Rabu, 18 Mei 2011

Perkembangan Sastra Pada Masa Khulafa al-Rasyidun

      Kehidupan masyarakat muslim awal tidaklah dapat dilepaskan dari aktivitas bersastra. Pertama, karena orang-orang muslim awal, terutama dalam konteks masyarakat Arab Muslim, menjadikan sastra (adab) menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan keseharian mereka. Sastra bagi mereka adalah 1) media komunikasi (penyampaian pesan), 2) sumber nilai kemasyarakatan, 3) ukuran kompetensi kalangan terdidik, 4) ciri dari status sosial, dan 4) media hiburan.
      Islam selalu terkait dan tidak dapat dipisahkan dari bahasa kaum Muslim, sekalipun pada awal kemunculannya sangat identik dengan bahasa Arab, terutama bahasa Arab dalam al-Quran.  Kesusastraan Muslim awal dimulai dengan kitab suci tersebut, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan (mushhaf) yang diyakini tidak yang mungkin diciptakan oleh manusia.  Terbukti bahasa Arab al-Qur’an merupakan bahasa yang sempurna dalam menangani topik-topik yang sangat halus dan dari bentuk bahasa yang ditampilkan (Pedersen Johanes, Fajar Intelektualisme Islam, hlm. 31). Hal ini terjadi pada masa kerasulan, khulafa al-Rasyidun dan masa Bani Ummayyah awal. Karena, setelah itu, keidentikkan bahasa dunia Islam dengan
bahasa Arab mulai memudar, seiring masukknya bangsa-bangsa non-Arab (ajam) ke dalam agama Islam atau kekuasaan politik Islam. Bahasa Persia, Hispano-Arabia, Urdu, Turki, Melayu, Jawa, Sunda, dan lain-lain, misalnya, pada masanya dipergunakan sebagai media untuk mengeksprsikan nilai-nilai keislaman, di samping bahasa Arab.
        Sebelum Nabi wafat, beliau telah merintis jalan untuk memperluas penyiaran Islam keluar jazirah Arabia. Usaha ini telah dicoba beberapa kali untuk mengajak pembesar kerajaan Romawi dan Persia untuk masuk Islam. Setelah Nabi wafat, usaha ini diteruskan oleh para Khulafa al-Rasyidun.  Istilah khulafa al-Rasyidun ini mengacu pada kepemimpinan (kekhalifahan) 4 khalifah (successor)  Nabi Muhammad saw, yang terdiri dari:
  1. Abu Bakar al-Siddik
  2. Umar bin Khattab
  3. Utsman bin Affan
  4. Ali bin Abi Thalib
          Dalam usaha penyiaran Islam di luar jazirah Arab ini tidak semudah yang dibayangkan semula. Sebab musuh Islam di luar jazirah Arab ini jauh lebih besar dan lebih lengkap perlengkapannya. Pada waktu kaum muslimin harus menghadapi tiga kekuatan sekaligus, yaitu bangsa Persia, Romawi, dan orang yang berbalik (murtad) dari Islam. Tiga kekuatan ini jauh lebih besar tantangannya dari bangsa arab di masa hidup Nabi saw.
       Tahap pertama dalam pemerintahan Abu Bakar al-Shiddiq, beliau harus mempersiapkan tentara untuk memerangi bangsa arab yang murtad. Untuk itu beliau mengutus sahabat Khalid bin Walid untuk memimpin pasukan Islam menghadapi kaum murtad pimpinan Tualiha bin Khuailid. Sedangkan sahabat Ikrimah diutus untuk memerangi kaum murtadin di Tihamah (Yaman), mereka keluar dari Islam sebab kebanyakannya masih banyak yang lemah imannya. Dalam hal ini, Abu Bakar bersikap keras “mengikis habis” kekuatan dan pengaruh orang murtad.
       Kemudian setelah Abu Bakar dapat menumpas bangsa Arab yang murtad, beliau menyiapkan tentara untuk meluaskan untuk meluaskan penyiaran Islam di luar jazirah. Dalam hal ini kaum muslimin selalu mendapatkan kemenangan disetiap medan pertempuran. Kemenangan kaum muslimin itu bukan berdasarkan kekuatan senjata semata-mata. Faktor utama kemenangan kaum muslimin di setiap medan peperangan tak lain adalah kekuatan iman, ukhuwah, dan organisasi pasukan (militer) yang militan. Karena itulah dalam waktu yang relatif singkat kaum muslimin dapat meruntuhkan seluruh kerajaan Persia dan dapat membebaskan seluruh daerah yang dijajah oleh bangsa Romawi di sekitar jazirah Arab. Penaklukan islam ini dimulai dari daerah-daerah dibawah kekuasaan Persia, terutama daerah yang berbatasan dengan Irak. Karena hampir sebagian besar daerah ini berada di tangan bangsa Persia. Khususnya daerah-daerah yang sangat subur sekali yang  berada di sekitar sungai Furat dan Tigris.
        Perkembangan politik Islam tersebut mulai diikuti oleh perkembangan aspek kebudayaan lainnya, seperti ekonomi, ilmu, lembaga pendidikan, termasuk aktivits berkarya sastra.  Dimulainya dominasi politik Islam di tanah Arab dan sekitarnya sangatlah berpengaruh terhadap kultur yang ada di dunia tersebut terutama terhadap cara kesusastraannya.  Ciri-ciri pengaruh tersebut diantaranya:
  • Adanya penghapusan sebagian corak kesusastraan Arab pra-Islam.  Penghapusan ini dilakukan oleh Islam terhadap karya-karya sastra yang berbentuk puisi terutama yang berupa mantra satire-bermana yang biasa digunakan oleh para kahin (dukun). Usaha ini disebut sebagai oposisi atau negasi.
  • Penciptaan corak baru yang sesuai dengan Islam.  Adapun corak baru ini ditandai oleh timbulnya berbagai cabang tata peraturan dan perundang-perundangan baik dalam corak Islam maupun dalam bidang bahasa sendiri. Usaha ini disebut sebagai usaha produksi.
  • Berkembangnya sebagaian corak lama yang sesuai dengan Islam, seperti halnya bidang syair dan khutbah.  Hal ini disebabkan karena kedua corak ini sangatlah berjasa dalam menyiarkan dakwah Islam. Usaha ini disebut sebagai usaha konversi atau konvergensi.
       Secara spesifik terkait dengan perkembangan sastra pada masa khulafa la-Rasyidun, para pengamat sastra pada umumnya sepakat terhadap hal-hal di bawah ini (Ahmad Hasan Zayyad, Tarikh Al Adab Al Arabi,hlm. 104-105):
1.      Pertama, perkembangan astra mengalami stagnasi, karena perhatian yang lebih kepada bahasa Al-Qur’an dan al-Hadits, sehingga syair dan karya sastra lainnya kurang teroganisir atau kurang berkembang.
2.      Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi untuk kegiatan sastra, karena dalam berdakwah diperlukan bahasa yang indah.  Pengaruh al-Qur’an dan al-Hadits tidak bisa dilepaskan karena keduanya merupakan sumber pokok ajaran Islam.

Syair
       Dalam bidang syair, secara khusus dijelaskan bahwa syair pada masa ini tidak jauh dari syair pada masa Rasul, yang juga tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya (masa Jahiliyah). Maksudnya bahwa puisi kurang maju dan berkembang karena lebih memperhatikan al-Qur’an, sehingga aroma kata dalam puisi sangat terpengaruh sekali oleh al-Qur’an.
       Dukungan kekuasaan dan sahabat besar terhadap perkembangan syair tidaklah kecil. Ketika orang non-Arab (ajam), yang penguasaan bahasa Arab dan maknanya sangat cukup baik, mulai masuk Islam, Khalifah Umar bin Al-Khattab mendesak para mualaf ini untuk belajar syair. Dengan demikian, ini mengembangkan penguasaan bahasa Arab mereka. Ketika orang Muslim mulai menafsirkan Al-Qur’an, Ibn Abbas, mufasir pertama, menganjurkan supaya orang Muslim mengupayakan apa yang tak dapat dipahami dari al-Qur’an dalam syair Arabia pra-Islam. Memang, para khalifah Rasyidun sering membaca syair, baik untuk menasehati kaum muslimin agar berbuat kebajikan atau untuk menyemangati mereka dalam membela Islam.
      Syair-syair Muslim pada masa khulafa al-Rasyidun dibuat berdasarkan aturan-aturan tradisional seperti qasida, ghazel, qisah, mastnawi, dan ruba’iyyat.
  • Qasida merupakan bentuk sya’ir yang terus diminati bahkan sampai sekarang. Qasida merupakan karya sastra tradisional berbentuk syai’r  pujian yang tersusun dari 20 sampai 100 sajak dan memiliki  rima  tunggal di akhir sajak.  Biasanya syair dimulai dengan pembukaan yaitu syair-syair tentang cinta yang dimaksudkan untuk mendapatkan perhatian dari para pendengar. Kemudian syairnya dilanjutkan dengan kisah-kisah perjalanan (traveling atau adventure poem), seperti kuda dan unta di gurun pasir. Terakhir, merupakan inti dari syairnya biasanya mengkisahkan suku-suku mereka atau bahkan dirinya sendiri (fakhr atau ananiyyah). Pada masa khulafa al-rasyidun ini, qasida mengalami transformasi bentuk dan substansi, dibanding pada masa pra-Islam. Qasida berfungsi sebagai alat untuk memuji Tuhan, pujian terhadap Nabi Muhammad yang telah wafat, atau ratapan kepada guru-guru mereka atau nyanyian atau keluh kesah untuk bagi orang suci.
  • Ghazel merupakan syair cinta yang terdiri dari 5 sampai 12 bait berisikan religiusitas, sekuler, dan kombinasi di antara keduanya.
  • Qishshah merupakan syair humor yang menggambarkan kehidupan sehari-hari.
  • Masnavi berasal dari tradisi sastra kuno Persia. Masnavi menjadi sangat terkenal di kawasan Arab karena bentuk syairnya yang terdiri dari ribuan bait yang saling berhubungan satu sama lain sehingga membentuk sebuah cerita.
  • Ruba’iyyat juga berakar pada tradisi syair Islam Persia. Bentuknya berupa kuatrain (sajak empat baris) yang biasanya terdiri dari empat bait.
  • Maqamah merupakan gambaran semangat bangsa Arab yang dituangkan dalam bentuk bait-bait prosa. Bentuk dari syair biasanya berbentuk kisah-kisah yang menghibur dalam gaya komplek. 
       Pada masa khulafaurrasydin al-qur’an dijadikan inspirasi sebagai kegiatan sastra, hal ini menunjukkan bahwa di dalam al-qur’an banyak terkandung nilai-nilai sastra.  Karya ini dipakai untuk melakukan dakwah dalam bentuk lisan (pidato), yang memerlukan bahasa yang yang indah, fungsi sastra dijadikan alat untuk dakwah (politik komunikasi), seperti yang telah dipaparkan di atas Ali bin Abi thalib salah satu tokoh terkenal dengan gaya pidatonya.  Karya sastra dalam bentuk lisan tersebut lahir karena dorongan strategi komunikasi yang menjadi keharusan untuk mendapatkan perhatian.
       Dari sudut pandang tema, syair al-ghazw (syair peperangan) cukup banyak tersedia dan sampai kepada kita. Dari syair-syair yang ditinggalkan oleh para penyair Islam itu yang ikut dalam berbagai peperangan, kita dapat mengikuti jalannya peperangan. Setiap peperangan pasti diikuti oleh beberapa orang penyair Islam yang dialaminya dalam peperangan itu. Dalam penaklukan daerah Irak, misalnya, hampir sebagian besar kisah pertempurannya dicatat oleh penyair-penyair islam yang turut dalm pertempuran. Seperti kemenangan, kekalahan, dan kisah semangat dalam prajurit islam ketika betempur ketika menghadapi tentara Persia yang jauh lebih besar jumlahnya dan lebih lengkap peeralatannya. Dalam hal ini segala syair yang dapat sampai kepada dapat dianggap sebagai catatan sejarah yang sangat berharga sekali.
       Dalam suatu peperangan antara pasukan Islam di bawah pimpinan Khalid bin Walid melawan pasukan Persia dibawah pimpinan Humruz yang terjadi didaerah Kajimah, kaum muslimin mendapatkan kemenangan yang gemilang dan dapat mngalahkan ribuan tentara Persia. Kejadian ini dapat diikuti dalam syair panglima Qa'qa' bin Amru yang mengabadikan kejadian itu sebagai berikut.

         Kami kalahkan panglima Hurmuz didaerah Kazimah dan di Tsana Karny,
         Kami menghancurkan panglima Qarin
         bersama tentaranya yang sangat banyak

   Ketika kaum muslimin menghadapi serangan pasukan Persia yang amat besar sekali jumlahnya, kaum muslimin sangat khawatir sekali menghadapi serangan musuh yang amat besar ini. Sehingga Khalid melaksanakan shalat Khauf bersama kaum muslimin. Dalam peperangan itu kaum muslimin dapat melumpuhkan kekuatan musuh sehingga dapat mengalahkan pasukan Persia sebanyak tujuh ribu orang dan sebagian lagi ada yang tertawan dan melarikan diri.
        Aswad bin Qutba al-Tammimmy juga mengabadikan dalam bait syairnya sebagai berikut:

       Dihari peperangan urais kami dapatkan singa disiang hari
      Tidak pernah kami saksikan pertempuran sesengit itu bagi orang-orang mulia
      Dihari itu kami bunuh tentara sebanyak tujuh puluh ribu, sedang yang lain
             kami jadikan tawanan.
     Selain orang-orang yang tidak masuk dalam bilangan orang yang
            terbunuh dan yang mati ditutup debu
                                                                                          (Syi’r Futuh al-Islamy 128-129)
       Selain syair-syair di atas, kita juga dapat menemukan syair lain yang terdapat di beberapa peperangan yang dilakukan oleh kaum muslimin dalam menaklukan bangsa Persia, seperti syair Qais bin Makhsyuk dalam peperangan Qasidiah.

Prosa
      Selain syair, genre prosa pun berkembang, tetapi terbatas pada jenis khutbah, risalah, maqamah, dan qishshah dengan universalitas tema dan nilai. Khutbah, risalah (surat), maqamah (kisah pendek yang mengungkapkan prekositas sastra/linguistik sang hero), qishshah (essai yang berkisar di seputar satu gagasan yang adalah pusatnya) merupakan sebagian jeni prosa yang berkembang pada masa khulafa al-Rasyidun.
Pada masa ini, prosa tertuang dalam dua bentuk yaitu Khithabah (bahasa pidato) dan Kitabah (bahasa korespondensi). Khithabah menjadi alat yang paling efektif untuk berdakwah mengalami kesempurnaannya karena pengaruh al-Qur’an. Pionir-pionir khithabah adalah para khalifah, mereka adalah pemimpin yang sekaligus sastrawan, mereka sangat baligh dan fasih dalam berkhotbah.  Ahli pidato yang sangat terkenal pada masa ini adalah Ali bin Abi Thalib, bahkan khutbah-khutbahnya dikumpulkan dalam kitab “Nahj al-Balaghah”.  Tentang kitabah tidak mengalami kemajuan sepesat khithabah meskipun di dalamnya banyak didapatkan nilai-nilai sastra.
       Bentuk (struktur) prosa Muslim yang berkembang pada masa ini pun masih mengikuti aturan prosa pra-Islam. Hal ini meliputi
  • siyaq (pemolaan indah kata-kata terbaik sehingga pas dengan makana tertentu),
  • al-muqabalah atau tawazun (penyeimbangan atau penjajaran kata-kata, frase, atau makna yang simetris),
  • repetisi (pengungkapan suatu bentuk, modalitas, atau tema berulang-ulang, masing-masing berbeda dengan  lainnya meski focus perhatiannya ke materi subjek yang sama).
  • al-tarassul atau tidak berkembang, yaitu suksesi tema, bagian, atau bab tanpa interkoneksi organis tetapi dengan frase atau tema standar membuka dan menutup setiap bagian. Ini melahirkan momentum menuju kontinuasi tak terbatas.
  • Al-ijaz atau keringkasan, ketepatan, dan kesederhanaan, atau penggunaan sedikit kata untuk mengemas makna terbesar, al-iqa atau penempatan tiap kata pada tempatnya yang tepat.
  • al-intiqal atau perubahan mendadak tekanan, bentuk ucapan, atau makna, kebentuk lain yang kontras sebagai cara untu memperkuat keduanya;
  • Tamtsil al-ma’ani atau penyampiaian makna abstrak melalui kesan yang diberikan pada perasaan sehingga membuat ketiadaan menjadi ada, ilusi menjadi real, abstrak menjadi konkret;
  • al-bayan, kejelasan ungkapan, ataua ketiadaan kriptikisme, symbol, dan makna tersembunyi; dan
  • muthabaqah al-ibarah li muqtadha al-hal, kepantasan ungkapan, kesesuaiannya dengan keadaan atau pemilihan istilah dan gaya (style dan diksi) yang pas.
Bentuk-Bentuk Karya Sastra Lainnya
     Bentuk karya sastra lainnya yang berkembang pada saat Khulafa al-Rasyidun ini adalah:
1. Khitabah, yakni seni retorika berkhutbah
2. Risalah, yakni seni korespondensi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar