AL HALLAJ, SYAHID AL-‘ISYQ AL-ILAHI
(MARTIR
RINDU TUHAN)
Oleh: KH.
Husein Muhammad
Jumat,
27 Agustus 2010 00:00
Malam ini menyenangkan. Pertemuan dalam
ruang di mana ekspresi pikiran dan spiritual bisa berkelana ke mana ia suka,
membuat hidup jadi bergairah dalam pendar-pendar cahaya. Tetapi ini mungkin
sejenak saja. Sebab di ruang lain setelah ini kita masih menyaksikan,
pedang-pedang masih berkeliaran. Pedang-pedang itu siap ditebaskan ke leher
siapa saja yang dianggap menghujat Tuhan, sambil berteriak : Tuhan Maha Besar”.
Al Hallaj, bilang kepada mereka: “Kalian bohong. Kalian ingin menyaingi Tuhan”.
Dan Hallaj ditangkap ramai-ramai.
Al Hallaj adalah ikon mistikus paling
melegenda di jagat raya sufisme. Namanya tak pernah berhenti disebut orang
sepanjang masa, dalam nada puja-puji yang memabukkan maupun sumpah serapah dan
dendam kesumat yang tak pernah selesai. Cerita tentang orang besar ini sarat
dengan beragam mitos dan dongeng-dongeng yang memesona sekaligus merobek-robek
nurani.
Siapa al Hallaj
Namanya Husain Manshur al Hallaj, lahir
di perkampungan Tur, wilayah Baidha, Fars, Persia, 244 H/858. Dia anak tukang
pemilah benang yang miskin. Kelahirannya amat di dambakan bertahun dua orang
tua yang saleh itu. Hallaj kecil dititipkan keduanya kepada Syekh Sahl al
Tustari (w.238 H), sufi besar pada zamannya, untuk mengaji kepadanya dan
mengabdi kepada Tuhan di masjidnya, memenuhi janji mereka ketika mendamba
bertahun kelahirannya. Ketika Hallaj menyapu di mihrab, dia menemukan secarik
kertas kewalian gurunya, yang konon, turun dari langit. Diam-diam Hallaj
menelannya, mengambil keberkatan. Tak lama, dia menjadi aneh, ia sering
bergumam sendiri.
Dalam usia 12 tahun dia hafal al-Qur’an
seluruh, dia juga mengaji beragam keilmuan tradisional Islam kepada sejumlah
guru di Wasit, sebuah kota dekat Ahwaz. Usai ngaji di kampungnya, dia pergi ke
Bagdad, untuk meneruskan mengaji pada sufi otoritatif: Abu al Qasim Al Junaed
(w.298 H), Amir al Makki (w. 291) dan guru yang lain. Ketika Hallaj 20 tahun,
dia ditahbiskan sebagai guru dalam Tasawuf. Tak lama ke kemudian dia ke Makkah
untuk haji. Di kota suci ini, pergulatannya dengan dunia sufisme semakin
intens. Otoritasnya di bidang ini semakin menonjol. Pada saat berada Arafat,
dia mendaki sendiri sampai puncak gunung itu, lalu berdo’a :
يا
دليل المتحيرين زدنى تحيرا. وإذا كنت كافرا فزدنى كفرا.
“Oh, Tuhanku, Pembimbing Orang-orang
bingung. Tambahi kebingunganku. Jika aku kafir, maka tambahi kekafiranku”.
(Louis Massignon, Alaam al Hallaj,
hlm. 213).
Kelak di kemudian hari di suatu tempat
dia bilang lagi untuk menegaskan bahwa keinginan tersebut dikabulkan Tuhan:
كفرت
بدين الله والكفر واجب علي وعند المسلمين قبيح
Aku mengkafiri agama Tuhan
Kekufuran bagiku adalah wajib
Meski bagi banyak muslim amatlah buruk
(Diwan, Yatama 2)
Kekufuran bagiku adalah wajib
Meski bagi banyak muslim amatlah buruk
(Diwan, Yatama 2)
Hallaj kembali ke Baghdad,
mendiskusikan berbagai problem dan isu krusial sufisme, dengan Syeikh Junaed,
Abu Bakar al Syibli dan sejumlah sufi besar lainnya. Dia selalu tak puas.
Pikiran-pikirannya semakin radikal, melawan mainstream, tapi semakin matang.
Dia lalu kembali ke kampungnya untuk tak berhenti mencari Tuhan dan dia
menemukan-Nya di dalam rumah hatinya sendiri. Baju sufi ditanggalkannya dan
menggantinya dengan baju tentara, kadang baju robek-lusuh, biar lebih bebas dan
tak dikenal saleh. Sesudah itu namanya disebut secara popular sebagai Hallaj al
Asrar (Hallaj, sang pemilik rahasia-rahasia). Hallaj kembali ke Makkah, di
samping untuk haji lagi juga terus mencari mengerti tentang eksistensi diri di
bumi Nabi, tempat beliau mengajarkan Tauhid (Kemahaesaan Tuhan). Al Hallaj
lagi-lagi tak puas. Ia lantas berkelana ke berbagai negeri di Timur Tengah dan
sampai ke India dan Cina. Di berbagai tempat itu, yang dijalaninya selama lima
tahun, dia memperoleh banyak sekali pengetahuan eksoterik, terutama esoterik.
Entah sesudah atau di antara pengembaraan itu, dia ke Makkah lagi.
Dari perjalanan ini dia mulai tampil
dengan gagasan-gagasan sufismenya yang menggemparkan. Dia sebarkan gagasan itu
secara terbuka dan segera mengundang resistensi dan reaksi kebingungan dan
kemarahan publik. Ucapan-ucapan Cintanya kepada Tuhan semakin tak dimengerti
halayak. Dia semakin “gila”. Tetapi dalam waktu yang sama nyawanya terancam
oleh pikiran publik yang tak paham. Dia dicacimaki sebagai tukang sihir dan
orang gila. Tetapi sebagian lain melihatnya sebagai pribadi memesona, nyentrik,
yang menebarkan keramat dan keberkatan. Dialah Waliyullah, kekasih Tuhan.
Al Hallaj tak peduli dengan semuanya. Dia menuliskan dan menggumamkan seluruh
kegelisahan dan keriangan batinnya yang meluap-luap itu kapan saja. Setiap
malam, ketika senyap, dia mendesahkan elegi yang mengiris nurani.
ألا
يا ليل محبوبى تجلى ألا يا ليل للغفران هلا
الا
يا ليل ما ابهى واحلى ألا يا ليل اكرمنى وجلى
ألا
يا ليل فى الحضرة سقانى ألا يا ليل من خمر الدنان
O, malam, Kekasihku datang
O, malam, pengampunan telah datang
O, malam, aduhai Keindahan, aduhai Manisku
O, malam, Kekasih memuliakanku, Dia datang
O, malam, Kekasih menuangkan minuman
Pada gelas besar dari anggur yang memabukkan
O, malam, pengampunan telah datang
O, malam, aduhai Keindahan, aduhai Manisku
O, malam, Kekasih memuliakanku, Dia datang
O, malam, Kekasih menuangkan minuman
Pada gelas besar dari anggur yang memabukkan
Gagasan-Gagasan Hallaj: Hulul
Al Hallaj terus menyimpan rindu-dendam
dan berhari-hari mabuk kasmaran. Kekasihnya datang berkunjung, lalu menyeruak,
merasuk ke dalam dan menempati hatinya. Orang menyebut proses merasuk dari atas
ke bawah sebagai “Hulul”. Sejak itu hari-harinya disibukkan dengan
pertemuan-pertemuan manis, mesra dan menghanyutkan dengan Tuhan di ruang yang
tak bertempat. Katanya, suatu saat, masih dalam sunyi-menyergap:
رأيت
ربى بعين قلبى فقلت من أنت قال أنت
فليس
للاين منك أين وليس أين بحيث انت
Aku melihat Tuhanku dengan mata hati
Aku bertanya; Siapa Engkau. Dia katakan : Kamu
Tak ada dari-Mu dimana
Dan tak ada di mana bagimu
(Diwan, Qashidah 10)
Aku bertanya; Siapa Engkau. Dia katakan : Kamu
Tak ada dari-Mu dimana
Dan tak ada di mana bagimu
(Diwan, Qashidah 10)
انا
من اهوى ومن اهوى انا نحن روحان حللنا بدنا
فإذا
ابصرتنى ابصرته فإذا أبصرته ابصرتنا
Aku orang yang mencinta dan Dia yang
mencinta adalah Aku
Kami dua ruh yang melebur dalam satu tubuh
Bila kau memandangku, kau memandang-Nya
Bila kau memandang-Nya, kau memandang Kami.
(Diwan 57)
Kami dua ruh yang melebur dalam satu tubuh
Bila kau memandangku, kau memandang-Nya
Bila kau memandang-Nya, kau memandang Kami.
(Diwan 57)
مزجت
روحك فى روحى كما تمزج الخمرة بالماء الزلال
فإذا
مسك شيئ مسنى فإذا انت انا فى كل حال
Ruh-Mu menyerap dalam ruhku
Bagai anggur larut pada air bening
Bila suatu menyentuh-Mu, ia menyentuhku
Engkau adalah aku dalam seluruh
(Diwan 47)
Bagai anggur larut pada air bening
Bila suatu menyentuh-Mu, ia menyentuhku
Engkau adalah aku dalam seluruh
(Diwan 47)
Ittihad : Akulah Kebenaran
Ketika Sang Kekasih pergi, Al Hallaj
menulis berbaris-baris puisi Kerinduan (al ‘Isyq) yang mencengkeram amat
kuat dalam dirinya dan dalam ekstase-aktase yang sering. Dia senandungkan puisi-puisi
Rindu Kekasih itu di pasar-pasar, di warung-warung, di surau-surau dan di
kerumunan-kerumunan. Hari-hari kemarin Hallaj merasa Tuhan berkunjung ke
rumahnya dan menempati seluruh ruang eksistensinya. Dan kini dia ingin
menyambutnya dengan riang lalu menjemput-Nya di Langit dan manapun Dia Berada.
Hallaj ingin selalu bersama-Nya, menyatu dalam “Tubuh-Nya”. Sufi menyebut
proses merasuk dan menubuh dari bawah ke atas sebagai Ittihad. Dalam
puncak ekstase yang melayang-layang dia berteriak keras: “Ana al Haq” (Akulah
Kebenaran). Kata-kata ini mengguncang dan menggetarkan jagat raya manusia. Sahl
al Tustari, Junaed dan Syibli sahabatnya, terpana dan shock berat. Oh, Hallaj,
seharusnya kau tak sebarkan rahasia Tuhan itu kepada publik semacam itu.
Biarlah kata-kata itu menjadi milik hati kita?.
Gagasan Pluralisme
Pikiran dan pengalaman Hulul, Ittihad
atau Wahdah al Wujud tak pelak melahirkan gagasan Pluralisme
agama-agama. Itu keniscayaan. Baginya semua agama adalah sama. Para pemeluk
agama tak pernah berhenti mencari Sang Realitas, melalui beragam jalan,
berbagai nama. Abd Allah bin Thahir al Uzdi menceritakan: “Aku bertengkar
dengan seorang Yahudi di sebuah pasar di Baghdad. Kepada si Yahudi itu aku
sempat bilang: Hai anjing!. Tak dinyana Husain bin Manshur lewat dan
memandangku dengan wajah marah. Katanya ; “hentikan anjingmu menyalak”, lalu
pergi. Begitu kami usai bertengkar, aku menemuinya dan minta maaf. Husain
mengatakan: “Anakku, semua agama adalah milik Allah. Setiap golongan memeluknya
bukan karena pilihannya, tetapi dipilihkan Tuhan. Orang yang mencaci orang lain
dengan menyalahkan agamanya, dia telah memaksakan kehendaknya sendiri.
Ingatlah, bahwa Yahudi, Nasrani, Islam dan lain-lain adalah sebutan-sebutan dan
nama-nama yang berbeda. Tetapi tujuannya tidak berbeda dan tidak berubah”. “Dia
kemudian berceloteh bait-bait puisi ini”:
تفكرت
فى الاديان جد تحقق فألفيتها اصلا له شعبا جما
فلا
تطلبن للمرء دينا فإنه يصد عن الاصل الوثيق وانما
يطالبه
اصل يعبر عنده جميع المعالى والمعانى فيفهما
Sungguh, aku tlah merenung panjang
agama-agama
Aku temukan satu akar dengan begitu banyak cabang
Jangan kau paksa orang memeluk satu saja
Karena akan memalingkannya dari akar yang menghunjam
Seyogyanya biar dia mencari akar itu sendiri
Akar itu akan menyingkap seluruh keanggunan dan sejuta makna
Lalu dia akan mengerti
(Diwan, 50)
Aku temukan satu akar dengan begitu banyak cabang
Jangan kau paksa orang memeluk satu saja
Karena akan memalingkannya dari akar yang menghunjam
Seyogyanya biar dia mencari akar itu sendiri
Akar itu akan menyingkap seluruh keanggunan dan sejuta makna
Lalu dia akan mengerti
(Diwan, 50)
Pandangan Pluralisme Agama, diucapkan
oleh siapa saja, Husain Manshur Hallaj atau yang lain, menggambarkan manifesto
kebebasan beragama, dan tentu saja merupakan ekspresi Islami yang essensial
yang melampaui perbedaan-perbedaan sektarian antara Sunny-Syi’ah dan antara
sekte-sekte yang lain. Keanekaragaman individu dengan sifat kualitatif dan
kepercayaan yang berbeda-beda akan senantiasa eksis di manapun dan kapanpun,
dan tak bisa dilepaskan, dengan cara apapun dan oleh siapapun, dari bingkai
raksasa semesta ciptaan Tuhan.
Eksekusi; Tragedi
Para penguasa pengetahuan keagamaan
eksoterik, literal, konservatif dan ortodoks: para ahli fiqh dari segala
aliran, para ahli hadits, terutama kelompok Hanbalian dan para teolog, meradang
dan marah luar biasa. Demonstrasi besar-besaran berlangsung di mana-mana, di
seluruh negeri. Puluhan otoritas agama eksoterik itu menghimpun
tandatangan dan berebut membubuhkannya, menuntut kematiannya. Mereka mengeluarkan
fatwa: “Bunuh dia, Darahnya Halal ditumpahkan”. Hallaj, keluarga dan para
pengikutnya ditangkap dan dijebloskan di penjara. Peradilan terhadapnya
kemudian digelar. Para jaksa menuduhnya dengan “telah melakukan kejahatan
berlapis”. Secara politik dia dia dianggap agen gerakan Qaramit, salah satu
sekte Syi’ah Ismaili, sayap garis keras dan brutal. Gerakan Politik di bawah
pimpinan Hamdan al Qarmathi ini telah lama menentang kekuasaan dinasti Abbasiah
dan berusaha menggulingkannya. Mereka acap melakukan pemberontakan di
mana-mana. Secara agama al Hallaj dituduh tukang sihir dan zindiq (Atheis).
Pembelaan yang cerdas dan jujur tak mampu melawan tekanan masa emosional dan
represi politik pencitraan. Pengadilan akhirnya menjatuhkan vonis: Husain
Manshur al Hallaj dihukum mati. Kekuasaan politik mendukung putusan ini.
Khalifah Al Muqtadir Billah menandatangi vonis itu. Al Hallaj tak gentar dengan
putusan ini. Dia sudah mengetahui dan sudah lama menginginkan kematian seperti
ini. Meski gurunya Syeikh al Junaed memberi nasehat, dia tak surut, tak
bergeming. Dia dengan lugas mengatakan :
وان
قتلت او صلبت او قطعت يداى ورجلاى لما رجعت عن دعواى
“Biar pun aku dibunuh atau disalib atau
dua tangan dan kakiku dipenggal, aku tak surut untuk mendakwahkan kebenaranku”.
Tanggal 27 Maret 922, eksekusi mati
dilaksanakan di hadapan ribuan pasang mata merah yang terus meradang dan tak
henti berteriak histeris. Yel-yel Allah Akbar, Allah Akbar menggelegar.
Sejumlah ulama Fiqh, Hadits dan Kalam menjadi saksi. Faqih literalis ekstrim sekaligus
orang yang paling bertanggungjawab atas fatwa mati dan pengadilan Hallaj:
Muhammad bin Daud (w. 297 H), pendiri mazhab fiqh Zhahiri, berdiri paling
depan. Sejumlah sufi besar juga hadir, meski memperlihatkan sikap dan suasana
batin yang berbeda, menyaksikan peristiwa paling dramatis ini. Mereka, untuk
menyebut beberapa saja, adalah Abu al Qasim Al Junaed, Abu Bakar al
Syibli (w. 334), Ibrahim bin Fatik. Yang terakhir ini adalah sahabat setia yang
selalu menemani Hallaj di penjara.
Tak jelas bentuk hukuman mati untuk
Hallaj itu, apakah di tiang gantungan, dipenggal atau disalib di pelepah kayu
keras. Mungkin tak penting betul untuk dijawab. Tetapi beberapa menit menjelang
kematiannya, meski tubuhnya dililit rantai besi, Hallaj dengan riang, seperti akan
bertemu kekasih, menengadahkan wajahnya ke langit biru yang bersih, seakan siap
menyambut kedatangannya. Dia menyampaikan kata-kata monumental yang indah
beberapa detik sebelum nafasnya pergi.
“Oh Tuhan, lihatlah, hamba-hamba-Mu
telah berkumpul. Mereka menginginkan kematianku demi membela-Mu dan untuk lebih
dekat dengan-Mu. O. Tuhan, ampuni dan kasihi mereka. Andai saja Engkau
menyingkapkan kelambu wajah-Mu kepada mereka sebagaimana Engkau singkapkan
kepadaku, niscaya mereka tak akan melakukan ini kepadaku. Andai saja Engkau
turunkan kelambu wajah-Mu dariku, sebagaimana Engkau menurunkannya dari mereka,
niscaya aku tak akan diuji seperti ini. Hanya Engkaulah Pemilik segala Puji
atas apa yang Engkau lakukan. Hanya engkaulah pemilik segala puji atas apa yang
Engkau kehendaki”.
Setelah itu dia bergumam lirih:
اقتلونى
يا ثقاتى إن فى قتلى حياتى
ومماتى
فى حياتى وحياتى فى مماتى
إن
عندى محو ذاتى من أجل المكرمات
وبقائى
فى صفاتى من قبيح السيئات
فاقتلونى
واحرقونى بعظام الفانيات
Bunuhlah aku, O, Kasihku
Kematianku adalah hidupku
Kematianku ada dalam hidupku
Hidupku ada dalam kematianku.
Ketiadaanku adalah kehormatan terbesar
Hidupku seperti ini tak lagi berharga
Bunuhlah aku, bakarlah aku
Bersama tulang-tlang yang rapuh
(Diwan, Qasidah 10)
Kematianku adalah hidupku
Kematianku ada dalam hidupku
Hidupku ada dalam kematianku.
Ketiadaanku adalah kehormatan terbesar
Hidupku seperti ini tak lagi berharga
Bunuhlah aku, bakarlah aku
Bersama tulang-tlang yang rapuh
(Diwan, Qasidah 10)
Suasana senyap. Hallaj diam. Abu al
Harits al Sayyaf, sang algojo, melangkah gagah dengan wajah amat angkuh,
mendekati Hallaj. Ia menampar pipinya dan memukul hidungnya begitu keras hingga
darah mengaliri jubahnya. Hallaj, kata para saksi, sungkem kepada Tuhan:
”Ilahi, Ashbahtu fi manzilah al Raghaib” (Tuhanku kini aku telah berada
di Rumah Idaman).
Masih dalam sungkem, Hallaj,
menyenandungkan puisi rindu:
Aku menangis kepada-Mu
Bukan hanya untuk diriku sendiri
Tetapi bagi jiwa yang merindukan-Mu
Akulah yang menjadi saksi
Sekarang pergi kepada-Mu
Akulah Saksi Keabadian
Bukan hanya untuk diriku sendiri
Tetapi bagi jiwa yang merindukan-Mu
Akulah yang menjadi saksi
Sekarang pergi kepada-Mu
Akulah Saksi Keabadian
Begitu kepalanya terpenggal (atau
terkulai) dan tubuhnya jatuh ke tanah atau diturunkan dari tiang salib, suara
kegembiraan bergemuruh, membahana dan membelah langit: “Allah Akbar. Semua ini
untuk kejayaan Islam dan kaum muslimin”. Tak cukup puas dengan itu, menurut
satu cerita, potongan kepala disiram minyak lalu dibakar. Lidahnya dipotong dan
matanya dicungkil. Takbir terus menggema, bertalu-talu. Esoknya, abu dari tubuh
jenazahnya ditaburkan ke udara dari puncak menara sungai Dajlah (Tigris),
sementara kepala dan dua tangannya digantung di tembok penjara.
Kisah tragedi kematian mistikus besar
ini disampaikan berbagai sumber dengan beragam nuansa mitologis dan dongeng (Asthurah).
Sebagian cerita yang berkembang kemudian: “al Hallaj tidak mati. Dia naik ke
langit seperti Isa dan akan kembali ke bumi, seperti Isa”, “Sungai Tigris
subur-makmur berkat abu al Hallaj”. Konon, pada hari ketiga kematian Hallaj,
Tigris memuntahkan kemarahannya dengan menenggelamkan bumi Baghdad. Pesan
Hallaj sebelum mati kepada adiknya agar menghentikan bah dahsyat itu.
Kuburannya di Bagdad sampai hari ini,
menjadi tempat ziarah paling ramai dikunjungi beribu orang tiap hari dari
berbagai penjuru bumi.
Karya Al Hallaj
Al Hallaj, konon, sesungguhnya telah
menulis banyak karangan. Sebagian orang menyebut angka sekitar 40 an. Tetapi
semuanya dibakar oleh penguasa Dinasti Abbasiyah. Buku-buku Hallaj dilarang
keras. Mereka yang menyimpannya dihukum. Meski begitu sebagian orang
menyimpannya secara diam-diam. Beberapa waktu kemudian sebuah manuskrip
berjudul Al Thawasin ditemukan. Ini mungkin satu-satunya karya Al Hallaj
yang selamat. Selain Al Thawasin, ada Diwan al Hallaj, berisi kumpulan
cuplikan puisi-puisi atau kasidah-kasidahnya yang berhasil dihimpun dari
berbagai orang, dan pengikutnya dari berbagai sumber. Diwan, kata Massignon,
pertamakali ditemukan oleh Al Qusyairi, di perpusatakaan Sullami. Sebagian
puisi terdapat pada Al Thawasin.
Sampai di sini saya dan seharusnya kaum
muslimin merasa berhutang budi dan berterimakasih kepada Louis Massignon, orang
yang dengan amat tekun dan tak kenal lelah mencari dan meneliti
manskrip-manuskrip (makhthuthat) tulisan al Hallaj ini. Tanpa kerja
keras intelektualnya yang luar biasa, orang besar ini : Husain Manshur al
Hallaj, berikut tulisan-tulisan tangannya, terutama al Thawasin dan Diwan,
mungkin tak dikenali sampai hari ini. Boleh jadi seluruh tulisan orang mengenai
Hallaj, akan selalu mengacu pada karya Masignon ini.
Al Thawasin, karya utama al Hallaj, berisi
kumpulan narasi pemikiran dan keyakinan-keyakinannya yang ditulis dalam
bentangan waktu hidupnya yang berbeda. Thawasin berisi 11 teks: 1. Thasin al
Siraj. Menurut Ruzbihan Baqli, Thasin al Siraj berarti Lampu Al Musthafa
(Nabi Muhammad), berisi pandangan Hallaj tentang Hakikat Muhammadiyyah. Tha dan
Sin kependekan dari Thaha dan Yasin, dua panggilan nabi Muhammad. 2. Thasin
al Fahm (pemahaman).3. Thasin al Shafa (Kebeningan), 4. Thasin al
Dairah (Sirkuit), 5. Thasin al Nuqthah (Titik), 6. Thasin al Azal
wa al Iltibas (Kebahagiaan dan Derita Eterniti/Keabadian dan Kekeliruan
pemahaman), 7. Thasin al Masyi-ah (Kehendak), 8. Thasin al Tauhid (Keesaan),
9. Thasin al Asrar fi al Tauhid (Rahasia-rahasia dalam Keesaan), 10. Thasin
al Tanzih (Kesucian, keterbebasan), dan 11. Thasin Bustan al Ma’rifah
(Taman Pengetahuan/Ma’rifat).
Memaknai gagasan Al Hallaj
Kehidupan al Hallaj, adalah perjalanan
spiritualitas yang total. Sehari-hari dia menggumamkan kerinduannya yang
mencekam, menggetarkan dan menenggelamkan eksistensinya ke dalam Tuhan, baik
melalui Tuhan yang turun ke dalam hatinya (Hulul), maupun ruhnya yang
naik menyatu dengan-Nya (Ittihad) dan kesaksian atas kesatuan semesta (Wihdah
al Wujud). Al Hallaj menempuhnya melalui pengembaraan di belantara
realitas, penjelajahan semesta dan pendakian yang tertatih-tatih dan
terkantuk-kantuk. Tetapi juga keriangan, keindahan dan pesona-pesona. Lihat,
ketika dia bicara ini :
سكوت
ثم صمت ثم خرس وعلم ثم وجد ثم رمس
وطين
ثم نار ثم نور وبرد ثم ظل ثم شمس
وحزن
ثم سهل ثم فقر ونهر ثم بحر ثم يبس
وسكر
ثم صحو ثم شوق وقرب ثم وفر ثم أنس
وقبض
ثم بسط ثم محو وفرق ثم جمع ثم طمس
وأخذ
ثم رد ثم جذب ووصف ثم كشف ثم لبس
(ديوان
الحلاج 4)
Diam, hening, bisu, mengetahui,
menemukan lalu tenggelam
Tanah lempung, api, cahaya, dingin, bayang-bayang lalu matahari
Duka, datar, terjal, sungai, lautan lalu kering
Mabuk, cerah, rindu, merapat, bergabung lalu keintiman
Tergenggam, terbuka, lepas, terpencar, terhimpun lalu lenyap-senyap
penerimaan, penolakan, ketertarikan, sebutan, tersingkap lalu mengenakan baju
(Diwan Qasidah 4: Perjalanan)
Tanah lempung, api, cahaya, dingin, bayang-bayang lalu matahari
Duka, datar, terjal, sungai, lautan lalu kering
Mabuk, cerah, rindu, merapat, bergabung lalu keintiman
Tergenggam, terbuka, lepas, terpencar, terhimpun lalu lenyap-senyap
penerimaan, penolakan, ketertarikan, sebutan, tersingkap lalu mengenakan baju
(Diwan Qasidah 4: Perjalanan)
Deklarasi al Hallaj yang monumental,
yang menggetarkan: “Ana al Haq”(Akulah Kebenaran/Tuhan), memperoleh
response dan tafsir yang beragam. Jalal al Din al Rumi bilang: “Banyak orang
menganggap ini ucapan amat berbahaya. Tetapi sejatinya ia adalah puncak
kerendah-hatian (tawadhu’). Jika dia mengatakan :”Aku hamba Kebenaran (Ana
Abd al Haq), dia telah menetapkan dua entitas, Dualitas; dirinya dan Tuhan.
Jika dia mengatakan : “Ana al Haq”, dia telah meniadakan dirinya dan
menyerahkannya kepada angin. Ucapan “Ana al Haq” sama dengan “Ana
‘adam” (aku tiada), Dialah Totalitas Absolut-Universal (Huwa al
Kulliyyah). Tak ada Eksistensi kecuali Allah. Aku dengan seluruh
eksistensiku adalah tiada. “Ana Lastu Syai-an”(Aku bukanlah apa-apa).
Inilah kerendah-hatian yang paling tinggi (Hadza al Tawadhu’ A’zham)”. (Fihi
ma Fihi, Pasal 11: “Perlihatkan kepadaku segala hal”, h. 84).
Sufi lain bilang : Ketika al Hallaj
berteriak :”Akulah Kebenaran”, dia adalah terompet yang ditiup oleh nafas
Tuhan”. Yang lain bilang : “Dia juru bicara jiwa ketuhanan melalui lidah
kemanusiaan”. Yang lain lagi bilang ;”Aku di situ, bukan kehampaan murni,
melainkan sebagai penyucian diri yang ditarik menuju bentuk-bentuk wujud yang
lebih tinggi dan akhirnya melebur dalam Tuhan yang dalam ucapan Husain al Nuri
(w.295 H/908 M):”terbentuk dalam sifat-sifat Tuhan”(al Takhalluq bi
Akhlaq Allah). Nabi menganjurkan : “Takhallaqu bi Akhlaq Allah”(Berakhlak-lah
dengan Akhlaq Tuhan/pakailah etika Tuhan). Dll.
Gagasan Kemanunggalan atau Kesatuan
Eksistensi Semesta, bukan hanya milik al Hallaj. Hampir semua sufi besar yang
tercerahkan bicara tentang gagasan ini. Abu Bakar al Syibli bilang: “Akulah
Sang Waktu”, Abu Yazid al Bisthami berucap :”O, Betapa Maha Sucinya Aku”. Ibnu
Arabi mengatakan : “Seorang sufi melihat Allah dalam Ka’bah, dalam Masjid,
dalam Gereja dalam Kuil”. Syibli, sahabatnya yang hadir saat eksekusi Hallaj,
membisikkan kepada temannya: “Hallaj dan Aku memiliki kepercayaan yang sama,
tapi kegilaanku menyelamatkan diriku, sedangkan kecerdasan telah menghancurkan
dirinya”
Para mistikus besar bicara tentang
Kesatuan Eksistensi (Wahdah al Wujud) di atas. Bagi para bijakbestari
itu, di alam semesta ini hanya ada Dia, karena seluruhnya hancur dan tak
bermakna. Ini digambarkan oleh Abd Wahab al Sya’rani (w. 973), sufi besar lain,
dalam bait-bait puisi ini :
وكل
ما سواه نجم آفل بل فى شهود العارفين باطل
فليس
إلا الله والمظاهر لجملة الاسماء وهو الظاهر
فغيره
فى الكون لا يقال لانه فى ذاته محا ل
Seluruhnya, selain Dia adalah bintang
yang lenyap
Dalam mata para bijakbestari ia adalah ketiadaan
Tak ada apapun, kecuali Allah
Sekumpulan nama dalam alamraya tak ada,
Yang tampak hanyalah Dia
Selain Dia, dalam semesta, tak berarti
Karena dirinya sendiri, tak mungkin mewujud
(Baca: Zaki Mubarak, al Tashawwuf al Islami, h.195).
Dalam mata para bijakbestari ia adalah ketiadaan
Tak ada apapun, kecuali Allah
Sekumpulan nama dalam alamraya tak ada,
Yang tampak hanyalah Dia
Selain Dia, dalam semesta, tak berarti
Karena dirinya sendiri, tak mungkin mewujud
(Baca: Zaki Mubarak, al Tashawwuf al Islami, h.195).
Menggoncangkan Otoritas Mapan
Para sufi besar adalah pribadi-pribadi
tulus dengan pikiran-pikiran yang mengundang daya tarik yang luar biasa bagi
rakyat. Mereka adalah para reformer sejati. Pandangan-pandangan dan sikap-sikap
mereka sangat kritis terhadap kehidupan glamor dan korup para penguasa atas
nama rakyat. Para sufi menekankan pelayanan masyarakat, kebersahajaan,
ketulusan, kebersihan hati, toleransi yang luas dan mencintai sesama. Cahaya
yang mereka pancarkan dari jiwa dan pikiran yang bersih telah menyedot gairah
rakyat yang tertindas di mana-mana. Dan kata-kata mereka pun sampai. Kehadiran
mereka dengan dukungan besar rakyat jelata yang diam, telah menggoyahkan
kemapanan status quo. Kekuasaan politik beralih ke arah mereka. Sementara itu,
ketika banyak orang mengejar dan memuaskan diri dengan simbol-simbol dan
baju-baju eksoteris yang mengecoh, kaum sufi mencari Essensi yang esoteris dan
ingin bersembunyi di tanah tak dikenal. Ketika banyak orang manggut-manggut di
depan kekuasaan atau hasrat puja-puji rakyat, kaum sufi tak menjunjung
tinggi-besar apapun kecuali Sang Essensi. Tak pelak, seluruh pikiran dan gerak
mereka seperti itu mengancam sekaligus meruntuhkan kewibawaan dua otoritas maha
perkasa : otoritas politik (struktral) dan otoritas keagamaan (kultural).
Karuan saja, otoritas-otoritas tersebut lalu
menggunakan tangan kekuasaannya untuk menyingkirkan, mengkerangkeng dan
melenyapkan para mistikus itu, dengan berbagai cara. Sejumlah sufi yang sudah
disebut, dan masih banyak lagi yang lain, mengalami nestapa sebagaimana
atau serupa al Hallaj. Murid dan pembela Al Hallaj paling gigih, ‘Ain Qudhat al
Hamdani, misalnya, mengalami hal serupa dengan guru dan pujaannya itu. Dia, (w.
1130 M), dihukum mati tepat di pintu sekolah tempat dia mengajar. Tubuhnya
dibungkus kain dan dibakar. Abunya ditaburkan ke udara.
Imam Jalal al Suyuti, salah satu
pembela Ibnu Arabi yang gigih, mengatakan : “Ma Kana Kabirun fi ‘Ashr Illa
Kana Lahu ‘Aduwn min al Safalah”(Orang besar dalam sejarah selalu punya
musuh orang-orang bodoh).
وقلوب
وددكم تشتاقكم والى لذيذ لقائكم ترتاح
Hati dan jiwa pencintamu merinduimu
Kelezatan bertemu engkau
O, betapa damai
Kelezatan bertemu engkau
O, betapa damai
Semoga Tuhan memberkati dan membagi
mereka kegembiraan di Manzilah al Raghaib (Tempat Istirah Idaman). Allahumma
Ighfir Lahum wa Irhamhum wa ‘Aafihi wa’fu ‘Anhum wa Akrim Nuzlahum.[]
Cirebon, 24 Agustus 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar