasa bahkan terlibat dalam
dialog-satiris dalam puisi-puisi hija’ yang terus berlanjut hingga
alAkhtal meninggal di tahun (w. 92 H/710 H), al-Farazdaq di tahun 110
H/728 M, dan disusul enam bulan kemudian oleh Jarir di tahun yang sama. Para
penyair ini, hidup pada zaman yang tepat dan pas untuk mengeksplorasi
kemampuan mereka dalam membuat puisi hija. Situasi sosial politik masa
Umayyah yang berbeda dengan masa sebelumnya, diduga menjadi faktor
pendukung yang baik bagi perkembangan sastra, khususnya bagi kepenyairan
ketiga tokoh ini. Dinasti yang berpusat di Damaskus ini, memberikan
keluasan bagi para penyair untuk mengekspresikan talenta sastra dengan
munculnya partai-partai politik, mazhab dan sekte, masalah identitas
kebangsaan. Namun di balik permasalahan makro tersebut, ketiga penyair
memiliki permasalahan mikro, yaitu permasalahan pribadi yang melibatkan
ketiganya dalam verbal contest yang tiada berakhir.
Tulisan ini akan menyorot silang sengketa atau baku caci antara ketiga penyair besar; Jarir dengan al-Farazdaq dan al-Akhtal. Namun, memahami ketokohan ketiganya selayaknya harus diiringi dengan pemahaman latar belakang sosilogis dan politis di mana mereka pernah hidup dan berkarya. Hal ini menjadi penting mengingat seorang tokoh tumbuh dalam sebuah sebuah lingkungan untuk menjawab tantangan yang terjadi dalam masyarakatnya.
Kondisi Umum Pemerintahan Bani Umayyah
Masa pemerintahan dinasti umayyah, di mana ketiga penyair
ini hidup, dimulai dari tampilnya Mu’awiyah bin Abi Sufyan memimpin
pemerintahan yang bersifat monarkhi tahun 41 H/661 M yang berpusat di
Damaskus hingga pemerintahan Marwan bin Muhammad tahun 132 H/750 M.[1] Tidak jauh berbeda dengan masa awal Islam, kehidupan
masyarakat pada masa ini tetap dipengaruhi oleh ruh agama yang bersumber
dari al-Qur’an, baik dari aspek kehidupan intelektualitas maupun aspek
politik. Di samping itu, terdapat pula aspek-aspek yang berpengaruh
secara luas baik bagi kepentingan Islam secara umum maupun bagi
perkembangan sastra secara khusus. Aspek-aspek tersebut disebabkan oleh
semakin luasnya wilayah kekuasaan, penyebaran orang Arab ke berbagai
daerah taklukan dan proses terjadinya penyerapan kebudayaan baru,
pertumbuhan partai-partai politik, munculnya fanatisme golongan.
Secara detil, kita akan mengetahui bahwa faktor-faktor di atas berpengaruh kuat terhadap perkembangan bahasa dan sastra pada masa kekhalifahan Bani Umayyah ini adalah sebagai berikut.
Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam di masa Khulafa’ al-Rasyidun
yang berasaskan ‘musyawarah’ untuk segala macam problem ummat termasuk
di antaranya masalah suksesi, sistem pemerintahan yang diletakkan oleh
Mu’awiyah berasaskan monarki absolut. Suksesi atas dasar musyawarah
diganti dengan ‘putra mahkota’ yang akan melanjutkan kekuasaan
berikutnya. Sistem ini diyakini lebih aman daripada sistem musyawarah
karena akan menghindarkan perbedaan pendapat dan meminimalisir
kecenderungan perpecahan. Akan tetapi, fakta menunjukkan bukti
sebaliknya. Sistem ini justru membangkitkan kemarahan pihak-pihak lain
seperti puak Qurais dll. Hingga munculah fanatisme golongan yang
didukung oleh para penyair maupun orator. Implikasinya, muncul
puisi-puisi pujian yang mendukung seseorang dan muncul pula puisi-puisi
politik.
Pada masa ini muncul
fanatisme golongan yang memuji kelebihan golongan tertentu, seperti
golongan Adnaniyah dan Qahtaniyah. Yang pertama, adalah penyokong
dinasti Umayyah. Kedua kelompok ini terlibat dalam pertikaian sepanjang
masa pemerintahan dinasti ini. Fanatisme golongan ini menghidupkan
kembali tradisi jahiliyah yang sangat gandrung dengan persatuan kelompok
dengan puisi-puisi ‘fakhr’nya, yang dilantunkan di pasar- pasar sastra,
sehingga mereka membuat suq al-marbad di Basra dan suq al-Kinasah di
Kufah.
Bersamaan dangan fanatisme golongan, muncul pula fanatisme
kebangsaan (arab oriented). Daerah-daerah taklukan yang berbahasa
non-Arab, seperti Irak dengan bahasanya Persia, Damaskus dengan bahasa
Romawi, dan Mesir dengan bahasa Qibti dipaksa untuk memakai bahasa Arab
dalam berbagai keperluan administrasi kenegaraan. Belum merasa cukup
dengan usaha ini, orang-orang Umawiyah mengirim putra-putranya untuk
dididik di pedalaman Badui untuk mendapatkan cita rasa bahasa Arab yang
murni. Mereka memotivasi perkembangan sastra dengan menghormati para
penyair. Tentu saja hal ini berpengaruh besar bagi perkembangan bahasa
puisi khususnya.
Setelah kuatnya konstruksi
negara secara internal, dinasti Umayyah melakukan ekspansi ke
wilayah-wilayah sekitar untuk menyebarkan Islam. Seiring dengan
kemakmuran yang tercipta akibat hasil harta rampasan dan pajak, banyak
orang terutama pejabat, yang menduplikasi peradaban negara taklukan dan
masuk ke dalam budaya baru, yaitu hedonisme. Istana-istana diisi oleh
para penyanyi, seperti Quraid, Jamilah, dan Salamah. Para pejabat tidak
segan memberikan hadiah yang diambil dari Bait al-Mal untuk keperluan
membayar pujian yang didedikasikan pada mereka.
Munculnya
partai-partai politik pada masa ini dipicu oleh peristiwa arbitrase
yang dilakukan dalam perang Siffin dan berlanjut dengan
peristiwa-peristiwa lain. Zainal Abidin[2]
mencatat empat partai yang eksis pada masa ini. 1) Partai Umawy, 2)
Partai Aly, 3) Partai Khowarij, dan 4) Partai Zubair (mereka adalah
pengikut Abdullah bin Zubair yang keluar dari pemerintahan umawiyyah
pada masa Yazid bin Mu’awiyah dan mendirikan khilafah sendiri, akan
tetapi partai ini paling pendek umurnya, dengan terbunuhnya Abdullah
pada masa Abdul Malik bin Marwan. Sementara di bidang agama juga
terjadi perpecahan yang dikenal dengan aliran ilmu kalam, yaitu
Qodariyah, Jabbariyah, Mu’tazilah dsb. Baik partai politik maupun aliran
keagamaan yang tumbuh pada masa ini memiliki para penyair dan orator
yang membela keyakinan mereka dan membalas serangan para pesaingnya.
Tidak pelak lagi, Damaskus sebagai pusat pemerintahan dan para
pejabat menjadi basis bagi pertumbuhan sastra yang berorientasi politis.
Hubungan khalifah dan pejabat dengan para penyair bersifat simbiosis
mutulaisme. Khalifah berusaha mendekatkan para penyair dengannya untuk
meminta bantuan mereka menyerang dan bertahan dari serangan musuh.
Sementara para penyair mendapatkan kehormatan dengan menemani khalifah
dalam setiap majelis dan memperoleh kesenangan. Damaskus, telah menjadi
tempat favorite bagi para penyair pujian.
Sementara di Irak,
kecenderungan puisi politik, fanatisme kesukuan dan mazhab lebih
mendominasi. Hal ini disebabkan oleh banyak peperangan dan fitnah. Lalu
muncul puisi-puisi satiris dan politis yang dibawakan oleh para penyair
di al marbad Basrah dan al Kinasah Kufah dan di masjid-masjid di kedua
kota itu sebagaimana mereka berkumpul di pasar Ukkaz pada masa
Jahiliyah.
Sementara di kawasan Hijaz, berkembang juga puisi
politik dan fanatisme golongan sebagaimana di Syam dan Irak, hanya saja
juga masih terdapat puisi dengan jenis al-ghazal atau percintaan.
Berkembangnya puisi politik di kawasan ini disebabkan ketakutan
Mu’awiyah dan khalifah sesudahnya terhadap daya destruktif dan ancaman
orang-orang Quraisy terhadap pemerintahannya. Taktik politik Mu’awiyah
adalah menyibukkan mereka dengan pemberian harta, meracuni dengan
kultur foya-foya agar mereka lupa dan tidak berfikir untuk melakukan
kudeta. Lalu, lagu, santai, foya-foya, dan mengagumi keindahan menjadi
alat politik yang jitu untuk menidurkan suku Quraisy dari keterjagaan
politik.
Di sisi yang lain, penduduk Hijaz melihat ini sebagai
peluang untuk lebih menikmati hidup. Setelah Gerakan Dakwah Islam
melemah di kawasan ini dan diikuti dengan lemahnnya pengawasan
pemerintah karena pusat pemeritahan berpindah ke Damaskus, banyak pemuda
Makkah dan Madinah yang cenderung berfoya-foya sehingga meluaslah jenis
puisi ghazal ini.[3]
Para khalifah Umayyah berasal dari keturunan Arab yang
murni. Mereka memahami sastra, meresapi puisi bahkan menghiasi
retorikanya dengan gaya bahasa yang indah. Dapat disebutkan di sini,
para khalifah yang memiliki perhatian kuat terhadap pertumbuhan sastra
antara lain, Mu’awiyah, Abdul Malik bin Marwan, Hisyam bin Abdul Malik,
bahkan di antaranya adalah adalah seorang penyair, seperti Walid bin
Abdul Malik.[4]
Perhatian para khalifah ini, memiliki dampak yang sangat bagus dalam
aktivitas kesastraan. Para khalifah dinasti Umayyah menganggap bahwa
pujian seorang penyair yang didedikasikan kepadanya merupakan bukti
keberpihakan penyair itu dan kabilahnya kepada sang khalifah.
Bagaimanapun, penyair pada masa itu, tak ubahnya seperti koran,
televisi, radio pada saat ini, yang memiliki kekuatan politis dan mampu
membentuk public opinion yang sangat kuat.
Setiap penyair tidak
terlepas dari fungsi politis ini. Mereka mendukung partai, baik secara
terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Ada juga yang harus
berlaku munafiq dengan mengatakan sesuatu yang tidak diyakini, menentang
perasaan sendiri demi penguasa dan keselamatan, atau demi mengharapkan
pemberian hadiah dari para khalifah dan pejabat. Puisi telah menjadi
potret atau cermin carut-marut, riuh-rendah silang pendapat yang terjadi
antarpartai dan kelompok. Perbedaan pendapat yang tajam antara penyair
dinasti Umayyah dan penyair Bani Hasyim. Di samping kedua kelompok
penyair yang bertikai di atas, masih terdapat lagi para penyair yang
menyokong aliran pemikiran dan mazhab yang berbeda.
Sebagaimana
disebutkan di atas, bahwa terdapat beberapa faktor yang berpengaruh kuat
terhadap perkembangan bahasa dan sastra. Di antaranya adalah:
- Munculnya aliran-aliran politik dan sekte-sekte agama yang berimplikasi pada rekruitmen penyair sebagai pembela keyakinan bagi masing-masing kelompok. Di sini, adu retorika dalam bahasa satiris berubah menjadi pertikaian atau verval contest yang ramai.
- Banyak peperangan dan fitnah yang terjadi di sentaro negeri. Peristiwa-peristiwa ini diabadikan dalam puisi secara detil, bahkan terkadang para penyair juga terlibat dalam pertikaian tersebut.
- Perhatian para khalifah terhadap puisi begitu besar, bahkan beberapa khalifah adalah juga penyair yang selalu memotivasi perkembangan puisi, mengkritik dan menjadi penikmat puisi yang loyal.
- Menghidupkan kembali fanatisme kesukuan. Masing-masing suku mengunggulkan diri sendiri dengan puisi ‘fakhr’ dan menjatuhkan yang lainnya dengan puisi satire. Maka terjadilah pertikaian antara bani Adnan dan orang-orang Yaman, antara bani Rabi’ah dan bani Mudar, bani Qais dan bani Tamim. Pertikaian itu dilokalisir dalam pasar al-marbad di Basrah dan pasar al-kinasah di Kufah.
- Adanya politik azaz manfaat antara khalifah dan para penyair. Di satu pihak para khalifah memanfaatkan penyair untuk dijadikan aparat hegemoni, di pihak lain para penyair mendapatkan fasilitas kemewahan yang berlimpah dan kedudukan yang mulia selama mereka mampu diajak berkompromi untuk berkompetisi dengan verbal contest dalam puisi pujian dan satire. Dengan alasan ini, banyak orang yang menjadikan penyair sebagai profesi yang menjanjikan karena puisi mereka bisa ditukar dengan uang untuk kebutuhan hidup. Di samping itu, terdapat faktor lain yang menjadikan perkembangan sastra pada masa ini lebih baik, yaitu ;
- Munculnya majelis-majelis kritik sastra. Pada masa ini, terdapat para ahli bahasa dan sastra yang biasa menimbang puisi dan menganalisisnya. Akibatnya, para kritikus ini menempatkan satu penyair di atas yang lain yang berimplikasi dengan usaha para penyair untuk memperbaiki puisinya agar tidak menjadi bahan pelecehan bagi para kritikus.[5]
Di
samping memiliki persamaan dengan jenis puisi masa Jahiliyah dan
pra-Islam, jenis puisi masa Umayyah berkembang orientasi/tujuannya
sebagai tindakan reaktif atas problematika zamannya. Sebagaimana
dijelaskan di atas, situasi politik masa Umayyah mengalami perkembangan
yang berbeda dengan masa sebelumnya. Munculnya aliran-aliran politik,
mazhab-mazhab agama, fanatisme kesukuan dan kebangsaan telah melahirkan
jenis-jenis puisi baru, yaitu 1) Puisi politik, 2) Puisi pertikaian
individual, dan 3) Puisi cinta vulgar dan lembut.[6]
Yang
dimaksud dengan puisi politik adalah seni verbal contest yang mendukung
suatu partai politik tertentu dalam menghadapi partai lawannya. Para
penyair menjadi penyambung aspirasi resmi bagi setiap kelompok dengan
makna-makna yang mengandung argumentasi agama dan kepentingan kelompok
yang disampaikan dengan gaya bahasa yang tegas, kuat dan tajam. Salah
satu contohnya adalah puisi Ka’ab bin Ju’ail dari kelompok Mu’awiyah
berhadapan dengan Najasyi, penyair dari kelompok Ali.
Sementara puisi
pertikaian individual adalah puisi satire di mana satu satu individu
membanggakan diri dan kaumnya sambil mencela dan mengejek individu
lainya. Sebagai reaksi, individu yang dicela membalas dengan membela
diri dan membanggakan kaumnya disertai dengan celaan bagi penyair
lawannya. Adapun penyair yang terkenal dalam hal ini adalah al-Akhtal,
al-Farazdaq, dan Jarir, yang akan kita bahas nanti.
Sedangkan puisi
cinta dengan bentuknya yang vulgar diciptakan oleh penyairnya secara
eksplisit. Ia melukiskan kisah cinta yang manis, pertemuan, dan
kebersamaan dengan kata-kata yang jelas dan tidak menyembunyikan fakta
cerita dalam ketaklangsungan ekspresi puisi. Di antara penyair dari
jenis adalah Umar bin Abi Rabi’ah. Sebaliknya, terdapat puisi cinta yang
diekspresikan oleh penyairnya dengan cara yang sangat lembut. Penyair
tipe ini hanya disibukkan oleh satu objek saja, yaitu kekasihnya. Dalam
hidupnya, ia tidak mengetahui apapun selain kekasih satu-satunya yang
kemudian dituangkan dalam puisi-puisinya. Ia tidak peduli dengan
tantangan, kesengsaraan yang menghadangnya dalam proses percintaan
tersebut. Penyair yang terkenal dengan jenis ini adalah Jamil Busainah,
Qais Lubna, dan Qais ‘Amir (al-Mulawih) yang terkenal dengan Laila
Majnun.
Polemik Puisi Satiris Antara Farazdak, Jarir Ibn Atiyah, dan al-Akhtal
Sebelum
mengkaji puisi-puisi yang menggambarkan silang sengketa antara ketiga
penyair besar Umayyah, terlebih dahulu akan diterangkan biografi singkat
dan latar belakang kepenyairan al-Akhtal, al-Farazdaq dan Jarir. Ketiga
penyair ini hidup dalam masa yang sama. Mereka berinteraksi satu sama
lain terutama dalam masalah yang berkaitan dengan puisi. Dari tahun
kelahiran, dapat diketahui kepastian tentang kegiatan interaktif
ketiganya. Al-Farazdaq merupakan penyair yang paling tua, ia lahir pada
tahun 19 H. Pada urutan kedua terdapat al-Akhtal yang lahir tahun 20 H,
dan yang paling muda adalah Jarir yang lahir pada tahun 30 H. Namun,
dari tahun kematian, al-Akhtal menempati urutan pertama, yaitu pada
tahun 92 H, disusul al-Farazdaq tahun 110 H di Basra, dan pada tahun
yang sama lebih enam bulan, Jarir juga menutup usia hidupnya di Yamamah.
Al-Farazdaq, yang bernama lengkap Abu Firas bin Gholib lahir di Yamamah (Arab Timur)[7],
suatu tempat dekat Basrah pada masa akhir pemerintahan Umar bin Khatab.
Ia berasal dari sub-suku Mudjasyi dari klan bani Tamim, dibesarkan
dari keluarga terdidik dan mulia yang nantinya banyak tergambar dalam
puisi-puisinya. Al-Farazdaq memiliki talenta berpuisi sejak usia masih
kecil. Puisinya dinilai kaya dengan ungkapan-ungkapan indah, diksi
terpilih dan uniq, dan memiliki kedalaman makna serta cenderung
mengikuti gaya puisi Jahiliyah yang murni. Para ahli sastra dan bahasa
memuji al-Farazdaq dengan sebuah kalimat: “Kalau bukan karena puisi
al-Farazdaq, maka akan hilanglah 1/3 bahasa Arab”.[8]
Al-Akhtal
bernama lengkap Abu Malik Ghiyas bin Ghaus al-Taghliby al-Nasrany
(beragama Kristen). Ia dilahirkan di sebuah tempat bernama Hirah
(Sergiopolis) sebuah tempat di utara Siria. Ia tumbuh di bawah asuhan
ibu tiri yang justru tidak mendidiknya dengan baik sehingga ia sudah
kenal dengan khamar sejak kecil. Bakat kepenyairannya sudah tampak sejak
kecil dan ketika sudah besar, ia disebut-sebut sebagai penyair yang
selalu menang dalam perang tanding puisi ejekan (hija’ atau satire).
Puisinya mengalir tanpa beban sehingga mudah dipahami. Ia sering meminta
kritik untuk puisi-puisinya sehingga menjadi lebih halus dan bebas dari
kecacatan. Dalam puisi al-Al-Akhtal ditemukan orientasi pujian dan
khamriyat serta puisi politik.[9]
Sementara
Jarir, bernama lengkap Jarir bin Atiyyah bin Khathfy. Ia dilahirkan di
Yamamah di tengah-tengah lingkungan para penyair pada masa pemerintahan
Usman bin Affan. Ia berasal dari keluarga miskin dalam lingkungan
masyarakat Badui. Bakat kepenyairannya telah tampak sejak kecil ketika
ia mengalahkan penyair kaumnya yang menghina keluarganya. Puisinya
mengalir ringan dengan diksi yang tersusun apik namun tetap easy
listening. Hal inilah yang membedakan puisinya dari puisi al-Farazdaq
yang dinilai berat karena bersandar pada diksi-diksi berat dan makna
yang dalam. Puisi al-Farazdaq hanya bisa dinikmati oleh ahli sastra dan
bahasa sementara puisi Jarir dapat diresapi oleh masyarakat awam pada
umumnya.[10]
Afiliasi
politik ketiganya memberikan corak pada puisi yang diciptakan.
Al-Farazdaq, pada awalnya merupakan penganut Syiah. Karena alasan
teologis-politis ini, ia sempat melarikan diri ke Madinah karena dikejar
oleh Ziyad, Gubernur Basrah dan baru kembali ke Irak setalah kematian
Ziyad. Namun demikian, ia telah terbiasa memuji pejabat Umayyah di
Basrah dan Kufah dan terkadang juga mencela mereka. Terkadang ia pergi
ke Damaskus untuk memuji pejabat teras Umayyah. Al-Farazdaq baru
diterima secara terbuka di kalangan Umayyah saat di bawah pemerintahan
Abdul Malik bin Marwan (65/685) dan kedua putranya; Sulaiman dan Hisyam
(105/724).[11]
Sementara
al-Akhtal merupakan lidah tajam khalifah Umayyah, terutama pada masa
Yazid I memerintah (60/680). Sejak saat itu ia menjadi penyair istana
sampai pada masa khalifah-khalifah berikutnya (Mu’awiyah II (64/683) dan
Marwan I (101/717)). Sedangkan Jarir, pada awalnya adalah pengikut
partai Zubairiyah. Akan tetapi, setelah bani Umayyah mengalahkan
Abdullah bin Zubair ia beralih ke daulah Umayyah. Selanjutnya ia memuji
Abdul Malik bin Marwan, Walid I, Sulaiman, dan Umar II.
Dengan demikian, bila dilihat dari urutan kekhalifahan Umayyah[12],
diketahui bahwa al-Akhtal terlebih dahulu terlibat dalam lingkungan
dinasti Umayyah, disusul oleh al-Farazdaq dan Jarir. Pada akhirnya,
secara politis mereka diikat oleh keharusan untuk menegakkan
puisi-puisinya demi untuk mendukung kebesaran dinasti Umayyah.
Bila
secara politis mereka disatukan oleh ikatan kenegaraan, tidak sama
halnya dengan kehidupan keperibadian mereka. Ketiganya terlibat dalam
pertikaian individual yang tak kunjung reda. Adapun sebabnya adalah
sebagai berikut: Ketika kecil, Jarir pernah memenangkan verbal contest
dengan seorang penyair bernama Ghassan yang menghina keluarganya.
Ternyata, pertarungan tersebut berlangsung lama sehingga seorang penyair
bernama al-Baist dari suku al-Farazdaq datang membantu. Jarir menyerang
al-Baits dengan puisi satiris yang tajam. Al-Farazdaq membantu al-Baist
menyerang Jarir dengan mengusik asal-usul Jarir pada masa Jahiliyah dan
Islam dan menggoyang kemulian nenek moyangnya.[13]
Keduanya terlibat dalam pertikaian hebat dengan media puisi. Melihat
pertikaian yang sengit itu, al-Akhtal menilai bahwa al-Farazdaq lebih
unggul dari pada Jarir. Akibatnya, al-Akhtal segera menjadi sasaran
empuk puisi-puisi satire Jarir.[14]
Pertikaian ini tak pernah kunjung padam hingga akhirnya al-Al-Akhtal
wafat tahun 92 H, disusul al-Farazdaq tahun 110 H, dan pada tahun yang
sama lebih enam bulan, Jarir juga menutup usia hidupnya. Berikut akan
ditampilkan pertikaian ketiga penyair tersebut dalam bentuk verbal
contest.
1. Jarir dalam Puisi Sastir Farazdaq
Bait
berikut ini menggambarkan pertikaian antara al-Farazdaq dengan Jarir.
Bait ini didahului dengan prolog al-Farazdaq membanggakan kaumnya
kemudian baru menyerang Jarir dan sukunya.
إن الذي سمك السماء بنى لنا # بيتا دعائمه أعز وأطول
بيتا بناه لنا الملك وما بنى # حكم السماء فإنه لا ينقل
بيتا زرارة محتب بفنائه # ومجاشع, وأبوا لفوارس نهشل
لايحتبي بفناء بيتك مثلهم # أبدا إذا عد الفعال الأفضل
ضربت عليك العنكبوت بنسجها # وقضى عليك به الكتاب المنزل [15]
Sungguh, yang telah meninggikan langit membangun sebuah rumah untuk kami
yang tiangnya lebih kuat dan lebih panjang,
Sebuah rumah yang dibangun oleh raja untuk kami,
dan Ia tidaklah membangun hukum langit, sungguh Ia tak bisa digemingkan
Sebuah rumah untuk Zararah sembari duduk dengan senangnya, dan untuk Majasyi’ dan Nahsyal
Selamanya, ia tidak dapat duduk dengan senang di rumahmu seperti di rumah mereka,
kecuali bila yang baik-baik dihidangkan
Dibangunkan untukmu rumah laba-laba seperti tercantum di al-Kitab yang diturunkan
Dalam bait yang lain, al-Farazdaq juga menyerang Jarir dengan tajam. Lihat potongan puisi berikut ini:
فإنك إذا تسعى لتدرك دارما # لأنت المعني يا جرير المكلف
تطلب من عند النجوم وفوقها # بربق وعير ظهره متفرق
أتى لجرير رهط سوء أذلة # وعرض لئيم للمخازي موقف [16]
Maka sesungguhnya bila engkau berusaha untuk tahu sampai ke akar-akarnya,
niscaya engkau terbalik wahai Jarir yang penuh beban,
Engkau meminta pada bintang dan yang di atasnya dengan tali dan garis
sementara punggungnya tercerai
Jarir memiliki sifat keserakahan dan kehinaan,
harga diri yang nista sangat cocok bagi orang yang mencari kehinaan.
Bait
berikut ini menggambarkan kehinaan suku Jarir. Bila dirasakan, puisi
hija’ ini dapat membuat biru telinga bani Kulaib. Belum lagi rasa malu
yang akan ditanggung oleh suku ini bila puisi al-Farazdaq didengar oleh
suku lain.
ولو ترمى بلؤم بني كليب # نجوم الليل وما وضحت لسار
ولو يرمى بلؤمهم نهار # لدنس لؤمهم وضح النهار
وما يغدو عزيز بني كليب # ليطلب حاجة إلا بجار [17]
Walaupun
gemintang malam dilempar dengan kehinaan Bani Kulaib,
tidaklah bintang
itu menjadi terang sementara kehinaan mereka tetap berlalu.
Walaupun siang dilempar dengan kehinaan mereka,
maka ternodalah kehinaan mereka sementara siang semakin terang,
Dan tidaklah tetua Bani Kulaib bepergian kecuali untuk meminta kebutuhannya pada tetangga.
2. Farazdaq dalam Puisi Satir Jarir
Jarir
membalas ejekan al-Farazdaq dalam puisi berqafiyah ‘lamiyah’ di atas
dengan puisi berqafiyah sama. Secara semiotik, dengan qofiyah ini, ia
ingin menyamakan posisi dengan puisi al-Farazdaq. Sementara dengan
maknanya, ia ingin membalik kenyataan yang dituduhkan kepadanya bahkan
dengan cara menyikat langsung dua penyair lainya, yaitu al-Akhtal dan
al-Baist. . Lihat bait berikut ini:
أعددت للشعراء سما ناقعا # فسقيت آخرهم بكأس الأول
لما وضعت على الفرزدق ميسمى # وضغا البعيث جدعت أنف الأخطل
أخزى الذي سمك السماء مجاشعا # وبنى بنائك في الحضيض الأسفل
ولقد بنيت أخس بيت يبتنى # فهدمت بيتكم بمثلي يذبل
إني انصببت من السماء عليكم # حتى اختطتفتك يا فرزدق من عل
أحلامنا تزن الجبال رزانة # ويفوق جاهلنا فعال الجهل
كان الفرزدق إذ يعوذ بخاله # مثل الذليل يعوذ تحت القرمل
إن الذي سمك السماء بنى لنا # عزا علاك فما له من منقل[18]
Saya telah menyiapkan pembunuh untuk para penyair,
maka saya tuangkan yang paling buncit di antara mereka dengan kendi pertama
Ketika saya letakkan setrikaan di atas al-Farazdaq, menjeritlah al-Baits, dan saya potong hidung al-Akhtal,
Yang mengangkat langit menghinakan Majasy’, dan Ia membangun rumahmu di lembah yang paling bawah,
Engkau telah bangun rumah paling jelek dari yang pernah dibangun,
maka saya hancurkan rumahmu seperti gunung yazbul
Sungguh, akan saya curahkan air dari langit untuk kalian
hingga kulenyapkan engkau al-Farazdaq dari atas dengan sekejap
Mimpi-mimpi kami teguh bagaikan gunung dan kebodohan kami
mengawang laksana kebaikan orang-orang bodoh
Adalah Al-Farazdaq, jika minta perlindungan pada pamannya,
seperti orang hina yang berteduh di bawah pohon qormal
Sungguh,
yang telah meninggikan langit telah membangun kemulian bagi kami di
atas kemulian kalian
dan tidaklah keputusannya bisa bergeming.
Di
lain kesempatan, ia menyerang al-Farazdaq dengan cara membalikkan
fakta. Menurutnya, al-Farazdaq telah berusaha mati-matian menghancurkan
Mirba’ untuk membunuh karakter Jarir. Akan tetapi, ia dibuat kecele
karena justru Mirba’nya tetap jaya sepanjang masa. Kemudian ia membuka
aib al-Farazdaq sebagai pecundang yang berbuat mesum dengan mendatangi
kekasihnya secara tidak hormat. Hal ini tentu menjadi aib besar bagi
orang Arab yang mendewakan keberanian dan kejantanan
زعم الفرزدق أن سيقتل مربعا # أبشر بطول سلامة يا مربع
Al-Farazdaq
mengklaim bahwa ia bisa menghancurkan riwayat Jarir (dikenal dengan
mirba’),
alangkah bahagianya dengan kejayaan mirba’ itu.
Dan
يوصل حبليه اذا جن ليله # ليرقى الى جارته بالسلالم
هو الرجس يا أهل المدينة فا # حذروامداخل رجس بالخبيثات عالم[19]
Dia mengikat dua talinya bila malam mulai kelam,
lalu ia naik tangga menuju kekasihnya,
Dia adalah nista wahai penduduk kota maka berhati-hatilah
karena ia tahu tempat-tempat masuknya kenistaan dengan kotoran/najis.
3. Jarir Dalam Puisi Satir al-Akhtal
Kebiasaan
seorang penyair dalam mengejek penyair lainnya dengan menghubungkan
penyair dengan sukunya akan menambah pedas puisi yang dilontarkan.
Al-Akhtal juga menggunakan teknik ini untuk menghija’ Jarir. Sukunya
dari bani Kulaib bahkan moyangnya Yarbu’ tidak luput dari incaran puisi
hija’nya.
أما كليب بن يربوع فليس لهم # عند التفارط إيراد ولا صدر
مخلفون ويقضي الناس أمرهم # وهم بغيب وفي عمياء ما شعروا[20]
Sedangkan Kulaib dari Yarbu’, tidaklah mereka memiliki keunggulan
Mereka
ditinggalkan dan orang lainlah yang melaksanakan urusannya,
sementara
mereka tidak ada dan dalam keadaan buta,
sayang sekali mereka tidak
merasa.
4. Al-Akhtal dalam Puisi Satir Jarir
Mendengar ejekan terhadap moyangnya dalam puisi hija’ al-Akhtal,
Jarir tidak bisa menahan emosinya untuk membalas ejekan al-Akhtal.
Segera saja suku Taghlib menjadi sasaran puisi hija’ Jarir dengan
menyebut mereka sebagai sebuah suku yang tidak jantan, keturunan budak,
dan penganut agama yang akan menerima azab.
فلو أن تغلب جمعت أحلامها # يوم التفاضل لم تزن مثقالا
تلقاهم حلماء عن أعدائهم # وعلى الصديق تراهم جهالا
لا تطلبن خؤولة في تغلب # فالزنج أكرم منهم أخوالا [21]
Walaupun suku Taghlib mengumpulkan mimpi-mimpinya di hari perlombaan,
niscaya tidak akan bisa ditimbang berat,
Kamu akan mendapatkan mereka begitu lembut terhadap musuh-musuhnya,
dan pada orang yang jujur mereka tampak sangat bodoh,
Janganlah kalian meminta kekerabatan pada suku Taghlib,
karena orang hitam berbangsa Sudan lebih mulia daripada mereka
وكنت إذا لقيت عبيد تيم # وتيما قلت: أيهم العبيد؟
لئيم العالمين يسود تيما # وسيدهم وإن كرهوا مسود[22]
Bila anda bertemu budak belian dan sahayanya, anda akan bertanya; manakah yang budak belian,
Orang
yang memimpin para budak adalah yang paling hina di alam semesta,
bagaimanapun, tuannya, walaupun mereka membenci menyebutnya, mereka juga
adalah budak (yang diperintah).
إن الذي حرم الخلافة تغلبا # جعل النبوة والخلافة فينا
مضر أبي وأبو الملوك فهل لكم # يا خزر تغلب من أب كأبينا
هذا ابن عمي في دمشق خليفة # لو شئت ساقكم إلى قطينا
ولقد جزعت إلى النصارى بعدما # لقي الصليب من العذاب مهينا
هل تشهدون من المشاعر مشعرا # أو تسمعون من الآذان أذينا [23]
Sesungguhnya bani Taghlib mengharamkan khilafah (bagi mereka),
justru menjadikan kenabian dan kekhilafahan pada kami
Mudhar adalah ayahku dan ayah raja-raja,
apakah kalian mempunyai ayah seperti kami wahai Taghlib yang bermata sipit
Khalifah di Damskus adalah anak pamanku,
bila anda mau, ia bisa menggiringmu untuk pembantuku,
Bagaimanapun anda sedih dengan agama Kristen,
Salib akan menemui azab dengan mudahnya
Apakah
kalian menyaksikan satu tempat suci saja di antara sekian banyak tempat
suci lainnya,
atau hanya mendengarkan satu panggilan saja dari begitu
banyak panggilan?
Penutup
Masa
Umayyah yang mempunyai format baru dalam pemerintahannya, telah
memungkinkan para penyair masa ini untuk mengembangkan potensi
kepenyairan mereka dengan cara yang lebih bebas. Hal ini didukung oleh
munculnya partai politik, sekte, fanatisme kebangsaan, dll yang
menyediakan lapangan pekerjaan bagi para penyair untuk menjadi juru
bicara setiap kelompok. Mereka bertindak sebagai penyerang (ofensif)
atau penjaga gawang (defensif) bagi kelompoknya. Tidak heran bila jenis
puisi politik (baik hija’ maupun madh) menjadi trend pada masa ini.
Sebagai penyair yang tumbuh dalam lingkungan kondusif untuk
mengembangkan potensi penyair hija’, Jarir, al-Farazadaq, dan al-Akhtal
menemukan genre baru dalam puisi hija’, yaitu puisi polemik/pertikaian
individual. Genre ini menjadi unik karena pertikaian tersebut menjadi
kental dan ekstrim sehingga tidak ada yang mengalah hingga kematian
tiba. Adapun materi puisi hija’ adalah meninggikan individu yang
bersyair dan merendahkan lawannya bahkan juga sukunya. Puisi sebagai
alat hegemoni suatu kekuatan harus ditangkis dengan alat yang sama.
Nyatalah bahwa puisi memerankan kekuatan efektif untuk membela dan
menyerang individu atau kelompok lainnya, setidaknya sebagaimana
tergambar dari pertikaian ketiga penyair masa Umayyah ini.
Daftar Pustaka
- Abdul Qadir, Zainal Abidin Haji, Muzakkirah fi Tarikh al-Adab al-Araby, (Kualalumpur: Dewan Pustaka dan Bahasa, 1987).
- Blachere, R., Encyclopedy of Islam, (Leiden: Koninklijke Brill).
- al-Hasyimi, Ahmad, Jawahir al-Adab fi Adabiyyat wa Insya Lughat al-Arab, juz II, (Cairo: Dar al-Fikr, tt).
- Iskandar, al-Wasith fi’l Adab al-Araby wa Tarikhih (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1912).
- al-Mursyid, Muhammad Ahmad, al-Adab wa al-Nusus wa al-Balaghah (Cairo: Dar al-Ma’arif, tt).
- Muhammad, Abul Abbas, Al-Kamil fi’l Lughah wa al-Adab, (Bairut: Mu’assasah al-Ma’arif, tt.).
- Siti Maryam (ed.), Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Lesfi, 2002).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar