Sebagai salah satu produk budaya manusia, sastra dalam
perkembangannya tentu senantiasa mengiringi perubahan dan perkembangan
masyarakat pendukungnya. Kelahiran sastra di mana dan kapan pun berada tidak
dapat dilepaskan dari masyarakat pembacanya. Kebermaknaan sebuah karya sastra
lahir akibat adanya resepsi dari pembaca. Masyarakat pembaca dalam hal ini akan
bisa melakukan resepsi maupun apresiasi, bila karya sastra itu menampilkan
sesuatu yang tidak jauh dan asing dari kehidupan mereka, karena medium sastra,
baik lisan atau tulis, adalah bahasa dan bahasa itu sendiri merupakan produk
sosial. Tidaklah berlebihan, bila ada yang menyatakan bahwa karya sastra adalah
sebuah “dokumen,” kesaksian tentang suasana hati dan pikiran masyarakat dan
zaman penciptaannya (Taufik Abdullah, 1991: 45). Dengan demikian, bila
masyarakat pendukungnya selalu dalam proses evolusinya maka tidaklah bisa
diandaikan bahwa karya sastra yang dilahirkan atau yang mengawalnya tidak
mengalami evolusi perkembangannya.
Sastra tidak hanya berurusan dengan dunia pribadi sastrawan
tetapi juga, dan pada dasarnya, berurusan dengan dunia sosial, usaha manusia
untuk menyesuaikan diri dalam dunia itu, dan sekaligus usahanya untuk
senantiasa mengubahnya sehingga menjadi hunian yang lebih baik. Sastra adalah
usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial itu: hubungan-hubungan keluarga,
politik, agama, dan sebagainya. Sastra
juga menggarisbawahi peranannya dalam keluarga dan lembaga-lembaga lain,
mengungkapkan konflik dan ketegangan antarkelompok dan antargolongan. Seperti
halnya sosiologi, sastra sebenarnya berhubungan dengan tekstur sosial, ekonomi,
dan politik. Namun, setidaknya sastra berbuat lebih dari itu dengan mengatasi
sekedar deskripsi dan analisis obyektif dan ilmiah, dan masuk menyusup ke bawah
permukaan kehidupan sosial untuk mengungkapkan cara-cara manusia menghayati
masyarakatnya. Bahkan menurut seorang sosiolog lain, tanpa kesaksian sastra,
pengamat masyarakat tidak akan mampu melihat sebaik-baiknya masyarakat secara
utuh.
Islam sebagai agama
yang senantiasa relevan dalam perkembangan zaman umat manusia, karena ia tidak
lapuk karena hujan dan tak lekang karena panasnya matahari. Islam sangat
menganjurkan agar kita mau berfikir dan bertindak yang dinamis dan konstruktif
untuk kepentingan negara, bangsa dan agama. Sebagaimana telah dipelopori oleh
para pendahulu kita bahwa peradaban modem dalam Islam, sebetulnya mengarah
kepada langkah-langkah untuk melakukan kiat bagaimana caranya untuk
meningkatkan harkat dan martabat umat Islam dari penindasan kaum penjajah
ataupun missi zending yang dari satu masa ke masa berikutnya cenderung
meningkat.
Perkembangan
Islam dalam berbagai bidangnya, termasuk sastra, terus mengalami pasang surut
yang tentu tidak hanya berdasarkan faktor dalam tubuh perkembangan itu sendiri
namun juga mendapat berbagai pengaruh luar termasuk kondisi sosialnya. Berikut
akan dipaparkan perkembangan sastra islam kontemporer di wilayah Afrika.
1. Mesir
Sejak dikuasai oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1789, Mesir memasuki fase modernisasi dan industrialisasi. Diakui ataupun tidak, imperialiasme Perancis atas Mesir inilah yang memicu reformasi (pembaharuan) Mesir, bahkan dunia Islam, memasuki era-modern. Dalam berbagai bidang, Mesir mengarusutamakan pembaharuan, terutama dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan, pemikiran (Islam dan demokrasi) dan teknologi. Adalah Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh merupakan dua nama yang dianggap sebagai motor penggerak utama dari modernisasi Mesir. Sekalipun keduanya pada awalnya dimarginalkan oleh para pemuka militer dan akademisi, namun pengaruh keduanya lambat laun menampakkan hasilnya.
Dalam sastra modern, Mesir dapat dikatakan sebagai pembuka jalan meskipun dari para sastrawan itu banyak yang berasal dari Libanon dan Suriah, mereka pindah ke Mesir untuk menyalurkan bakatnya. Sesudah Perang Dunia I pemikiran-pemikiran intelektual di Mesir, Suriah, dan Irak semakin terasa. Dalam kesusastraan mereka terbagi ke dalam dua kelompok besar. Pada satu pihak pengarang-pengarang yang mempunyai latar belakang pendidikan Barat cenderung pada sastra Perancis dan pada pihak lain lebih cenderung pada sastra Inggris. Yang pertama diwakili oleh Muhammad Husein Haekal (1888-1956) selain sebagai seorang sastrawan, ia juga dikenal sebagai wartawan terkemuka dan pemikir, sedangkan yang kemudian dapat dikatakan diwakili oleh Abbas Mahmud Al-Aqqad (1889-1973) dan Ibrahim al-Mazini (1890-1949).
Dalam sastra modern, Mesir dapat dikatakan sebagai pembuka jalan meskipun dari para sastrawan itu banyak yang berasal dari Libanon dan Suriah, mereka pindah ke Mesir untuk menyalurkan bakatnya. Sesudah Perang Dunia I pemikiran-pemikiran intelektual di Mesir, Suriah, dan Irak semakin terasa. Dalam kesusastraan mereka terbagi ke dalam dua kelompok besar. Pada satu pihak pengarang-pengarang yang mempunyai latar belakang pendidikan Barat cenderung pada sastra Perancis dan pada pihak lain lebih cenderung pada sastra Inggris. Yang pertama diwakili oleh Muhammad Husein Haekal (1888-1956) selain sebagai seorang sastrawan, ia juga dikenal sebagai wartawan terkemuka dan pemikir, sedangkan yang kemudian dapat dikatakan diwakili oleh Abbas Mahmud Al-Aqqad (1889-1973) dan Ibrahim al-Mazini (1890-1949).
Pada awal tahun 1900an di Mesir mengalami krisis bacaan, hampir tidak ada buku fiksi
yang di baca, penerbit swasta saat itu tidak mau mencetak buku-buku fiksi. Pada
masa ini, banyak dibuka toko buku dan toko itu banyak dikunjungi oleh
pengunjung. Dan ini menunjukkan bahwa di Mesir terdapat pasar yang sedang
tumbuh. Meskipun saat itu terdapat sebuah anggapan “Siapa yang ingin membuka
toko buku, itu ibaratnya sama saja dengan membuang uang ke sungai Nil”. Namun,
sekarang situasi bisnis buku ini berubah positif.
Di Mesir muncul beberapa karya dan sastrawan ternama diantaranya “Roman Azazeel
karya penulis Mesir Jussuf Ziedan. Kemudian “Buku kumpulan puisi Tannoura karya
Penyair muda Samar Ali. Diikuti buku karya Paulo Coelho, Khaled Hosseini dan
“Change We Can In” yang ditulis Barack Obama.
El-Mougy, salah seorang penulis yang menjadi panutan para mahasiswi dan penulis
muda perempuan yang neraliran feminis dan sering menyerukkan kemandirian
perempuan tidak hanya dalam hal intelektual tapi juga seksual, ia membenarkan
bahwa kesusasttraan Mesir sejak beberapa tahun terakhir ini kembali
berkembang. Hal yang tak kalah pentingnya lagi adalah kebebasan relative
yang sengaja diberikan pemerintah kepada para penulis. Namun Sahar
El-Mougy tidak berharap banyak pemerintah menggunakan kami sebagai alih-alih,
untuk menunjukkan bahwa mereka Liberal. Kebebasan berakhir ketika kami mulai
mnegkritik pemerintah.
Dalam kesusastraan Mesir sering merujuk pada tatanan situasi sosial masyarakat.
Hal tersebut dapat ditemukan dalam salah satu karya sastra Mesir yang terkemuka
yang berjudul “Taxi” karya Khaled Al-Khamissi. Dalam buku ini, penulis seolah
menyinari masyarakat Mesir, hal tersebut tercermin pada cerita-cerita yang
dialami seorang pengemudi taxi di jalan. Supir Taxi adalah barometer bagi
situasi social masyarakat. Contohnya, di Kairo saja ada 250 ribu pengemudi
taxi, pengemudi taxi bukanlah suatu pekerjaan, tapi cenderung sebagai aktivitas
sampingan atau sambilan. "Banyak penganggur mengemudi
taksi, hingga mereka mendapatkan pekerjaan tetap. Ada seorang pegawai
pemerintah yang pagi hari berada di kantor, dan sorenya mengemudi taksi.
Pengemudi taksi berasal dari berbagai kelompok profesi dan lapisan sosial,"
tutur al-Khamissi. Al-Khamissi menggarisbawahi, bukunya
bukanlah karya jurnalistik atau sosiologi, namun fiksi belaka. "Saya ingin
menceritakan cerita yang mewakili masyarakat Mesir, seperti yang terjadi
ratusan kali setiap harinya." Salah satu ceritanya adalah seorang
perempuan muda bercadar yang naik taksi di kawasan miskin dan ganti baju di
dalam taksi. Setibanya di tujuan, hotel bintang empat, di mana perempuan itu
bekerja sebagai pelayan, dia meninggalkan taksi dengan dandanan yang sangat
berbeda, penuh solekan dan mengenakan rok mini. Cerita-cerita taksi ini
dipaparkan dengan runut dan dengan alur cerita sederhana. Oleh sebab itu
berkesan menenangkan dan otentik.
Kafe dan Sosialisasi Sastra di Mesir awal 1900-an
Kafe dan Sosialisasi Sastra di Mesir awal 1900-an
Salah satu tempat yang paling bersejarah
yaitu kafe. Kafe-kafe (maqha)
bertebaran di seluruh Mesir. Bukan sekadar tempat santai. Revolusi rakyat pun
digodok dari kedai-kedai ini. Belasan karya sastra utama juga lahir dari sana.
Aliansi tokoh Kristen Koptik dan ulama Al-Azhar sempat tergalang di Kafe
El-Fishawi. Para ulama dan darwisy sufi juga punya pangkalan maqha tersendiri.
Minum kopi biar bisa zikir tahan lama.
Angka 1919 adalah angka keramat bagi rakyat
Mesir. Bilangan ini mewakili peristiwa paling heroik dalam sejarah negeri itu:
revolusi tahun 1919. Ketika itu, gelombang revolusi rakyat Mesir menggulung
kolonialisme Inggris. Tahun yang sama, warga Mesir mengangkat tokoh pujaan
mereka, Saad Zaghlul, sebagai perdana menteri pertama. Tapi, tak banyak yang
tahu tempat asal cita-cita revolusi 1919 itu mulai dibangun. Revolusi rakyat
tersebut ternyata lahir dari bangunan sederhana di bundaran Atabah, muara Jalan
Muski, Kairo. Di tempat itu sebagian warga melepas lelah, ngobrol, dan minum
kopi. Kedai kopi? Ya! Revolusi itu dimulai dari kedai kopi bernama Maqhâ (Kafe)
Mitatia.
Spirit revolusi itu tertanam jauh sebelum
1919. Pada penghujung abad ke-19, di Kafe Mitatia, sosok lelaki asing separuh
baya hadir menarik perhatian banyak orang. Pria itu lahir di Afghanistan,
belajar di Persia (Iran), dan punya hobi melanglang buana. Ia telah menjelajah
India, Turki, Suriah, dan terakhir di Mesir. Kumis dan janggut berjuntai menutupi bagian bawah wajah
pria itu. Gaya bicaranya meledak-ledak. Terkadang keluar kata-kata keras dan
tajam dari bibir yang tidak pernah lepas menyedot pipa shisha –rokok Arab
bertabung dan berpipa panjang– itu. Asap shisha meliuk-liuk dipermainkan angin
menerpa wajah orang-orang sekitarnya. Kata-kata keras sosok asing itu belakangan mampu membakar
semangat rakyat Mesir untuk melawan penjajahan Inggris. Orang-orang yang biasa
memanggilnya, Syekh Jamaluddin. Lengkapnya –karena ia berasal dari Afghan–
Syekh Jamaluddin al-Afghani. Di kafe Mitatia, 20-an orang selalu setia menyimak
kata-katanya. Di antara hadirin itu hampir selalu tampak seorang pria
lulusan Al-Azhar bertubuh pendek, berkumis, dan berjenggot. Namanya Muhammad
‘Abduh. Kelak, Abduh dikenal sebagai murid setia Syekh Jamaluddin dan salah
seorang pelopor pembaruan keagamaan serta mufti Mesir ternama.
Selain Abduh, ada dua sosok lelaki lain yang rajin hadir.
Pertama, Abdullah al-Nadim yang nantinya dijuluki Khathîb al-Tsawrah (Orator
Revolusi 1919). Yang kedua, yunior Abduh di Al-Azhar, bernama Saad Zaghlul.
Kelak Zaghlul-lah yang menjadi tokoh utama revolusi 1919 dan perdana menteri
pertama Mesir. Al-Nadim dan Zaghlul sama-sama dikenal sebagai “singa panggung”.
Pengaruh sang guru, Syekh Jamaluddin, tertanam kuat dalam jiwa mereka. Selain
nama-nama besar tersebut, masih ada tokoh revolusi 1919 lain yang juga setia
mengikuti “halaqah kafe” Syekh Jamaluddin. Yaitu, Mahmud Sami al-Barudi.
Cerita itu bukanlah kabar burung, atau sekadar kisah dari
mulut ke mulut. Tapi tercantum dalam buku Ayyam laha Tarikh (Hari-hari yang
Memiliki Sejarah), karya terpenting sastrawan Mesir, Ahmad Bahauddin. Revolusi
1919 yang dahsyat ternyata berasal dari pojok kafe sederhana. Kafe ternyata
memiliki kekuatan mengubah jalan sejarah. Pengaruh kafe di Mesir tak hanya dikenal dalam bidang
politik. Sastrawan Mesir peraih Nobel 1988, Naguib Mahfouz, juga lebih banyak
menghabiskan waktunya dari kafe ke kafe. Tidak ada kafe ternama yang belum
disinggahi Naguib.
Penyanyi legendaris Ummu Kultsum juga
terbiasa nongkrong di kafe. Setiap lepas show, Ummi Kultsum berdialog dengan
fansnya di kafe untuk menanyakan kesan dan kritik mereka. Saat ini Ummi Kultsum
diabadikan menjadi nama sebuah kafe yang sering ia kunjungi. Kafe adalah saksi
sejarah, forum diskusi, dialog, dan debat tokoh-tokoh Mesir sejak dulu. Bagi
rakyat Mesir, kafe adalah “miniatur negara” karena segala persoalan negara,
dari politik, ekonomi, sosial, sastra, dan budaya, dibahas di kafe. Konon, kafe
juga menjadi tempat titik tolak revolusi pemuda di Prancis tahun 1968. Di Mesir, sosok kafe
seperti ini baru dikenal pada zaman pemerintahan Turki pada 1517. Sebelumnya,
memang ada beberapa tempat yang sering dijadikan tempat kumpul masyarakat
Mesir, seperti pasar dan masjid. Tetapi untuk kegiatan seni, sastra, dan
budaya, pasar terlalu gaduh dan masjid terlalu sakral.
Aktivitas
di kafe juga beragam. Mulai mendengarkan musik, syair, dongeng rakyat, hingga
merayakan ritual keagamaan seperti Maulid Nabi. Alkisah, Syekh Al-Bakri,
seorang syekh tarekat di kawasan Azbakia, selalu mengadakan perayaan maulid
Nabi di salah satu kafe. Konon, penguasa Mesir saat itu, Napoleon Bonaparte
juga rajin hadir. Ada juga kafe khusus ulama Al-Azhar, Mesir.
Yang cukup menarik, para pengajar dan ulama Al-Azhar juga punya kafe khusus. Namanya,
Kafe Afandia. Kisah kafe ini terungkap dari korespondensi Abdullah Fikri Pasha
yang berada di Turki dengan Syekh Utsman Haddukh, seorang pengajar Ilmu Nahwu
di Al-Azhar. Surat bertanggal 5 Jumadal Ula 1288 H (1870
M) itu menceritakan kerinduan Fikri Pasha minum kopi dan ngobrol di Kafe
Afandia, dekat Masjid Al-Azhar. Sepulang dari Turki, Abdullah Fikri Pasha
sempat menjabat Menteri Pendidikan Mesir. Meski Kafe Afandia tak bisa ditemukan
lagi, namun kafe Afandia dikenal sebagai pelopor kafe sastra. Kehidupan seni dan sastra juga berkembang
di kawasan ini. Pelajar, ulama, dan syekh al-Azhar memiliki kafe tersendiri
untuk berdiskusi. Para darwisy sufi juga memiliki kafe khusus yang bernama Kafe
Wali Ni’am yang berdiri hingga sekarang. Tokoh tarekat Syekh Sholih al-Ja’fari
juga sering nongkrong di kafe ini sepulang dari Masjid Husein
Pada awal abad ke-20, Kafe El-Fishawi
menjadi primadona. Tokoh besar Mesir seperti Syekh Jamaluddin Al-Afghani, Umar
Makram, Syekh Al-Basyari, dan Abdullah al-Nadim sering terlibat diskusi hangat
di kafe ini. Raksasa sastra Mesir, Naguib Mahfouz –pemenang Hadiah Nobel Sastra
1988– juga mulai membentuk pola pikir dan tulisannya di kafe ini.
2. Aljazair
Karya-karya sastra Aljazair modern banyak yang dipengaruhi oleh iklim perang
kemerdekaan melawan Perancis. Namun sekaligus timbul paradoks, yakni banyak
sastrawan negera di Afrika Utara ini yang menulis karya-karya sastranya dalam
bahasa Perancis dan gaya penulisannya pun tidak jauh berbeda dengan gaya
pengarang Perancis. Bahkan pemikir dan ulama Aljazair terkemuka, Malik Bin Nabi, menulis pikiran keagamaannya dalam bahasa Perancis. Beberapa karya sastra
Aljazair ada yang sudah diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia.
Jika kita melihat pada sejarah. Hal itu terjadi karena
Aljazair sendiri, mulai tahun 1830, menjadi jajahan Prancis hingga merdeka pada
3 Juli 1962. Setahun kemudian, Bella terpilih sebagai presiden hingga dua tahun
kemudian digulingkan Boumedienne. Kuatnya pengaruh kolonialisme Prancis terlihat dari bahasa
Prancis yang menjadi pengantar selain bahasa Arab. Aspek sosial dan budaya juga
memperoleh pengaruh kuat dari Prancis, selain Islam. Sastrawan Prancis
terkemuka peraih nobel, Albert Camus, juga dilahirkan di Aljazair. Sejak zaman revolusi, rezim yang berkuasa ingin membangun
sebuah negara sosialis Islam Arab dan secara ketat mengawasi kehidupan
beragama. Begitu mendarat di Aljazair, bangsa Prancis langsung berupaya
mengeliminir budaya Islam dalam masyarakat Aljazair. Padahal berdasarkan hukum
Islam, tidak dibenarkan kaum non-muslim menguasai kehidupan umat Islam dalam
waktu permanen.
Pada awal tahun 1964 terbentuklah kelompok gerakan Islam
bernama Al-Qiyam, yang merupakan embrio dari Front Penyelamat Islam (Islamic
Salvation Front) yang muncul tahun 1990-an. Al-Qiyam menuntut dominasi Islam
secara luas di Aljazair baik pada sistem hukum dan perpolitikan negara, dan
menentang praktik budaya barat yang tumbuh di masyarakat. Gerakan perlawanan dari kelompok Islam kian
intensif pada tahun 80-an. Tuntunannya antara lain agar masyarakat meninggalkan
budaya barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, mempertanyakan
legitimasi ajaran Marxis oleh pemerintah Aljazair dan menuntut pembentukan
Republik Islam dengan Alquran sebagai sumber hukum negara. Setelah terjadinya
konfrontasi berdarah.
Aljazair adalah sebuah negeri di Afrika
Utara yang boleh dikatakan asing bagi kebanyakan kita. Novel Ali Ghalem, Istri
untuk Putraku, memberikan gambaran dan uraian yang sangat tajam mengenai
beberapa segi kebudayaan dan pengalaman bangsa itu. Lewat novel itu kita bisa
mengenal tata cara perkawinan yang sama sekali asing bagi kita. Dalam novel itu
juga diungkapkan berbagai masalah sosial dan budaya yang menyangkut masyarakat
lapisan bawah; bahkan secara tersirat muncul juga masalah hubungan antara
Aljazair dan Perancis, negeri Eropa yang pernah menguasainya. Beberapa adegan
dalam novel itu digambarkan begitu tajam sehingga sulit lepas dari ingatan
kita, seperti misalnya adegan yang menggambarkan tradisi pemeriksaan
keperawanan bagi gadis yang akan nikah. Juga adegan malam pertama pengantin.
Dalam karya Ali Ghalem itu kita juga menemukan berbagai segi masalah
pendidikan, hak wanita, dan hubungan-hubungan antaranggota keluarga dan
antarkeluarga.
Setelah membaca novel itu, kita merasa seolah-olah
tahu sangat banyak mengenai masyarakat suatu negeri yang sebelumnya sama sekali
asing. Kita menimbang-nimbang berbagai hal yang sama dan tidak sama dengan
dunia dan masyarakat kita sendiri. Kita menjadi lebih kaya. Bahkan tidak jarang
kita merasa menjadi orang yang tahu banyak mengenai sosiologi dan psikologi
masyarakat dan orang Aljazair, tanpa pernah ikut kuliah kedua ilmu itu. Memang
tidak benar jika dikatakan kita telah menjadi pakar sosiologi dan psikologi
masyarakat Aljazair hanya dengan membaca sebuah novel, namun tidak keliru jika
dikatakan bahwa kita telah memahami dan menghayati beberapa segi dunia
pengalaman orang Aljazair, lengkap dengan tanggapan sastrawan terhadapnya.
3. Maroko
Krisis politik, ekonomi, sosial dan
pemikiran yang sedang melanda Maroko pada awal abad 19 sungguh telah menjadikan
Maroko sebagai negara yang sedang gonjang-ganjing. Multi krisis itu disebabkan
oleh berbagai peperangan yang
terjadi di berbagai kota di Maroko, seperti di Tetouan yang disebut perang
Tetouan, perang Isli dan penjajahan Jazirah oleh Prancis yang merambat Maroko.
Sejarawan Maroko Ahmad bin Kholid an-Nashiri mengatakan, bahwa "Berbagai
perang yang terjadi di Maroko telah memecah belah persatuan, khususnya umat
Islam, di mana perang ini belum pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya,
bahkan peperangan itu memunculkan berbagai kerusakan". Kerusakan yang
dimaksud oleh Ahmad Nashiri diperjelas oleh Ustad Dr. Muhamad Abdul Hafid
Genoun Hasani: "Penjajahan yang terjadi di Maroko bukanlah sekedar
penjajahan politik, tetapi merupakan penjajahan agama, sosial, bahasa dan
budaya.
Penjajahan pemikiran
dan agama memiliki dampak yang sangat besar bagi umat dibanding
penjajahan-penjajahan lainnya, karena penjajah tertuju pada keyakinan umat
yaitu agama, persatuan, bahasa dan pemikiran, serta berusaha untuk menguasai
gerak ulama sehingga dapat dengan mudah menutup aliran ilmu, bahasa dan
berbagai pengetahuan". Dalam kondisi yang terdesak dan mengkhawatirkan
kehidupan itu, para penyair Maroko terdorong untuk menggubah puisi kepahlawanan
dan perjuangan. Abbas Jarari mengatakan: "Penyair pada masa itu dianggap
sebagai seniman yang dapat menciptakan karya seni karena pengaruh alam, lingkungan
dan perasaan".
Di sisi lain, kondisi perpolitikan dan kemasyarakatan yang
tidak menentu itu, menimbulkan kejumudan pemikiran Maroko yang mengakibatkan
masyarakat semakin tidak mendapat perhatian pendidikan baik dari kerajaan,
maupun dari ulama-ulama setempat, sehingga kondisi yang ada adalah masyarakat
semakin menjauh dari agama islam, timbul bid'ah dan khurafat, sebagaimana yang
disampaikan oleh Dr. Ibrahim Sulami, "maka bertambahlah kejumudan budaya
seperti pada masa lalu, ditambah lagi dengan belum adanya majalah dan koran,
dan alat cetak yang masih sangat sederhana sehingga tidak dapat untuk mencetak
buku serta menyebarkanya ke khalayak umum, bahkan perhatian kerajaan kepada
penulis dan penyair yang sangat memperihatinkan". Sampai kita temukan
puisi yang berbunyi : Anjing dan Penyair itu satu derajat Sugguh beruntung,
tidak menjadi penyair Kondisi yang demikian itu tentunya mempengaruhi
perkembangan sastra arab Maroko, dimana perkembangan sastra Maroko pada saat
itu menjadi sempit jangkaunya, yaitu tidak lebih dari sekedar menghafal
puisi-puisi dan mengenal penyair-penyair arab terdahulu serta tidak lebih dari
usaha pamer dalam penggunaan bahasa arab dengan ilmu balaghoh dan nahwu, bahkan
masyarakat beranggapan, bahwa penguasaan pada puisi arab tak lebih dari sekedar
batas tingkatan tingginya ilmu bagi seorang ulama.
Dalam hal ini Ilal Fesi mengatakan:
"Perkembangan sastra arab masa-masa ini berkaitan dengan ilmu-ilmu bahasa,
seperti balaghoh dan nahwu, di mana penggunaanya tidak lebih hanya sekedar wasilah
untuk menyombongkan diri, bahwa seorang penyair adalah kelompok yang memiliki
bahasa indah, ungkapan kata yang lembut, pemilihan diksi yang sesuai, dsb,
secara umum puisi Maroko pada masa ini adalah sebuah ukuran tingkatan tertinggi
seorang ulama". Dengan demikian, kita melihat bahwa perkembangan sastra
arab di Maroko pada abad 19 ini merupakan pertunjukan seorang ulama di dalam
menggunakan bahasa arab yang fasih dan indah, bahkan lebih dari itu, bahwa
puisi arab Maroko hanyalah sebagai wasilah untuk menjadikan diri seorang
penyair menerima penghargaan karena bahasanya yang indah dan untuk dapat
menerima pangkat atau jabatan, hal ini dapat kita buktikan dari puisi
Abdurrahman bin Zidan yang berbunyi : Wahai raja, puisi adalah kumpulan hikmat
Yang dapat bermanfaat bagi orang kaya, berkedudukan dan pejabat. Ahmad Thoraisy
menambahkan, bahwa "Penyair yang menggubah puisi pada masa ini bukanlah
penyair yang pada hakikatnya memiliki pemahaman bagaimana cara menggubah dan
melantunkan puisi, namun mereka adalah para ulama ahli agama yang memasuki
dunia sastra dari pintu belakang dan mereka tidak memiliki tujuan kecuali untuk
berpuitisasi, memamerkan bahasa dan mencari hal yang baru dalam bahasa,
dsb". Dr. Abbas Jarari memperkuat pernyataan di atas, beliau mengatakan :
"Sastra Maroko pada masa ini sungguh sangat lemah, tidak memiliki kualitas
dan ia tidak berhak untuk dikembangkan, tidak boleh untuk menjadi bahan
penelitian, tidak dapat dipercaya, tidak mengandung sajak dan intonasi yang
benar dan topic pembahasannya sangat privasi seperti memuji seserang, memuji
alam dan menganggap baik perkumpulan-perkumpulan hura-hura, kalaupun lebih,
maka tak lebih dari sekedar memuji sahabat dan beberapa puisi yang digubah
berdasarkan peristiwa yang semuanya itu mengacu pada kebiasaan-kebiasaan jelek
penyair Arab jahily". Sehingga dengan demikian, Ustad Abdullah Genoun
menyebut masa ini dengan masa kejumudan, seperti dalam pernyataanya:
"dengan demikian, perkembangan pemikiran dan sastra Maroko stagnan, baik
dari segi materinya, maknanya ataupun uslubnya". Namun menurut ustad Abbas
Jarari, jika puisi arab mengandung kumpulan karya sastra arab secara
menyeluruh, maka puisi maroko pada masa ini adalah kumpulan sejarah Maroko
saja, karena ia hanya menyebutkan kejadian-kejadian bersejarah yang dilalui
oleh Maroko selama masa ini, beliau mengatakan : "Sekalipun sastra Maroko
adalah kumpulan kata-kata indah dan sejarah yang tidak memiliki sajak yang
benar, maka dari sisi bagaimana menyampaikan sebuah peristiwa, puisi maroko telah
memberikan bahan yang sangat subur bagi perkembangan sejarah Maroko".
Dalam kondisi yang demikian itu, pada
pertengahan abad 19 muncul sebuah gerakan salafiyah yang menyeru kepada agama
islam dengan memerangi bi'dah dan khurafat yang komandoi oleh Syaikh Abu Syuaib
Ad-Dakkali dan dilanjutkan serta disebarkan oleh Syaik Muhamd bin al-Arabi
al-Alawi, Abdullah Genoun dan Ilal Fasi. Gerakan salafiyah ini sedikit membawa
kemajuan bagi perkembangan sastra Arab di Maroko, di antaranya terlihat pada
munculnya alat percetakan yang dibawa oleh Idris bin Muhamad Idris al-Imrowi
sepulang dari Paris tahun 1859 dan juga alat percetakan yang dibawa oleh
Muhamad Thoyib al-Susi al-Rudani sepulang dari haji melewati Mesir pada tahun
1865.
Lantas muncul pertanyaan, jika Maroko telah berusaha untuk keluar dari multi krisis pada dua pemerintahan, pemerintahan Muhamad Abdurrahman dan Hasan I yang nampak pada berbagai usaha seperti pengiriman delegasi ilmiah ke Mesir dan Eropa, pembaharuan sistem perkantoran, memajukan pendidikan, membina tentara, mengembangkan perdagangan, dan merevisi system negara dari berbagai segi, memasukkan alat cetak dan munculnya koran pada tahun 1889, namun, kenapa Maroko tidak juga sampai pada perkembangannya dibidang sastra? Sesungguhnya, perang Tetouan, Perang Rif dan perpecahan di Maroko sebelah selatan dan Atlas telah memberikan pengaruh tersendiri bagi perkembangan sastra Maroko, khususnya hubungan sastra dengan politik dan hubungan politik dengan sastra. Perkembangan yang terjadi dibidang percetakan dan koran pun juga telah memiliki andil yang besar dalam mencetak peta-peta pemikiran para pemuda yang saat itu terpengaruh oleh sastra arab dari timur tengah yang sedang maju yang dimotori oleh Mahmud Sami Barudi, Hafid Ibrahim dan Ahmad Syauqi, sehingga sastra Maroko semakin menyamai puisi arab zaman jahily, baik dari segi bentuknya, pemaparanya dan sajaknya. Di mana bentuk yang demikian ini merupakan referensi utama untuk menuju pada penggubahan puisi arab yang benar. Perjalanan ke arah kemajuan sastra Maroko tidak hanya di situ, dari segi bahasa, terdapat perkembangan juga yaitu lebih mudah dipahami dan merakyat, dari segi bentuk kebanyakan sama dengan bentuk puisi lama sekalipun tidak semua, dan dari segi topic, terjadi kemajuan yang sangat besar, misalnya topicnya lebih meluas, seperti topic tentang jati diri, romance, peristiwa-peristiwa politik, social, pemikiran yang kontemporer dsb.
Lantas muncul pertanyaan, jika Maroko telah berusaha untuk keluar dari multi krisis pada dua pemerintahan, pemerintahan Muhamad Abdurrahman dan Hasan I yang nampak pada berbagai usaha seperti pengiriman delegasi ilmiah ke Mesir dan Eropa, pembaharuan sistem perkantoran, memajukan pendidikan, membina tentara, mengembangkan perdagangan, dan merevisi system negara dari berbagai segi, memasukkan alat cetak dan munculnya koran pada tahun 1889, namun, kenapa Maroko tidak juga sampai pada perkembangannya dibidang sastra? Sesungguhnya, perang Tetouan, Perang Rif dan perpecahan di Maroko sebelah selatan dan Atlas telah memberikan pengaruh tersendiri bagi perkembangan sastra Maroko, khususnya hubungan sastra dengan politik dan hubungan politik dengan sastra. Perkembangan yang terjadi dibidang percetakan dan koran pun juga telah memiliki andil yang besar dalam mencetak peta-peta pemikiran para pemuda yang saat itu terpengaruh oleh sastra arab dari timur tengah yang sedang maju yang dimotori oleh Mahmud Sami Barudi, Hafid Ibrahim dan Ahmad Syauqi, sehingga sastra Maroko semakin menyamai puisi arab zaman jahily, baik dari segi bentuknya, pemaparanya dan sajaknya. Di mana bentuk yang demikian ini merupakan referensi utama untuk menuju pada penggubahan puisi arab yang benar. Perjalanan ke arah kemajuan sastra Maroko tidak hanya di situ, dari segi bahasa, terdapat perkembangan juga yaitu lebih mudah dipahami dan merakyat, dari segi bentuk kebanyakan sama dengan bentuk puisi lama sekalipun tidak semua, dan dari segi topic, terjadi kemajuan yang sangat besar, misalnya topicnya lebih meluas, seperti topic tentang jati diri, romance, peristiwa-peristiwa politik, social, pemikiran yang kontemporer dsb.
4. Libya
Beberapa Penyair dan pujangga Libya,
di antaranya Ibrahim Al-Astha Omar (1908-1950), para sastrawan Libya antara
lain, Rashid Zubeir, Azab Rakabi, Mohamed Mehdi, Haniyah Kadiki, Ragab Majiri,
Rihab Sneib, Isham Farjani dan Abdul Hamid Bathaw, budayawan Libya, Ali
Moustafa al-Misurati (diambil dari nama kota Misurata, kota ketiga
terbesar di Libya, setelah Tripoli dan Benghazi dengan cerpennya ‘Abdel Karim
Tahta al-Jisr’ [Abdel Karim..dibawah Jembatan], terbitan al-Muassasah
al-Arabiyah li al-Nasyar wa al-Ibda’, Casablanca, Maroko, disamping novel
‘Khirrijaat Qaryunes’ (Perempuan-Perempuan Alumni Universitas Qaryunes), karya Aisha
al-Ashfar, terbitan Dar al-Kutub al-Wathaniyah, Benghazi, Libya).
Ibrahim Al-Astha Omar dilahirkan di kota
Darnah pada tahun 1908, dan bekerja di Bagian Bea dan Cukai. Kemudian ikut tes
masuk kepegawaian kehakiman dan diangkat sebagai Hakim. Sempat memimpin cabang
’Jam’iyah Omar Mukhtar’ (Organisasi Omar Mukhtar) di kota kelahirannya Darnah.
Kemudian dia mengembara dan merantau ke Mesir, Syria, Irak dan Jordania Timur.
Di negeri-negeri tersebut, dia bertemu dan bergumul dengan tokoh sastrawan dan
budayawan negara tersebut, disamping dia menjadi anggota Komite Pembela Barqa
dan Tripoli di Damaskus. Pada tahun 1967 dia menerbitkan ontology puisinya,
berjudul, ‘al-Bulbul wa al-Wakar’. Sastrawan dan budayawan Ali Moustafa al-
Misurati juga menulis tentang Ibrahim A. Omar dengan judul, ‘Syair min
Libya…Ibrahim Al-Astha Omar (Penyair dari Libya….Ibrahim A. Omar), terbit pada
tahun 1957. Dia meninggal pada tanggal 26 September 1950.
Menurut Dr. Shaeed Abou Deeb bahwa Ibrahim A. Omar termasuk
diantara penyair yang awal-awal merespon ‘al-Mahgar School’ dalam syair dan
sastra ( salah seorang tokoh penyair ‘al-Mahgar School’ adalah Gubran Khalil
Gubran, yang di Indonesia dikenal dengan ‘Kahlil Gibran, yang sebenarnya adalah
nama ayahnya, penyair asal Lebanon yang menetap di AS. Dalam konteks ‘al-Mahgar
School’ terdapat dua aliran, yaitu aliran Amerika Utara yang berpusat di AS,
sekarang dan kedua aliran Amerika Latin yang berpusat di Brazilia). Respon
tersebut nampak pada karya syair dan perenungannya melalui kontemplasi
pergumulan dengan persoalan kemanusiaan dan kebebasan (al-insaniyah wa
al-hurriyah). Ibrahim tercatat dalam sejarah dan biografinya, suatu sikap dan
ekspresi nasionalisme yang dipertahankan dan, bahkan diperjuangkan hingga akhir
hayatnya, seperti tema-tema, kebenaran (truth), kebebasan dan cinta tanah air.
Hal ini yang membuat karya-karya kepenyairannya senantiasa up to date dan
perennial.
Menurut Dr. Omar Khalifah bin Idris, Guru Besar Bahasa dan
Sastra Arab, Fakultas Sastra, Universitas Qaryunes, Benghazi, Libya, bahwa
Ibrahim A. Omar adalah seorang penyair sebagaimana penyalir lainnya, yang
menulis berbagai tema kehidupan dan terlibat serta bergumul di dalamnya tentang
kehidupan tersebut. Sedangkan tema nasionalisme dan idealisme, dsb, merupakan
pintu gerbang keterkaitan dan ketersambungan sang penyair antara ‘wujdan’
dengan pembacanya. Romantika keindahan dan kepenyairannya, menurut penyair
Mohamed al-Faqih Saleh, bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, romantisme-nasionalisme
yang erat hubungannya dengan persoalan ‘wujdaan’ dalam kerangka penggempuran
terhadap kejumudan, status quo, berjihad dan melawan keputusasaan. Kedua,
kecenderungan tradisional yang berhubungan dengan kembalinya ‘si anak hilang’
ke pangkuan ibu pertiwi Libya setelah mengembara ke barbagai negara Arab dan
keikutsertaannya pada pergerakan politik nasional, baik sebagai tokoh dan
pemimpin pada sebagian gerakan melalui ‘Jam’iyah Omar Mukhtar’, sehingga
kepenyairannya merefleksian – pada awalnya – kerinduan pada ‘wujdan dan zat’;
kemudian melebar pada tema tradisonal – persoalan kehidupan umum masyarakat
luas. Sedangkan menurut Dr. Nagia Maulud Kailani, dari Departemen Bahasa dan
Sastra Arab, Universitas Al-Fateh, Tripoli mengatakan bahwa tema besar
kepenyairan Ibrahim A. Omar mengungkapkan berbagai paradoks persoalan, akan
tetapi secara umum yang menjadi tema utamanya adalah persoalan kemanusian
dengan berbagai aspek pergumulannya. Manusia yang mengalami ‘humuum’ kehidupan
dan juga ‘humuum’ orang lain.
5. Sudan
Sastra Sudan
kontemporer baru-baru ini mencakup berbagai macam satra lisan dan tulisan.
Sebelum novel dan cerpen dikenal sebagai genre-genre sastra, sastra Sudan
berbentuk cerita-cerita dan puisi-puisi lisan. Kebanyakan diantaranya sampai saat ini, diteruskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Kebanyakan dari cerita-cerita itu
menggambarkan berbagai prestasi seseorang dan berbagai peperangan yang
terkenal, atau berhubungan dengan kehidupan para pahlawan dari Arab zaman dulu.
Beberapa diantaranya memiliki tema-tema religius dan berpusat seputar perbuatan
baik dan keberanian yang telah diakui, sebaik yang ada di daerah setempat,
figurasi dan mistis religi.
Salah satunya sebagai figurasi dari
khalifah keempat, Ali bin abi Thalib, sepupu dan anak angkat Nabi Muhammad,
dikenal dengan Sirat Ali Al-Karrar (The Life of Ali The Hero). Kebanyakan
cerita-cerita lisan banyak dibubuhi dan dilebih-lebihkan, menggambarkan
karakter-karakter utama sebagai seseorang yang gagah berani. Ada pula cerita-cerita
yang menggambarkan kehidupan sosial orang Sudan baik yang ada di perkampungan
maupun yang ada di daerah kota.
Cerita-cerita dalam karya itu yang memiliki
sebuah tema sekuler disebut dengan “Ahaji”. Mereka biasanya di sebut sebagai
angggota-anggota komunitas yang lebih tua, kebanyakan di tempat-tempat pedesaan
dimana pendidikan dibatasi and ritma kebiasaan hidup lebih santai. Mereka tanpa
terkecuali mempunyai cerita akhir yang membahagiakan, adapula cerita mengenai
takhayul yang menggambarkan kekuatan magis jin dan raksasa. Salah satu dari
cerita “Ahaji” itu ialah cerita Fatima Al-Samha (Beautiful Fatima), Gadis
tercantik di sebuah desa. Fatima mempunyai banyak peminang yang semuanya tidak
diinginkannya. Suatu hari dia diculik oleh seorang raksasa dan di kurung.
Ketika berita penahanannya sampai pada seorang pangeran muda yang tampan, dia
memutuskan untuk menyelamatkannya dari raksasa. Fatima dan pangeran itu saling
jatuh cinta dan akhirnya menikah. Cerita Fatima yang cantik berlanjut terkenal sampai
sekarang.
Beberapa cerita di bentuk dalam bentuk
puisi, termasuk petualangan Hambata, kawanan perampok yang berkelana di padang
pasir Sudan. Walaupun mereka adalah orang-orang yang hidup diluar
perlindungan hukum, Hambata telah di abadikan sebagai orang-orang yang berani
dan memegang teguh kode etik di kota mereka. Mereka dapat dibandingkan dengan
Arsin Lupin atau Robin Hood di Barat, dan Saalik, atau Penyair buangan pada
Arab sebelum Islam yang hidup diluar perlindungan hukum, juga para perampok, mereka
yang menulis puisi untuk mengkritik kondisi sosial di kota yang memboikot
mereka dan membuat mereka terbuang. Tipe cerita bentuk puisi lain di
miliki oleh “Madah”, atau genre “Praise” (pujian). Ditulis dalam bentuk pujian
pada Nabi, puisi-puisi “Madah” khususnya terkenal di Sudan Utara.
Masa transisi dari saatra lisan ke tulisan,
yang terjadi di awal abad modern, dihasilkan oleh hadirnya mesin
cetak (percetakan). Banyak contoh cerita-cerita terkenal dan puisi-puisi yang
dibacakan secara lisan secara bertahap menemukan jalannya untuk dicetak di
beberapa Koran pertama Negara. Salah satu dari Koran yang pertama dicetak
adalah “Jaridat Al-Sudan” (Sudan News), yang pertama kali di cetak pada tahun
1930. Itu merupakan sebuah Koran mingguan, yang dipublikasikan dalam dua bahasa
yaitu bahasa Arab dan Inggris. Pengaruh dari Koran ini pada sastra Sudan sangat
kecil, karena para editornya hanya menerbitkan materi-materi yang diizinkan
oleh yang berkuasa. Beberapa artikel itu pertama kali ditulis dalam bahasa Arab
dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sehingga orang-orang Inggris dapat
memahami apa yang ditulis di dalamnya. Hal itu semestinya ditunjukkan bahwa
Sudan pada pergantian abad berada dibawah kekuasaan Anglo-Egyptian yang
berakhir pada tahun 1899 hingga 1953 ketika Negara itu memiliki pemerintahan
mandiri, mendapatkan kemerdekaan penuh pada tahun 1956. “Jadirat Al-Sudan”,
karena itu, kurang lebih merupakan tulisan-tulisan kenegaraan. Memiliki bentuk
formal dan secara tetap melaporkan berita-berita dari sudut pandang mereka yang
berkuasa.
Koran pertama yang memeiliki pengaruh
signifikan dalam perkembangan sastra Nasional adalah “Al-Raid” (The Pioneer),
yang muncul pada tahun 1914 sebagai sebuah Koran mingguan dan memasyarakat.
“Al-Raid” dikemukakan oleh saudagar Yunani yang mengatur lembaga percetakan di
ibu kota Sudan, Khartoum, untuk mencetak Koran Yunani.Beberapa orang dari para intelektual Sudan,
merasa bahwa mereka perlu mempublikasikan sastra dalam bahasa Arab, mereka
mendekati saudagar Yunani itu dan memintanya mulai menerbitkan koran dalam
bahasa Arab. “Al-Raid” diubah oleh beberapa pergantian generasi sastrawan,
diantaranya seorang hakim dan sastrawan mesir Yusuf Wahbi dan akademisi Syria
Fouad al-Khatib yang mempelajari bahasa Arab di Gordon College di Khartoum. Salah satu dari penulis yang terkenal di
Sudan adalah Al-Tayyib Salih. Dia menulis berbagai novel dan cerpen. Karyanya
yang paling terkenal “Season of Migration to the North” diterbitkan pada tahun
1967, isinya mengenai kembalinya para pelajar Sudan dari Inggris. Karya ini
awalnya ditulis dalam bahasa Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris dan Perancis.
REFERENSI:
- http://guntur name/2007/12B/kafe-kafe-mesir-inspirator-revolusi-sastra-dan-tradisi-sufi/-
- http://id53.html
- http://100-tahun-kelahiran-penyair-libya.html
- http://zanikhan.multiply.com/profile
- http://puisi-arab-modern-di-maroko-abad-20.htm
- http://sudan/Sudanese_literature.htm
- http://sudan/googleScholar.qst.htm
penjajahan tidak selamanya menyiksa tergantung bagaimana kita menyikapinya seperti negara sudan ini banyak karya-karyanya yang di terbitkan syariatnya karena mereka tahu mesin penerbit dan pencetak itu karena mereka belajar dari bangsa prancis
BalasHapusmemang benar untuk mengetahui kehidupan sosial suatu daerah atau bahkan suatu negara kita tidak harus mengunjungi langsung tempat tersebut. cukup dengan membaca karya sastranya maka kita akan mampu menggambarkan keadaan dan situasi yang terjadi pada saat itu.
BalasHapusdalam bersastra kita sama saja mempelajari ekonomi, politik, dan tentunya budaya suatu daerah maupun negara dimana karya sastra itu lahir. seperti perkembangan sastra di maroko mesir, libya, dan al jazair. merupakan lahirnya ide dalam menciptakan karya sastra baru dan tetap dikenang.
BalasHapusawal mula perkembangan sastra di mesir merupakan cikal bakal perkembangan sastra di benua Afrika. sastra sangat berperan dalam pembentukan dan perkembangan masyarakat di suatu daerah. hal ini juga terbukti dari perkembangan yang terjadi di mesir dan daerah muslim lainnya yang berada di benua Afrika.
BalasHapusKebudayaan umat Islam pada masa pembaharuan berkembang ke arah yang lebih maju. Hal ini dapat dpelajari dari berbagai Negara Islam atau negara yang berpenduduk mayoritas umat Islam. Perkembangan ini meliputi bidang arsitektur, sastra dan kaligrafi. Pada bidang sastra di masa pembaharuan telah muncul para sastrawan yang karya-karya sastrannya bersifat Islami di berbagai Negara, misalnya Muhammad Iqbal yang telah mengungkapkan filsafatnya dalam bentuk puisi dengan menggunakan bahsa Urdu dan Persia. Beliau mempunyai gagasan untuk menyatukan barat dan timur melalui buku filsafatnya. Ada juga Dr. Muhammad Husain Haekal (1888-1956), seorang sastrawan dan dianggap perintis karya sastra modern setelah novelnya yang berjudul Zainab terbit tahun 1914. Beliau juga banyak menulis kritik sastra dan cerita pendek. Dan peranan perempuan dalam perkembangan sastra modern ternyata tidak banyak. Dari yang sedikit itu misalnya El-Mougy, salah seorang penulis yang menjadi panutan para mahasiswi dan penulis muda perempuan yang beraliran feminis dan sering menyerukkan kemandirian perempuan tidak hanya dalam hal intelektual tapi juga seksual. Dan “sang Raksasa Sastra Mesir”, Naguib Mahfouz yang memenangkan Hadiah Nobel Sastra 1988 lahir di sini.
BalasHapus