Senin, 02 Mei 2011

Memaknai Sastra Islam(i)

Oleh: Dadan Rusmana

          Penisbahan kata Islam(i) terhadap kata "Sastra", yakni dalam sastra Islam(i) atau Islamic Literature adalah sama dengan penggunaan kata Islam(i) atau Islamic dalam penisbahannya terhadap kata-kata lain. Kata Islamic, misalnya, dinisbatkan pada beberapa kata umum, yakni Islamic Civilization [peradaban Islam], Islamic culture [kebudayaan Islam], Islamic Law [hukum Islam], Islamic Tradition [tradisi Islam],dll. Dilihat dari hal tersebut, maka kata Islamic [adjective; kata sifat}, merupakan hal yang dapat diterima dalam tradisi kajian keilmuan dan penelitian.

       Kata Islamic tersebut dapat merujuk pada beberapa makna, 1) hasil atau peristiwa yang lahir karena ikatan atau terikat [secara sentripetal dan sentrifugal] terhadap nilai-nilai keislaman. Pada kategori ini, Islamic Civilization bermakna sebagai peradaban yang diilhami, tergerakkan, dan terikat dengan nilai-nilai keislaman. Dalam kategori inilah, Islamic Civilization dimaknai sebagai "Peradaban Islam(i)"; 2) hasil atau peristiwa yang lahir dari Islam sebagai nama dari sebuah agama, yakni agama Islam. Pada kategori ini, Islamic Civilization bermakna peradaban yang lahir dari para pemeluk agama Islam, atau muslim. Dengan demikian, Islamic civilization dapat juga dimaknai sebagai Muslim civilization [peradaban muslim].
       Mengacu pada pemaknaan pertama, maka Islamic Literature (sastra Islami) dimaknai secara singkat sebagai "sastra yang mengandung nilai-nilai keislaman." Yang dimaksud dengan nilai-nilai keislaman adalah nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Sunnah. Dengan demikian, sastra Islam(i) adalah sastra yang mengambil nilai-nilai dalam al-Qur'an dan al-sunnah sebagai spirit atau ruh dari nilai yang dikirimkannya kepada para pembaca. 
      Variasi dari pemaknaan ini, sastra Islam(i) adalah 1) sastra yang terikat dengan nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-sunnah; 2) sastra yang mendakwahkan nilai-nilai yang ada dalam al-Qur'an dan al-sunnah; 3) sastra yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai al-Qur'an dan al-Sunnah. Ketiga pemaknaan ini memiliki "orientasi" [kecendrungan] yang variatif [atau berbeda]. 
      Sekalipun rumusannya cukup sederhana, namun karena nilai-nilai yang ada dalam al-Qur'an dan al-Sunnah itu cukup kompleks, maka memaknai dan mengejawantahkannya dalam sastra juga akan lebih kompleks. Misalnya, muncul simplikasi persepsi atau bahkan mispersepsi dari beberapa orang pembaca dan penulis yang menganggap bahwa jika mengusung nilai-nilai keislaman, maka karya sastra cenderung akan normatif, dipenuhi oleh simbol-simbol [baca terminologi Islam-Arab], dan tidak memberi ruang bagi eksplanasi realitas "perbuatan buruk" atau bahkan "dunia hitam". Bisa jadi, sebagian penulis menuntut adanya eksplisitas simbol dan pesan, bahkan karkater, setting, dan plot, yang secara vulgar menonjolkan "serba Islam" [dan sering disimplikasi menjadi serba-Arab]". Kelompok ini dinamakan sebagai kelompok formalis-normatif. 
        Sebagian penulis sastra memberikan pandangan lain bahwa nilai-nilai ke-Islaman tidaklah selamanya harus muncul secara eksklusif, simbolis, dan vulgar; tetapi muncul dalam bentuk yang inklusif. Andai karya sastra tersebut mengusung nilai-nilai kebaikan [universal] dan menjauhkan pembacanya untuk menjauhi nilai-nilai keburukan, maka dengan sendirinya, ia akan sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Karenanya, karya seperti ini berhak disebut sebagai karya sastra Islam(i). Nilai-nilai kebaikan universal dimaksud adalah kejujuran, perdamaian, persaudaraan, kesamaan hak dan kewajiban, dan lain-lain.
     Terlepas dari berbagai perdebatan yang mewarnai  polemik tentang berbagai dimensi Islam, terdapat beberapa nilai yang harus ada dalam sastra Islam(i) ini, yakni:
  1. Mengenalkan dan mengokohkan nilai-nilai ketauhidan dan keimanan; sastra Islam(i) berisi berbagai unsur intrinsik yang berupaya mengenalkan Allah yang Maha Esa dengan berbagai sifat kesempurnaannya [tauhidullah= mengesakan Allah] serta mengajak pembacanya untuk terus mengilmui, memelihara, dan mengokohkan ketauhidan mereka. Lebih lanjut, sastra Islam(i) pun berupaya menyuguhkan berbagai unsur karyanya untuk mengukuhkan pemahaman dan keyakinan pembacanya akan "rukun iman'. Pada sisi lain, sastra Islam(i) mengingatkan pembacanya untuk menjauhi perbuatan syirik [menyekutukan Allah] dan perbuatan mengkafirkan Tuhan.
  2. Mengenalkan dan mengajak pembaca untuk menta'ati syari'at. Sama halnya dengan point pertama, sastra Islam(i) berupaya mengenalkan berbagai syari'at Islam, baik yang berkaitan dengan syari'at dalam bidang ibadah, akhwal al-sakhsiyyah, mu'amalah, siyasah, jinayah, dll; serta mengajak pembacanya untuk menaati dan mengamalkan berbagai aturan yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya [melalui al-Qur'an dan al-Sunnah]. Pada sisi lain, sastra Islam(i) mengajak pembacanya untuk menjauhi usaha untuk pelanggaran dan pembangkangan terhadap berbagai aturan Allah dan Rasul-Nya.
  3. Mengenalkan dan mengajak pembaca untuk mengamalkan akhlak karimah [akhlak mulia] dalam berbagai relasinya, yakni a) hubungannya dengan Allah [habl min Allah], b) hubungannya dengan sesama manusia [habl min al-nas], dan c) hubungannya dengan alam [lingkungan; habl min al-alam]. Akhlak Karimah yang diusung oleh sastra Islam(i) pada dasarnya adalah nilai-nilai kebaikan universal, seperti kejujuran, dan amanah. Pada sisi lain, Sastra Islam(i) mengingatkan pembacanya agar menghindari akhlak yang buruk (akhlaq madzmumah), seperti menjauhi bohong (kidzb), korupsi, dan berbuat dzalim.
     Secara konseptual, sastra Islam(i), sepertinya, mudah untuk dibuatkan rambu-rambunya. Namun pada real dan aplikasinya, sangat mungkin, cukup sulit untuk diidentifikasi dan diwujudkan. Hal ini karena berbagai karya yang ada, secara relatif, tidak dapat sepenuhnya memenuhi kriteria di atas. Tiga aspek unsur-unsur nilai di atas juga, pada realitasnya, memiliki interpretasi yang berbeda-beda, sehingga standar pengukurannya juga bersifat relatif dan bahkan subjektif. 
     Namun perlu disadari bahwa sastra Islam(i) adalah sesuatu yang berproses, berdialektika, dan "menjadi", bukan sesuatu yang sekali jadi (atau langsung menemukan bentuknya). Karenanya, tidaklah perlu berkecil hati jika kita belum menemukan sastra Islam(i) dengan kriteria di atas dalam waktu cepat.  Perlu diyakini juga, bahwa terdapat sejumlah karya yang mendekati standar sebagai Sastra Islam(i), terutama sejumlah karya yang lahir dari kalangan sastra sufistik, jika kita mampu menelisiknya secara teliti dan penuh kesabaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar