Imam al-Syafi'i Rahimahullah sudah sangat dikenal sebagai Imam Madzhab Fiqh Syafi'iyyah. Banyak karya yang lahir dari buah penanya, atau pun karya-karya mengenainya. Namun, sebagaimana para Imam Madzhab lainnya, satu sisi dari kompetensi yang dimiliki oleh beliau adalah menulis karya sastra, khususnya puisi, yang bercita rasa sastra tinggi. Hal inilah yang akan dicoba diulas secara singkat dalam tulisan ini.
Biografi Singkat
Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab
beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin
Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin
‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri
‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung
Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin
al-Muththalib.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits
bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari
dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut
dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah
pendapat-pendapat
sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.
sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.
Ayahnya beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah
daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia hidup dari keluarga tidak punya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan
(Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan
masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, yang namanya menjadi
sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang
sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat
kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah saw. Dia termasuk
dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia
tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati
dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin
Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah
yang memiliki kunyah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu
Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan
yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan
melakukan istinbath.
Imam Syafi'i dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu
Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau
adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya. Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan
beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh
ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan
wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya
dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah
kota Asqalan dan Yaman. Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat
tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah
tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau
dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang
keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu
ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir
nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Etos Pengembaraan Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu
al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya
ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak
dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam
Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal al-Quran), saya
melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat al-Quran, maka
aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia
berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya
(mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi
menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah menyelesaikan menghafal al-Quran di al-Kuttab, beliau
kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di
sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba
ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan
tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya
penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah
bertuliskan hadits-hadits Nabi. Hal itu terjadi pada saat beliau belum lagi
berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal al-Quran pada saat
berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya
Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik
di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan
syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku
Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair
mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai
kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab
orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa
Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Ia adalah pencari ilmu yang sungguh-sungguh, zuhud, penyabar, dan atau beretos belajar yang tinggi. Simaklah syair yang disusunnya terkait pegembaraannya untuk mencari ilmu:
Merantaulah
Orang pandai dan beradab tak kan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Pergilah 'kan kau dapatkan pengganti dari kerabat dan teman
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.
Aku melihat air yang diam menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih jika tidak dia 'kan keruh menggenang
Singa tak kan pernah memangsa jika tak tinggalkan sarang
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak kan kena sasaran
Jika saja matahari di orbitnya tak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Rembulan jika terus-menerus purnama sepanjang zaman
Orang-orang tak kan menunggu saat munculnya datang
Biji emas bagai tanah biasa sebelum digali dari tambang
Setelah diolah dan ditambang manusia ramai memperebutkan
Kayu gahru tak ubahnya kayu biasa di dalam hutan
Jika dibawa ke kota berubah mahal jadi incaran hartawan
Orang pandai dan beradab tak kan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Pergilah 'kan kau dapatkan pengganti dari kerabat dan teman
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.
Aku melihat air yang diam menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih jika tidak dia 'kan keruh menggenang
Singa tak kan pernah memangsa jika tak tinggalkan sarang
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak kan kena sasaran
Jika saja matahari di orbitnya tak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Rembulan jika terus-menerus purnama sepanjang zaman
Orang-orang tak kan menunggu saat munculnya datang
Biji emas bagai tanah biasa sebelum digali dari tambang
Setelah diolah dan ditambang manusia ramai memperebutkan
Kayu gahru tak ubahnya kayu biasa di dalam hutan
Jika dibawa ke kota berubah mahal jadi incaran hartawan
Takdir
Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua
orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid al-Zanji (mufti kota Mekkah), dan al-Husain
bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk
mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu. Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama
kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin 'Abd al-Rahman al-‘Athar,
Muhammad bin Ali bin Syafi’ (yang masih terhitung paman jauhnya), Sufyan bin
‘Uyainah (ahli hadits Mekkah), Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin
Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu
fiqih, hadits, bahasa (lughah), dan lainnya. Di samping itu beliau juga
mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir
sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan
bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa,
timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar al-Sunnah, untuk mengambil
ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun
al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan
Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan
hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah
kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun
179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah
lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz al-Darawardi, Athaf bin
Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan
mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin
dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah
beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum
maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah
kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga
ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat
kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun al-Rasyid, Mereka
menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan
Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa
awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani
Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu
menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini
membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang
‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan
pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahl al-Bait
Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan
sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa
cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu
akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap
tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model
orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model
mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman
, dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka.
Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh
perintah-perintah yang terdapat dalam al-Quran maupun hadits-hadits shahih. Kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh
orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak
mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad
dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah.
Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun al-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit.
Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal
kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan
penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan
dari Muhammad bin al-Hasan (ahli fiqih Irak), beliau berhasil meyakinkan
Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau
meninggalkan majelis Harun al-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan
bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di
Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari
ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahl al-Ra’yu. Untuk itu beliau berguru
dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin
‘Ulayyah dan Abd al-Wahhab al-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari
para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal.
Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba,
ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama
beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai
akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam
Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam
Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk
menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang
nasikh dan mansukh dari ayat-ayat al-Quran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis
kitabnya yang terkenal, Al-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali
melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab
Ashhab al-Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para
ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya,
kelompok Ashhab al-Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka
merasa didominasi oleh Ahl al-Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau
datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahl al-Ra’yi. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja. Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun
197 beliau kembali ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri.
Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi
beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya
beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah
al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam
pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara, Imam Syafi‘i adalah orang
yang memiliki kapasitas dan otoritas keilmuan yang integral. Karenanya, ia menulis Fiqh al-Akbar, sebagai upaya menjelaskan konteks integrasi antara kalam dan syari'at. Beliau sangat paham bagaimana pertentangan ilmu ini
dengan manhaj al-salaf al-shalih –yang selama ini dipegangnya- di dalam
memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam
menjadikan rasio dan logika sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah,
menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga
memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian mereka kepada
ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab rasional-murni dari mutakallim dalam memahami Islam.
Puncak dari "fitnah" para mutakallim Istana, terutama Mu'tazilah, adalah provokasi mereka yang membuat Khalifah
menggelar Yaum al-Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk
menguji dan memaksa mereka menerima paham al-Quran itu makhluk. Akibatnya, banyak
ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah
Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan
pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya
ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan
masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah
kitab, termasuk merevisi kitabnya al-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui
akhir kehidupannya di sana. Kerelaannya menerima takdir Allah mendorongnya untuk menjemput takdir Allah lainnya. Terkait dengan hal ini, ia mengekspresikannya dalam syair-syairnya, seperti:
Rela Pada Ketentuan Allah
Biarkanlah hari-hari berbuat semaunya
Berlapang dada-lah jika takdir menimpa
Jangan berkeluh-kesah atas musibah di malam hari
Tiada musibah yang kekal di muka bumi
Jadilah laki-laki tegar dalam menghadapi tragedi
Berlakulah pema’af selalu menepati janji
Jika banyak aibmu di mata manusia
Sedang engkau berharap menutupinya
Bersembunyilah engkau di balik derma
Dengan derma aibmu tertutup semua
Jangan pernah terlihat lemah di depan musuhmu
Sungguh malapetaka jika musuh menertawaimu
Jangan berharap dari orang kikir kemurahan
Di neraka tiada air bagi orang yang kehausan
Rizkimu tidak berkurang karena kerja wajar perlahan
Berlelah-lelah tidak menambah rizki seseorang
Tiada kesedihan yang kekal tidak pula kebahagiaan
Tiada kesulitan yang abadi tidak pula kemudahan
Jika engkau berhati puas dan mudah menerima
Sungguh, antara engkau dan raja dunia tiada beda
Barangsiapa kematian datang menjemputnya
Langit dan bumi tak kan mampu melindunginya
Bumi Allah begitu lapang luas membentang
Namun seakan sempit kala ajal menjelang
Biarkanlah hari-hari ingkar janji setiap saat
Kematian tak mungkin dicegah dengan obat
Biarkanlah hari-hari berbuat semaunya
Berlapang dada-lah jika takdir menimpa
Jangan berkeluh-kesah atas musibah di malam hari
Tiada musibah yang kekal di muka bumi
Jadilah laki-laki tegar dalam menghadapi tragedi
Berlakulah pema’af selalu menepati janji
Jika banyak aibmu di mata manusia
Sedang engkau berharap menutupinya
Bersembunyilah engkau di balik derma
Dengan derma aibmu tertutup semua
Jangan pernah terlihat lemah di depan musuhmu
Sungguh malapetaka jika musuh menertawaimu
Jangan berharap dari orang kikir kemurahan
Di neraka tiada air bagi orang yang kehausan
Rizkimu tidak berkurang karena kerja wajar perlahan
Berlelah-lelah tidak menambah rizki seseorang
Tiada kesedihan yang kekal tidak pula kebahagiaan
Tiada kesulitan yang abadi tidak pula kemudahan
Jika engkau berhati puas dan mudah menerima
Sungguh, antara engkau dan raja dunia tiada beda
Barangsiapa kematian datang menjemputnya
Langit dan bumi tak kan mampu melindunginya
Bumi Allah begitu lapang luas membentang
Namun seakan sempit kala ajal menjelang
Biarkanlah hari-hari ingkar janji setiap saat
Kematian tak mungkin dicegah dengan obat
Sisi Kepenyairan Imam Syafi'i
Seperti dijelaskan di atas, Imam Syafi'i juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan
syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku
Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair
mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai
kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab
orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa
Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya.
TIPUAN PALSU
Aku melihat tipu muslihat dunia,
tatkala ia bertengger di atas kepala-kepala manusia,
dan membincangkan manusia-manusia yang terkena tipunya.
Bagi mereka, Orang sepertiku tampak amat tak berharga.
Aku disamakan olehnya, dengan anak kecil yang sedang bermain di jalanan.
Aku melihat tipu muslihat dunia,
tatkala ia bertengger di atas kepala-kepala manusia,
dan membincangkan manusia-manusia yang terkena tipunya.
Bagi mereka, Orang sepertiku tampak amat tak berharga.
Aku disamakan olehnya, dengan anak kecil yang sedang bermain di jalanan.
MENCINTAI AKHIRAT
Duhai orang yang senang memeluk dunia fana,
Yang tak kenal pagi dan sore dalam mencari dunia,
Hendaklah engkau tinggalkan pelukan mesramu,
kepada duniamu itu.
Karena kelak engkau akan berpelukan,
Dengan bidadari di surga.
Apabila engkau harap menjadi penghuni surga abadi,
maka hindarilah jalan menuju api neraka.
Duhai orang yang senang memeluk dunia fana,
Yang tak kenal pagi dan sore dalam mencari dunia,
Hendaklah engkau tinggalkan pelukan mesramu,
kepada duniamu itu.
Karena kelak engkau akan berpelukan,
Dengan bidadari di surga.
Apabila engkau harap menjadi penghuni surga abadi,
maka hindarilah jalan menuju api neraka.
RENDAH HATI
Bagaimana mungkin kita dapat sampai ke Sa’ad,
Sementara di sekitarnya terdapat gunung-gunung
dan tebing-tebing.Padahal aku tak beralas kaki,
dan tak berkendaraan.
Tanganku pun kosong dan,
jalan ke sana amat mengerikan.
Bagaimana mungkin kita dapat sampai ke Sa’ad,
Sementara di sekitarnya terdapat gunung-gunung
dan tebing-tebing.Padahal aku tak beralas kaki,
dan tak berkendaraan.
Tanganku pun kosong dan,
jalan ke sana amat mengerikan.
TENTANG CINTA
Engkau durhaka kepada Allah,
dan sekaligus menaruh cinta kepada-Nya.
Ini adalah suatu kemustahilan.
Apabila benar engkau mencintai-Nya,
pastilah engkau taati semua perintah-Nya.
Sesungguhnya orang menaruh cinta,
Tentulah bersedia mentaati perintah orang yang dicintainya.
Dia telah kirimkan nikmat-Nya kepadamu,
setiap saat dan tak ada rasa syukur,
yang engkau panjatkan kepada-Nya.
Engkau durhaka kepada Allah,
dan sekaligus menaruh cinta kepada-Nya.
Ini adalah suatu kemustahilan.
Apabila benar engkau mencintai-Nya,
pastilah engkau taati semua perintah-Nya.
Sesungguhnya orang menaruh cinta,
Tentulah bersedia mentaati perintah orang yang dicintainya.
Dia telah kirimkan nikmat-Nya kepadamu,
setiap saat dan tak ada rasa syukur,
yang engkau panjatkan kepada-Nya.
KEPUASAN (QANA’AH)
Aku melihat bahwa kepuasan itu pangkal kekayaan,
lalu kupegang erat-erat ujungnya.
Aku ingin menjadi orang kaya tanpa harta,
dan memerintah bak seorang raja.
Aku melihat bahwa kepuasan itu pangkal kekayaan,
lalu kupegang erat-erat ujungnya.
Aku ingin menjadi orang kaya tanpa harta,
dan memerintah bak seorang raja.
ANUGRAH ALLAH
Aku melihat-Mu pada saat penciptaanku,
yang penuh dengan anugerah.
Engkaulah sumber satu-satunya,
pada saat penciptaanku.
Hidarkan aku dari anugerah yang buruk.
Karena sepotong kehidupan telah cukup bagiku,
hingga saat Engkau mematikanku.
Aku melihat-Mu pada saat penciptaanku,
yang penuh dengan anugerah.
Engkaulah sumber satu-satunya,
pada saat penciptaanku.
Hidarkan aku dari anugerah yang buruk.
Karena sepotong kehidupan telah cukup bagiku,
hingga saat Engkau mematikanku.
إن الفقـيه هو الفقـيه بفعـله * ليس الفقـيه بنطـقه و مقاله
وكذا الرئيس هو الرئيس بخلقه * ليس الرئيس بقومه رجاله
وكذا الغـني هو الغـني بحاله * و ليس الغـني بملـكه و بماله
وكذا الرئيس هو الرئيس بخلقه * ليس الرئيس بقومه رجاله
وكذا الغـني هو الغـني بحاله * و ليس الغـني بملـكه و بماله
Sesungguhnya
orang yang faqih itu adalah dinilai dengan perbuatannya
Bukanlah orang
yang faqih itu dinilai dengan ucapan dan perkataannya
Begitu juga pemimpin itu adalah dinilai dengan kemuliaan akhlaknya
Bukanlah pemimpin itu dinilai dengan banyaknya pengikut dan pembela-pembelanya
Begitu juga pemimpin itu adalah dinilai dengan kemuliaan akhlaknya
Bukanlah pemimpin itu dinilai dengan banyaknya pengikut dan pembela-pembelanya
Begitu
juga orang yang kaya itu adalah dinilai dengan keadaan
(kedermawanan)nya Bukanlah orang yang kaya itu dinilai dengan banyaknya
harta bendanya
[Diwan al-Imam al-Syafi'i, hal. 97]
[Diwan al-Imam al-Syafi'i, hal. 97]
فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا * فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح
Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu.
Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan
juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa.
Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan
juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa.
[Diwan al-Imam al-Syafi'i, hal. 107)
lmu yang paling mulia
Semua ilmu selain Al-Qur’an hanya hal yang menyibukkan
Kecuali ilmu hadits dan fiqih agama
Ilmu yang benar adalah yang terdapat kata “Haddatsana”
Selain itu hanyalah tipu daya syaitan
Cara memperoleh Ilmu
Saudaraku …
Engkau tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan 6 perkara
Aku akan menyebutkan perinciannya dengan jelas
Cerdas, cita-cita, kerja keras, dana, berguru dan waktu yang lama
Si Bodoh dan Si Alim
Kedudukan orang bodoh dalam pandangan yang alim
Sama seperti kedudukan orang alim di mata orang bodoh
Si bodoh enggan mendekati si alim
Yang alim lebih enggan mendekati si bodoh
Bila keburukan mendominasi kehidupan si bodoh
Dia akan lebih parah dalam menyelisihi si alim
Belajar sebelum menjadi pemimpin
Belajarlah agama sebelum engkau diangkat menjadi pemimpin
Dan bila engkau telah diangkat menjadi pemimpin, maka engkau tidak sempat belajar
Seorang tergantung ilmu dan takwanya
Tabahlah…
Atas pedihnya kekerasan pengajar
Karena kekokohan ilmu itu berada dalam kesulitan
Barangsiapa tidak mencicipi pahitnya belajar
Dia akan menelan kehinaan bodoh selama hidup
Barangsiapa waktu mudanya tidak sempat belajar
Maka bacakan takbir 4 kali karena kematiannya
Demi Allah
Hidup seorang pemuda itu tergantung ilmu dan takwa
Bila keudanya tidak ada, keberadaanya tidak dianggap
Kelezatan Ilmu
Begadangku untuk menelaah ilmu
terasa lebih nikmat daripada bertemu penyanyi dan keharuman leher mereka
Sungguh, goresan penaku di atas kertas
lebih nikmat daripada bercinta bersama para pecinta
Tabuhan rebana para gadis, masih kalah nikmat
Dengan kenikmatan aku memukul bukuku untuk membersihkan debunya
Kegundahanku untuk memecahkan masalah dalam belajar
Jauh lebih nikmat daripada para pemabuk khamr
Ilmuku selalu bersamaku
Ilmuku senantiasa bersamaku
Di manapun aku berada selalu memberi manfaat
Hatiku adalah tempatnya, bukan dalam lemariku
Bila aku berada di rumah, pasti ilmuku di sana bersamaku
Ketika aku berada di pasar, diapun ada di pasar
lmu yang paling mulia
Semua ilmu selain Al-Qur’an hanya hal yang menyibukkan
Kecuali ilmu hadits dan fiqih agama
Ilmu yang benar adalah yang terdapat kata “Haddatsana”
Selain itu hanyalah tipu daya syaitan
Cara memperoleh Ilmu
Saudaraku …
Engkau tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan 6 perkara
Aku akan menyebutkan perinciannya dengan jelas
Cerdas, cita-cita, kerja keras, dana, berguru dan waktu yang lama
Si Bodoh dan Si Alim
Kedudukan orang bodoh dalam pandangan yang alim
Sama seperti kedudukan orang alim di mata orang bodoh
Si bodoh enggan mendekati si alim
Yang alim lebih enggan mendekati si bodoh
Bila keburukan mendominasi kehidupan si bodoh
Dia akan lebih parah dalam menyelisihi si alim
Belajar sebelum menjadi pemimpin
Belajarlah agama sebelum engkau diangkat menjadi pemimpin
Dan bila engkau telah diangkat menjadi pemimpin, maka engkau tidak sempat belajar
Seorang tergantung ilmu dan takwanya
Tabahlah…
Atas pedihnya kekerasan pengajar
Karena kekokohan ilmu itu berada dalam kesulitan
Barangsiapa tidak mencicipi pahitnya belajar
Dia akan menelan kehinaan bodoh selama hidup
Barangsiapa waktu mudanya tidak sempat belajar
Maka bacakan takbir 4 kali karena kematiannya
Demi Allah
Hidup seorang pemuda itu tergantung ilmu dan takwa
Bila keudanya tidak ada, keberadaanya tidak dianggap
Kelezatan Ilmu
Begadangku untuk menelaah ilmu
terasa lebih nikmat daripada bertemu penyanyi dan keharuman leher mereka
Sungguh, goresan penaku di atas kertas
lebih nikmat daripada bercinta bersama para pecinta
Tabuhan rebana para gadis, masih kalah nikmat
Dengan kenikmatan aku memukul bukuku untuk membersihkan debunya
Kegundahanku untuk memecahkan masalah dalam belajar
Jauh lebih nikmat daripada para pemabuk khamr
Ilmuku selalu bersamaku
Ilmuku senantiasa bersamaku
Di manapun aku berada selalu memberi manfaat
Hatiku adalah tempatnya, bukan dalam lemariku
Bila aku berada di rumah, pasti ilmuku di sana bersamaku
Ketika aku berada di pasar, diapun ada di pasar
Izin copy paste pak dosen. terima kasih
BalasHapusizin ngopi ilmunya
BalasHapus