Sejarah Islam pada masa Rasulullah berjalan cukup panjang, yakni selama 23 Tahun (610-632 M). Secara selintas peristiwanya adalah sebagai berikut:
610
M
|
:
|
Nabi
Muhammad menerima wahyu al-Qur’an untuk pertama kalinya di Mekkah dan dua
tahun kemudian mengajarkannya.
|
616
M
|
:
|
Hubungan
antara penguasa Mekkah dan pengikut Nabi Muhammad memburuk; penyiksaan
terjadi dan posisi Nabi Muhmmad dan pengkikutnya makin sulit dan tersudutkan.
|
620
M
|
:
|
Bangsa
Arab dari perkampungan Yastrib (kelak bernama Madinah) menghubungi Nabi
Muhammad dan mengundangnya untuk memimpin masyarakat mereka
|
622
M
|
:
|
Nabi
Muhammad bersama-sama 70 keluarga Muslim melakukan hijrah atau migrasi
dari Mekkah ke Madinah dan orang-orang Mekkah bersumpah untuk menghentikan
[mengembalikan mereka ke Mekkah] dengan berbagai cara. HIjrah dimulainya
era [kalender] Muslim.
|
624
M
|
:
|
Umat
Islam memperoleh kemenangan luar biasa atas Mekkah pada perang Badar.
|
625
M
|
:
|
Umat
Islam menderita kekalahan di tangan pasukan Mekkah pada Perang Uhud, di luar
Madinah. Suku Yahudi Qainuqa dan Nadhir diusir dari Madinah, karena
penghianatan dan persekongkolan mereka dengan Mekkah.
|
627
M
|
:
|
Umat
Islam mengalahkan pasukan Mekkah secara telak pada perang Khandak. Peristiwa
ini diikuti dengan pengusiran suku Yahudi Quraidzah yang membantu Mekkah
untuk melawan umat Islam.
|
628
M
|
:
|
Nabi
Muhammad mengajukan inisiatif perdamaian antara Madinah dan Mekkah, yang
menghasilkan Perjanjian Hudaibiyah. Inisiatif ini telah memosisikan Nabi
Muhammad sebagai orang berpengaruh di Arabia dan menarik banyak suku Arab
untuk masuk Islam atau bersekutu dengannya.
|
630
M
|
:
|
Orang-Orang
Mekkah melanggar Perjanjian Hudaibiyah. Nabi Muhammad bersama umat Islam
menuju Mekkah. Mekkah mengakui kekalahannya dan dengan sukarela membuka
gerbang bagi Nabi Muhammad dan umat Islam, yang mengambil alih kota tanpa
pertumpahan darah dan tanpa memaksa seorang pun untuk masuk Islam
|
632
M
|
:
|
Rasulullah
meninggal dunia. Abu Bakar Shiddqiq diba’iat sebagai khalifatu Rasulillah
|
Kelahiran Islam dan Persemaian Sastra Muslim pada Masa Awal Islam
Perkembangan sastra Muslim masa Rasulullah dan Khulafa al-Rasyidun, menurut kategori al-Faruqi dan Faruqi (1998:369), merupakan masa shadr Islam, yang meliputi kurun waktu sejak masa kenabian hingga masa Bani Ummayyah (1-100 Hijriyah atau 622-720 M). Namun untuk kebutuhan sistematika, maka dalam buku ini fase Bani Ummayyah dipisahkan dari fase shadr islam tersebut. Hal ini disebabkan penulis melihat adanya perbedaan pola wacana (shifting of discourse) di antara fase kenabian dan khulafa al-Rasyidun dengan fase Bani Ummayyah. Perbedaan tersebut akan dikaji lebih lanjut ketika membahasa pekembangan sastra Muslim pada masa Bani Ummayyah.
Kelahiran sastra Muslim (atau sastra islam), tentunya tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islam itu sendiri. Namun, untuk persoalan sejarah kelahiran Islam, sejarah Kenabian Muhammad saw, dan sejarah Islam telah banyak buku yang lahir. Oleh karena itu, pembahasan mengenai kelahiran Islam tidak akan dibahas secara detail dalam buku ini. Kesimpulan yang dapat dituliskan di sini adalah bahwa datangnya Islam tidak hanya membawa perubahan terhadap perubahan tatanan sosial politik dan ekonomi, tetapi juga membawa perubahan terhadap kesusastraan Arab pada saat itu. Kehadiran Islam menandai dimulainya sastra Muslim. Hal ini ditandai dengan hadirnya al-Quran sebagai kitab yang muncul dalam bentuk komposisi sastra yang tertinggi dengan segala keistimewaannya, baik dari segi sintaksis, semantik, balâghah, badi’, arud, maupun qawâfî-nya.
Ketika seluruh penjuru dunia menderita akibat dari eksploitasi manusia dan tindak kesewenang-wenangan, Muhammad lahir di bumi Arab sebagai penyelamat kehancuran manusia dan pembimbing ketersesatan manusia. Dalam tempo yang cukup singkat, yaitu sekitar 23 tahun, beliau berhasil mengubah watak kejam dan jahat bangsa-bangsa Arab menjadi bangsa yang beradab dan bermoral, mengentaskan masyarakat dari kedalaman jurang kebobrokan moral spiritual menuju cahaya keimanan, moralitas, dan keadilan yang luhur. Beliau telah berhasil menyatukan suku-suku Arab yang sebelumnya senantiasa dalam permusuhan dan peperangan saudara, lalu membina mereka menjadi satu kesatuan. Kawan maupun lawan, muslim maupun non muslim semuanya menyukai kepemimpinan Muhammad. Keadilan, persamaan dan kejujuran merupakan semboyan perjuangan beliau. Ia adalah teman sejati bagi orang-orang miskin, orang-orang lemah dan yang tertindas. Beliau tidak pernah menyimpan rasa dendam dan permusuhan kepada orang lain, sekalipun terhadap musuh-musuh Islam yang sangat kejam.
Membebaskan umat manusia, mempersatukan dan mendidik manusia, dengan kata lain “memanusiakan manusia” merupakan misi utama perjuangan hidup nabi Muhammad. Beliau mencurahkan seluruh hidupnya untuk merealisasikan misi yang besar ini. Sekalipun tidak mengenyam pendidikan formal, Nabi sangat gigih manganjurkan kewajiban menuntut ilmu pengetahuan, beliau selalu mendorong masyarakat muslim agar giat belajar. Setelah hijrah ke Madinah, Nabi mengambil prakarsa mendirikan lembaga pendidikan. Semenjak saat itu kegiatan baca tulis dan kegiatan lainnya berkembang dengan pesat di kalangan masyarakat Madinah. Pada tiap-tiap kota diselenggarakan semacam pendidikan tingkat dasar sebagai media pendidikan anak-anak. Ketika Islam telah tersebar ke seluruh penjuru jazirah Arabia, Nabi mangatur pengiriman guru-guru agama untuk ditugaskan mengajarkan al-Qur’an kepada suku-suku terpencil.
Pada masa kenabian Muhammad saw, penduduk Mekkah dan bangsa Arab umumnya tidak mempunyai apapun yang dapat berlaku sebagai matriks untuk wahyu kecuali bahasa mereka dan keunggulan sastra yang telah mereka kembangkan. Bahasa mereka telah melahirkan kemampuan penting untuk mengungkapkan sejumlah pengalaman dan menciptakan kata-kata yang selaras dengan setiap realitas. Bahasa Arab membedakan unta-unta dengan usia, bulu domba yang beragam, warna, dan keturunan, juga antara topografi gurun yang tak terhingga banyaknya, dengan menamai setiap topografi masing-masing dengan nama-nama yang berbeda. Bahasa mereka membedakan jam-jam untuk siang hari dan malam hari, dan terjadinya di setiap bulan, dan menamainya dengan nama yang berbeda. Bahasa Arab sangat kaya dengan kata benda dan kata sifat, sehingga kefasihan didefinisikan sebagai kesesuaian antara ungkapan dan realitas yang ditunjukkan kepada kesadaran. Peran seniman sastra adalah memilih, dari kemungkinan yang tak terbatas, kata-kata yang pas untuk sebuah gagasan. Lagi pula, bangsa Arab menciptakan puisi Arab, suatu bentuk ungkapan sastra yang menandai derajat utama dalam keahlian sastra (Faruqi dan Faruqi, 1998:369).
Masa menjelang kebangkitan Islam kondisi sosial-ekonomi bangsa Arab mulai meningkat menjadi suatu bentuk kebudayaan yang lebih, ditandai dengan muncul kota Mekkah sebagai pusat perdagangan dan kebudayaan dimana setelah kerajaan Himyar jatuh, jalur-jalur perdagangan di Arab dikuasai oleh Romawi dan Persia. Melalui jalur perdagangan, bangsa Arab berhubungan dengan bangsa-bangsa Syiria, Persia, Habsyi, Mesir, (Qibthi), dan Romawi yang semuanya telah mendapat pengaruh dari kebudayaan Hellenisme.
Al-Qur'an Sebagai Korpus Bernilai Sastrawi Transendental
Pada satu sisi, al-Quran merupakan mukjizat terbesar Nabi Muhammad, sebuah kitab agung yang tidak lekang oleh waktu dan zaman. Keberadaaan al-Qur’an adalah untuk memberi pencerahan dan pedoman bagi umat yang mau menggali kedalaman maknanya. Di sisi lain, al-Qur’an juga diakui sebagai karya sastra agung yang dapat dilihat dari konteks sejarah turunnya al-Quran. Dengan kitab ini umat Islam dengan optimis menuju kemajuannya diberbagai bidang termasuk di bidang sastra. al-Qur’an yang tiada tandingannya dalam menguak rahasia pengetahuan maupun sejarah yang belum pernah tersentuh, dengan susunan kata, kalimat dan komposisi yang teratur dan sangat indah, sulit tertandingi bahkan oleh bangsa Arab yang notabene menghasilkan penyair-penyair yang tangguh.
Peristiwa kenabian Muhammad juga merupakan hal yang unik. Hal ini disebabkan oleh adanya sandaran yang berbeda dengan nabi yang sebelumnya. Dalam hal ini, Muhammad menjadikan keindahan sastra dalam kitab suci al-Qur’an sebagai bagian dan sandaran risalah kenabiannya. Dalam hal ini, keunggulan dan keindahan sastra yang melebihi jamannya dijadikan salah satu justifikasi bagi risalahnya yang bersumber dari Allah. Keindahan citarasa bahasa al-Qur’an yang menggunakan sastra sebagai pilihannya, dapat dipahami sebagai sebuah gengsi sosial tersendiri di kalangan masyarakat Arab yang sangat gandrung terhadap dengan sastra-sastra bercita rasa tinggi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ismail Raji al-Faruqi dan Louis Lamya al-Faruqi (1998:369), bahwa nilai estetis tersebutlah yang kemudian menjadikan Al-Qur’an dipandang sebagai bersifat ilahiyah, dan risalah dari langit. Dengan bahasa sastranya, tentunya berbeda dengan bahasa sehari-hari, dan ini mengundang pemahaman yang tidak biasa, atau seperti ditulis Picktchall (1993:82) bahwa kalau intelegensi yang tidak terbatas berbicara dengan intelegensi yang terbatas, mungkin yang terakhir tidak akan faham karena keterbatasan yang terakhir, bahkan pesan suci itu akan nampak omong kosong kepada orang-orang kecil yang akan menolak.
Dalam hal ini, al-Qur’an menyatakan dirinya---dan dianggap kaum muslim sebagai---mukjizat agung yang secara mutlak memenuhi kandungan yang agung dan melahirkan efek mendalam pada jiwa-jiwa pendengar dan pembacanya. Kemukjizatan estetis atau sastra al-Qur’an dipandang oleh kaum muslim sebagai bukti bahwa al-Qur’an merupakan komposisi sastra ilahiah (transeden). Persiapan linguistik dan sastra Arab menjelang kelahiran Islam berlaku sebagai prasyarat bagi kedatangan al-Qur’an. Ketika al-Quran diturunkan, bangsa Arab sudah mengenal kesusastraan yang sangat tinggi, ini dapat dilihat dari kebiasaan bangsa Arab menulis syair yang membutuhkan daya kontemplasi yang sangat tinggi. Agar diterima dan dimuliakan sebagai risalah dari langit, orang-orang yang dituju al-Qur’an haruslah berada pada tingkat perkembangan sastra yang dapat memahami bahwa al-Qur’an bukanlah merupakan gubahan atau ciptaan manusia (Faruqi & Faruqi, 1998:369).
Kaum Arab Muslim dan non-Muslim, saat turunnya risalah, mengakui kebenaran al-Quran setelah mengetahui bahwa setiap ayat al-Quran sesuai dengan dan memenuhi norma yang pernah dikenal bangsa Arab pada saat itu, bahkan mengunggulinya. Sebagai bahan bandingan, Bangsa Arab ketika itu mempunyai gagasan ideal sastra yang mereka kuasai dan saksikan pada diri penyair, orator, dan tukang ramal. Tetapi aktualisasi sastra dari kelompok manusia ini dianggap kurang sempurna, sedangkan aktualisasi al-Quran jauh sempurna dan mengungguli dari apa yang mereka ketahui. al-Qur’an mencerai-beraikan semuan norma keunggulan sastra yang pernah dikenal bangsa Arab (Faruqi & Faruqi, 1998:369).
Untuk menunjukkan keunggulan nilai sastranya, al-Qur’an menantang setiap sastrawan di setiap zaman, terutama saat turunnya al-Qur’an, untuk membuat sesuatu yang keindahannya semisal atau menyamai al-Qur’an, baik satu ayat maupun surat. Namun sejak tantangan ini muncul hingga kini, belum ada satu sastrawan pun yang mampu membuat dan menandingi keindahan sastra al-Qur’an. Fenomena historis i’jaz al-Qur’an yang menantang orang-orang Arab dan lainnya, terutama masyarakat Arab pada masa turunnya ak-Qur’an, menurut Ismail Raji al-Faruqi dan Louis Lamya al-Faruqi (1998:369) merupakan keharusan sejarah. Tantangan ini mengharuskan masyarakat Arab yang menantangnya maupun orang yang menghakimi atau menjadi wasit kontes ini untuk mengenali dan memahami keunggulan sastra al-Qur’an. Tanpa fenomena historis ini, masih menurut Faruqi dan Faruqi (1998:369), diragukan jika al-Qur’an menunjukkan kekuatannya yang menghancurkan, menakutkan, mempesonakan, mengharukan, dan menggerakkan. Tanpa kemampuan ini juga, bangsa Arab tidak akan mengakui nilai transendental dari wahyu al-Qur’an.
Turunnya Al-Quran membekukan bahasa Arab maupun kategori logika, pemahaman, dan keindahan dalam bahasanya. Setiap ayat dalam al-Qur’an sesuai dan memenuhi kaidah sastra yang pernah dikenal saat itu, bahkan mengunggulinya. Hal ini menunjukkan bukti bahwa, al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, yang dinilai sebagai bahasa yang mempunyai kaidah yang tinggi, dan mampu menciptakan kata-kata yang selaras dengan realitas, tidak paradoksal. Dalam waktu singkat, bahasa Arab Al-Quran menjadi standar dan norma bahasa Arab sejauh menyangkut kosa kata, sintaks, tata bahasa, dan kefasihan (balaghah atau fashahah)-nya. Semua itulah yang kemudian menyebabkan al-Qur’an dianggap sebagai mukjizat yang telah mempengaruhi budaya dan a fortiori sastra-semua Muslim (Faruqi dan Faruqi, 1998:400).
Kehadiran al-Quran di sisi para penyair telah membawa dimensi baru, bentuk baru yang belum pernah ditemui sebelumnya. Al-Quran seolah-olah seperti syair, tetapi bukan dalam bentuk puisi. Kadang-kadang seperti prosa, tetapi bukan pula sastra prosa. Hal itu disebabkan karena al-Quran mengandung unsur-unsur keindahan bahasa dan arti yang sangat tajam dan kuat. Kejadian turunnya al-Quran tidak saja membentuk peradaban keagamaan yang baru tapi juga dalam hal kultur sastra. Al-Quran dianggap oleh orang Islam sebagai firman Tuhan yang langsung dan ia memiliki makna yang lebih dalam dari sudut pandang sastra. Al-Quran hadir dalam bentuk prosa yang berima. Kelebihannya tidak hanya keluar dari rima yang berbobot dari bahasanya, akan tetapi juga dari perumpamaan yang jelas.
Dengan kebangkitan Islam beberapa penyair bangsa Arab menyerang Al-Quran yang dianggap sebagai hasil karya dari seorang penyair. Dari keunikan yang ada di dalam al-Quran itulah, menyebabkan para penyair Arab Jahiliyah menuduh al-Quran sebagai mantera “kahin” (Nabi Muhammad s.a.w. dituduh sebagai kahin). Sebagian mereka menjuluki Nabi Muhammad sebagai penyair karena adanya rhytem prosa digunakan di dalam al-Qur’an, seperti dalam surat as-Shu’ara (penyair-penyair) ayat 224-227 yaitu:
“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat”.
“Tidaklah kamu melihat bahwasannya mereka mengembara di tiap-tiap lembah”.
“Dan bahwasannya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya”.
“Kecuali orang-orang (para penyair) yang beriman dan beramal sholeh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan setelah menderita kezaliman. Dan orang-orang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali”.
Bangsa Arab dibuat heran oleh kefasihan al-Qur’an dan keindahan gaya bahasanya. Maka dari itu mereka meniru gaya bahasa dari al-Qur’an. Kegilaan mereka menjadi dasar sehingga beberapa orang dari mereka tidak meneruskan syairnya setelah masuk Islam. Penyair terkenal Labid, salah satu penyair al-Muallaqat contoh terbaik. Ketika dia menerima Islam dia menentang penyusunan atau pembacaan syair di mana di dalamnya ia sudah memusatkan diri, dia berkata: “Allah sudah memberiku Al-Quran sebagai gantinya” (Hasan, 1997 : 153). al-Qur’an benar-benar memperdaya lawannya begitu dipersentasikan. Bacaannya itu sendiri sangat menguasai pertahanan mereka, begitu mempesona dan mengangkat mereka pada puncak tertinggi kenikmatan sastra, sehingga mereka mengakui asal-usul Ilahiahnya, dan tunduk kepada perintahnya.
Komposisi Sastra al-Qur'an
Keindahan sastra al-Qur’an terdapat pada tiga dimensi, yaitu karakter bentuk, karakter isi, dan karakter pengarus. Karakteristik atau manifestasi bentuk, isi, dan pengaruh al-Qur’an inilah yang kemudian menjadikan al-Qur’an tampil sebagai kitab suci yang berbeda dengan yang lainnya. al-Qur’an tampil dengan wibawa kebenaran yang selalu ada tanpa mengada-ada. Yang kemudian karakteristik tersebut terbawa terus dalam konteks historis hingga hari ini. Hal ini berarti, bahasa al-Qur’an, wibawa kebenaran al-Qur’an, nilai sastra al-Qur’an terbawa dan mempengaruhi setiap segi dalam perkembangan Islam selanjutnya.
1. Nilai Sastrawi Struktur Linguistik al-Qur'an
Manifestasi satrawi al-Qur’an disepakati oleh para ahli yang concern di bidang kebahasaan dan sekaligus menegaskan bahwa bahasa Al-Qur’an memang sarat dengan sifat sastrawi. Namun juga ditegaskan bahwa sastra Al-Qur’an tidaklah sama dengan sastra lainnya, seperti puisi, sajak, dll. Kaum Muslim berusaha dengan tekun mempelajari Al-Quran sebagai karya sastra, dan mengungkapkan rahasia keindahan dan kemukjizatannya. Kedua hal ini, mereka sebut awjuh atau dala’il al-i’jaz, segi-segi atau sebab-sebab yang membuat Al-Quran luar biasa, menarik, dan tak tertandingi.
Berbagai tulisan telah lahir yang membedah tentang keindahan cita rasa sastra al-Qur’an. Sebagian muncul dalam risalah yang panjang dan mendalam. Di antara mereka adalah al-Jahidz (w. 255/868), Abu al-Hasan al-Jurjani (w. 366/976), al-Kummani (w 384/994), al-khaththabi (w. 388/996), al-Baqillani (w. 403/1013), Abd al-Qahir al-Jurjani (w 470/1078), Fakhr al-Din al-Razi (w. 606/1209), dan al-Zamlakani (w. 651/1253). Penulis pada zaman modern, Musthafa Shadiq al-Rafi’I (w. 1355/1937), Muhammad Ahmad Khalafallah, dan Abd al-Karim al-Khatib telah menyumbang karya-karya terpenting.
Menurut Ismail Raji al-Faruqi dan Louis Lamya al-Faruqi (370-371), terdapat beberapa karakteristik bentuk yang menyebabkan al-Qur’an dianggap sebagai manifestasi sastra agung. Pertama, al-Quran bukan syair bukan pula sajak yang berisi bait-bait matra (yang jumlah, panjang, dan suku kata) dan sajaknya (konsonan dan vokalisasi suku kata terakhir) identik. Bukan pula prosa yang kalimat yang frasenya ditandai dengan sajak di seluruh komposisinya, meski sebagiannya berisi bagian karakteristiknya. Al-Quran tidak diatur oleh keduanya dan oleh peniadaan kefasihan demi disiplin ilmu ini. Al-Quran justru memanfaatkan keduanya dengan leluasa untuk mengembangkan tujuannya. Penggunaan unsur syair dan sajak dalam al-Quran selalu merupakan yang terbaik dan terfasih, namun tak pernah memungkinkan terjadinya kemiripan atau percampuran dengan kedua unsur tersebut. Karena itulah mengapa kategori baru harus ditentukan untuk menggolongkan al-Quran di luar syair dan prosa, yaitu annatsr al mutlaq (Mutlak bebas dari prosa).
Kedua, ayat al-Quran tersusun dari kata dan frase yang sangat sesuai dengan maknanya. Artikulasinya benar dan sempurna. Perubahan bagaimanapun kecilnya, berarti perubahan yang lebih buruk. Tidak satu kata pun boleh dihilangkan atau ditambahkan karena akan merubah makna. Pengurangan dan penambahan akan menyebabkan keanehan pada korpus al-Qur’an yang telah dikenal.
Ketiga, kata-kata dan frase al-Quran untuk satu ayat atau satu bagian ayat sebanding atau kontras sama sekali dengan kata dan frase ayat sebelumnya atau sesudahnya, baik dalam susunan maupun maknanya. Aliran kata-katanya dengan demikian melahirkan tekanan dan harapan besar, serta ketenangan dan kedamaian. Kualitas komposisi al-Qur’an disebut tawâzun atau keseimbangan yang berlaku dalam bentuk maupun dalam kandungan teks.
Keempat, kata dan frase al-Quran mengungkapkan makna terkaya dan terkuat dalam bentuk tersingkat, tidak bertele-tele dan tidak ada kata yang berlebihan. Penguraian sendiri kata-kata dari sebuah frase, kalimat, atau ayat memerlukan lebih banyak kata dan selalu diulang, dibuat-buat dan bertele-tele. Walaupun keringkasan bukan prinsip mutlak yang dapat dilakukan di setiap kesempatan. Terdapat contoh-contoh dalam al-Qur’an di mana repetisi (pengulangan) dengan maksud dan intensi yang berbeda. Untuk hal yang menyangkut peringkasan (I’jâz) tidak memerlukan justifikasi atau alasan, dan inilah aturan umum prosa al-Qur’an.
Kelima, tamsil dan kiasan al-Quran, konjungsi dan disjungsi konsep dan petunjuknya, mengandung daya tarik. Tamsil dan kiasan ini menimbulkan imajinasi yang begitu besar kekuatannya, sehingga membuat terengah-engah karena terguncang dan terpesona. Untuk kualitas al-Quran yang unik ini, ahli estetika sastra Arab menciptakan istilah badi’ (kreatif secara sublim) dan menyebutnya dengan frase dan ungkapan al-Qur’an.
Keenam, komposisi al-Quran selalu tepat, terjalin baik, disampaikan dengan benar, seperti karya seni yang sempurna mutlak. Aliran dan susunannya sama sekali bebas kendala atau kelemahan-kelemahan. Banyak contoh dimana sebuah kata atau seluruh frase hilang namun maknanya selalu jelas meski tidak lengkap. Kata atau frase yang hilang dihapuskan dengan sengaja untuk menyampaikan kesadaran dengan lebih rapih.
Ketujuh, gaya al-Quran kuat, empati dan tegas, juga lancar dan halus. Pembaca dapat merasakannya jatuh menimpa dirinya seperti batu karang atau dengan kelembutan yang luar biasa. Inilah yang disebut husn al-iqa (keindahan yang menimpa kesadaran). Apakah ia berbisik seperti aliran yang tenang, menghantam seprti aliran deras, atau melompat dan menerjang dengan cepat seperti serbuan pasukan berkuda yang pasti iqâ-nya selalu sempurna.
Kedelapan, komposisi al-Quran tidak mempunyai struktur dalam pengertian umum. Komposisi al-Quran menggabungkan bentuk bentuk sekarang, lampau, akan datang, dan kalimat perintah dalam halaman yang sama. Komposisi al-Quran bergerak dari pembicaraan orang ketiga yang bersifat melaporkan kepada orang kedua yang menerimanya. Dari deskriptif ke normatif, dari pertanyaan ke seruan dan perintah. Komposisi al-Qur’an berulang, meskipun dari setiap pengulangannya terkandung pesan yang berbeda. Teks al-Qur;an bukan disusun per-topik atau kronologi, karena tujuannya bukan analisis sistematis dan laporan atau sejarah. Teks al-Qur’an melampaui sastra, yang man setiap frase, ayat, kelompok ayat (perikop), atau surah membentuk unit otonom, yang lengkap, dan unit-unitnya bersambung atau berkaitan seriatim. Perubahan tekanan dan perasaan secara mendadak menimbulkan pengaruh kuat pada imajinasi. Perubahan ini memaksa pemahaman untuk bergerak dari penerimaan ke partisipasi ke penilaian yang selalu tegas, yang selaras dengan al-Qur’an. Pengulangannya tidak pernah berlebihan, karena pelajaran baru yang berdasarkan aspek baru dari kejadian yang disudah diketahui diajarkan dan ditekankan. Tidak ada naratif al-Qur’an yang diberikan secara informasi, tetapi lebih menekankan aspek performatifnnya. Agaknya, dengan asumsi keakraban pembacanya dengan garis besar kisah atau kejadian, al-Qur’an memanfaatkan keakraban ini sebagai media (penyampai) pelajaran baru yang akan ditanamkan ke benar pendengarnya. Akhirnya, aliran berita, deskripsi, uraian, dan pelajaran al-Qur’an yang kontinu mencoba meyakinkan dan membujuk lewat keindahan dan kekuatan frase, ayat, kelompok ayat (perikop), dan kelompok suratnya, Seseorang dengan kemampuan bahasa Arab yang memenuhi syarat mungkin saja dapat menolak seruan ayat-ayat al-Qur’an itu. Namun, tak seorang pun mampu menolak seruan yang keluar dari aliran yang tidak terbatas. Aliran al-Qur’an ini melahirkan momentum yang mengalahkan sikap keras kepada para pendengarnya, kepicikan pendengarnya dengan serangan yang beraneka ragam, dan pada akhirnya membawa pendengarnya ke tujuan al-Qur’an.
2. Nilai Sastrawi Esensi (substansi) al-Qur'an
Menurut Ismail Raji al-Faruqi dan Louis Lamya al-Faruqi (1998:372) keagungan pesan al-Qur’an terungkap dalam banyak cara. Pertama, al-Qur’an menegaskan bahwa akal sehat dan nalar sebagai sikap ideal pikiran manusia. Al-Qur’an mengajarkan kebebasan dari kontradiksi, ketidaklogisan dan ambiguitas, serta membedakan kebenaran dari paradoks, mitos, dan kekaburan. Al-Qur’an tidak mengenal kepausan dan kekuasaan gereja yang memaksakan pendapat sewenang-wenang atau fatwa dogmatis. Terkecuali berkaitan dengan ketentuan ibadah, kandungan al-Qur’an selaras dengan nalar, mengandung dasar-dasar penalaran dan kebenaran. Al-Qur’an tidak memberikan prioritas baik kepada wahyu maupun kepada nalar. Al-Qur’an justeru menyatakan kesetaraan bagi keduanya, menjelaskan semua ketidaksesuaian antara keduanya baik sebagai kegagalan untuk memahami wahyu atau sebagai kekeliruan dalam proses nalar. Karena itu sikap al-Qur’an bersifat optimis sejauh menyangkut kapasitas pengetahuan manusia. Menurut al-Qur’an, kebenaran ada dan dapat diketahui; kepalsuan tidak pernah berakhir, tetapi selalud apat diatasi dengan pengetahuan yang lebih baik. Islam mengatakan bahawa kapasitas untuk mengetahui kebenaran ini ada pada semua manusia, dan menegaskanya sebagai dasar universalisme Islam. Islam menolak penggolongan manusia yang membeda-bedakan kapasitas atau hubungan manusia dengan Tuhan, Pencipta manusia, berdasarkan geneologis.
Menurut Ismail Raji al-Faruqi dan Louis Lamya al-Faruqi (1998:372) keagungan pesan al-Qur’an terungkap dalam banyak cara. Pertama, al-Qur’an menegaskan bahwa akal sehat dan nalar sebagai sikap ideal pikiran manusia. Al-Qur’an mengajarkan kebebasan dari kontradiksi, ketidaklogisan dan ambiguitas, serta membedakan kebenaran dari paradoks, mitos, dan kekaburan. Al-Qur’an tidak mengenal kepausan dan kekuasaan gereja yang memaksakan pendapat sewenang-wenang atau fatwa dogmatis. Terkecuali berkaitan dengan ketentuan ibadah, kandungan al-Qur’an selaras dengan nalar, mengandung dasar-dasar penalaran dan kebenaran. Al-Qur’an tidak memberikan prioritas baik kepada wahyu maupun kepada nalar. Al-Qur’an justeru menyatakan kesetaraan bagi keduanya, menjelaskan semua ketidaksesuaian antara keduanya baik sebagai kegagalan untuk memahami wahyu atau sebagai kekeliruan dalam proses nalar. Karena itu sikap al-Qur’an bersifat optimis sejauh menyangkut kapasitas pengetahuan manusia. Menurut al-Qur’an, kebenaran ada dan dapat diketahui; kepalsuan tidak pernah berakhir, tetapi selalud apat diatasi dengan pengetahuan yang lebih baik. Islam mengatakan bahawa kapasitas untuk mengetahui kebenaran ini ada pada semua manusia, dan menegaskanya sebagai dasar universalisme Islam. Islam menolak penggolongan manusia yang membeda-bedakan kapasitas atau hubungan manusia dengan Tuhan, Pencipta manusia, berdasarkan geneologis.
Kedua, al-Qur’an menyebut bahwa manusia telah diciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya, yang bebas dari berbagai kesulitan yang di luar kemampuan manusia. Al-Qur’an memandang manusia sebagai makhluk yang mampu menjalankan fungsinya dan mendefinisikan fungsi itu sebagai khalifah Allah (wakil Allah) di muka bumi sekaligus abd Allah. Al-Qur’an tidak mendewakan manusia, dan juga tidak memandangnya sebagai ukuran segala sesuatu, karena akan jatuh pada sikap berlebih-lebihan. Al-Qur’an justeru menegaskan bahwa manusia adalah tujuan penciptaan, mahkota penciptaan, dan prestasi moralnya sebagai tujuan akhir dari semua kehidupan dan kematian. Untuk tujuan ini, al-Qur’an memandang makhluk lain, termasuk bumi, matahari, bintang, dan semuanya, tunduk kepada manusia. Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia mempunyai kebebasan tidak terbatas dan memberi kesempatan kepada manusia untuk memanfaatkan segala yang ada. Tetapi semua itu disertai tanggung jawab moral yang harus dipikul manusia. Manusia akan dinilai berdasarkan kepatuhannya kepada hukum moral. Pribadi kehidupan dan penilaian intrinsik manusia didasarkan pada integritas, keikhlasan, dan kesucian manusia. Semua ini akhirnya akan bernilai karena kehendak Tuhan, karena perintah-Nya merupakan hukum moral dan berada di atas manusia dan menentukan krtiteria nilai manusia. Dengan kriteria dan aturan yang jelas ini, al-Qur’an menegaskan bahwa tidak akan ada konflik antara manusia dengan Tuhan, atau manusia dengan alam.
Ketiga, al-Qur’an memberi guide lines dan mendorong proses kehidupan dan memandang penolakan terhadap proses kehidupan sebagai tanda kelemahan moralitas. Di dalam proses tersebut, pemenuhan kebutuhan biologis, psikologis, kedamaian, kenyamanan, prestise, kekayaan, keabadian, dan lainnya, merupakan kecendrungan yang ditanamkan Tuhan ke dalam diri manusia untuk dipenuhi, bukan ditentang. Karunia Tuhan dalam alam harus dimiliki dan dinikmati, bukan ditolak. Sejarah bukan untuk diserahkan kepada kaisar atau nasib, tetapi dibentuk dan diarahkan oleh manusia menuju kesempurnaan moral, kebahagiaan duniawi, dan kebahagiaan ukhrawi. Untuk mencegah pelecehan terhadap dunia karena harapan manusia akan adanya kebangkitan kembali atau ketakutannya akan kiamat, al-Qur’an menekankan bahwa dunia hanyalah “dunia”. Al-Qur’an menegaskan bahwa dunia harus diatur oleh manusia berdasarkan aturan Tuhan, seakan-akan dunia ini abadi. Al-Qur’an menegaskan bahwa “akhirat” dengan surga dan nerakanya, bukanlah pengganti dunia ini, sesuatu yang mengimbangi kesengsaraan dunia ini. Akhirat hanyalah penilaian dan perwujudan penilaian—surga yang indah bagi manusia yang patuh pada aturan Tuhan dan neraka bagi manusia yang berprilaku sebaliknya. Oleh karena itu, prilaku di dunia harus seimbang dan merupakan aktivitas investasi untuk ukhrawi. Menghiasi dunia dengan kebaikan ibarat menata akhiratnya sendiri. Menata bumi berarti menjadikan bumi sebagai taman yang dipenuhi dengan orang-orang yang kuat dan sehat, berilmu, ikhlas, dan memiliki komitmen moral yang kuat.
Di dunia Arab, pada masa selanjutnya, al-Quran mempengaruhi sastra Kristen dan Yahudi. Sastra bahasa-bahasa Al-Quran merefleksikan semua perubahan dan ditransformasikan ke dalam sastra Islam. Dalam banyak kasus (misal, Melayu, Turki, Hausa, Sawahili), bahasa-bahasa ini semata-mata verbal, dan tak memiliki sastra tertulisnya. Islam memberikan abjad kepada mereka, menjadikannya mewarisi warisan besar sastra Arab, menghubungkannya dengan arus intelektual dunia. Islam menciptakan bagi mereka sastra baru dalam bahasa yang terislamisasi, dan menjadikan penulis, pemikir, oratornya terkenal karena kreativitas dan keunggulan sastra.
Al-Hadits: Representasi Keindahan Style Tuturan Rasulullah
Kehidupan nabi Muhammad juga menghasilkan sumber-sumber sastra tersendiri, atau yang lebih dikenal dengan hadits. Hadits merupakan suatu kumpulan dari perkataan dan perbuatan nabi. Nabi Muhammad merupakan sastrawan, meskipun tidak begitu muncul karya sastra berupa tulisan, namun perlu diketahui bahwa sastra tidak hanya dalam bentuk karya tulisan, melainkan tulisan. Nabi Muhammad menyebarkan Islam dengan cara berdakwah, secara tidak langsung upaya dakwah yang dilakukannya melalui pidato (act speech) yang sedikit banyak memerlukan gaya retorika dalam pidatonya untuk membujuk atau mempengaruhi para mustami. Gaya retorika memerlukan estetika tutur bahasa memiliki kekuatan pengaruh yang cukup tinggi, ini yang menjadi karya sastra sang Nabi.
Kehidupan nabi Muhammad juga menghasilkan sumber-sumber sastra tersendiri, atau yang lebih dikenal dengan hadits. Hadits merupakan suatu kumpulan dari perkataan dan perbuatan nabi. Nabi Muhammad merupakan sastrawan, meskipun tidak begitu muncul karya sastra berupa tulisan, namun perlu diketahui bahwa sastra tidak hanya dalam bentuk karya tulisan, melainkan tulisan. Nabi Muhammad menyebarkan Islam dengan cara berdakwah, secara tidak langsung upaya dakwah yang dilakukannya melalui pidato (act speech) yang sedikit banyak memerlukan gaya retorika dalam pidatonya untuk membujuk atau mempengaruhi para mustami. Gaya retorika memerlukan estetika tutur bahasa memiliki kekuatan pengaruh yang cukup tinggi, ini yang menjadi karya sastra sang Nabi.
Hadis disaring dan dihimpun dalam enam kitab,, hadis mewariskan—bersama risalah, pesan, dan khutbah Nabi—gaya Nabi. Sekalipun pribadi, gaya ini benar-benar akrab dalam lingkungan luas Arabia dan aristokrasi intelektual Makkah. Prinsip keselarasan gaya dengan seluruh pusaka sastra shadar al-Islam merupakan aturan kritikisme internal yang dipakai ulama hadis untuk menyaring hadis sejati dan hadis palsu.
Hadis, disaring dan dihimpun dalam enam kitab, dan hadis merupakan representasi gaya Nabi. Meskipun sangat pribadi, dan orang lain tidak memilikinya, hanya Nabi---namun, hadis begitu akrab dengan orang Arab, dan aristokrasi intelektual Makkah. Prinsip keselarasan gaya dengan seluruh pusaka sastra merupakan aturan kritisisme internal yang dipakai ulama hadis untuk menyaring hadis sejati dan hadis palsu. Secara umum ulama hadis membagi tiga keabsahan hadis: shahih, baik (hasan), dan lemah (dha’if). Istilah hadis banyak digunakan dalam perjanjian yang dibuat Nabi dan teks yang didiktekannya. Hadis juga digunakan untuk surat atau pesan yang dikirimkan Nabi untuk koresponden jauh baik wilayahnya sendiri atau raja dan kepala wilayah sekitar, dan khutbah yang disampaikan pada kesempatan istimewa. Sebagai contoh yakni teks perjanjian Al-‘Aqabah dan Hudaibiyah.
Syair dan bentuk Sastra Lainnya pada masa Rasulullah
Para sejarawan seni cendererung pada pandangan bahwa pada masa-masa awal datangnya Islam, orang Arab terlalu tribal dan primitif, tanahnya terlalu gersang dan tandus untuk kreasi artistik. Mereka mengatakan bahwa orang-orang Arab mulai menyadari keindahan seni kreatif yang sesuai dengan semangat Islam hanya setelah menaklukan syiria, tepatnya ketika mereka berhubungan dengan Romawi timur. (Hitti, History of Art. Dalam, Menuju Renaisance Islam., (Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 140). H.A.R. Gibb juga membuat catatan yang sama dalam bukunya Modern Trend in Islam. Menurutnya, sumber kehidupan mental kalangan bangsa Arab sebagaimana dikalangan bangsa bangsa-bangsa lain telah di lengkapi oleh imaginasi yang mengekspresikan dirinya ke dalam kreasi artistik. Medium dimana perasaan estetis bangsa Arab menemukan ekspresinya yang paling mengesankan adalah medium bahasa dan perkataan. Orang-orang Arab sudah memiliki bakat dalam tulisan, puisi dan pidato yang bagus dan indah memberikan kemungkinan (probability) kepada mereka sendiri dengan penuh semangat dan dengan mudah untuk pandai pidato dengan secara ekspresif. Seni puisi dan pidato benar-benar merupakan kemampuan mereka. Mereka terbiasa membuat puisi dan lagu-lagu perang yang mengesankan.
1. Sikap Islam terhadap Syair dan Para Penyair
Para sejarawan seni cendererung pada pandangan bahwa pada masa-masa awal datangnya Islam, orang Arab terlalu tribal dan primitif, tanahnya terlalu gersang dan tandus untuk kreasi artistik. Mereka mengatakan bahwa orang-orang Arab mulai menyadari keindahan seni kreatif yang sesuai dengan semangat Islam hanya setelah menaklukan syiria, tepatnya ketika mereka berhubungan dengan Romawi timur. (Hitti, History of Art. Dalam, Menuju Renaisance Islam., (Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 140). H.A.R. Gibb juga membuat catatan yang sama dalam bukunya Modern Trend in Islam. Menurutnya, sumber kehidupan mental kalangan bangsa Arab sebagaimana dikalangan bangsa bangsa-bangsa lain telah di lengkapi oleh imaginasi yang mengekspresikan dirinya ke dalam kreasi artistik. Medium dimana perasaan estetis bangsa Arab menemukan ekspresinya yang paling mengesankan adalah medium bahasa dan perkataan. Orang-orang Arab sudah memiliki bakat dalam tulisan, puisi dan pidato yang bagus dan indah memberikan kemungkinan (probability) kepada mereka sendiri dengan penuh semangat dan dengan mudah untuk pandai pidato dengan secara ekspresif. Seni puisi dan pidato benar-benar merupakan kemampuan mereka. Mereka terbiasa membuat puisi dan lagu-lagu perang yang mengesankan.
1. Sikap Islam terhadap Syair dan Para Penyair
Sikap Islam terhadap puisi masih nampak konteroversial dan ini telah berlangsung sejak berabad-abad lamanya sampai saat ini. Al-Quran yang dikutip oleh orang-orang yang sesat dan mengembara di tiap-tiap lembah serta mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya dengan memberikan pengecualian (exception) kepada para penyair yang beriman dan beramal shaleh dan banyak menyebut nama Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kedzaliman (XXVI: 224-227). Al-Quran lebih lanjut mengatakan bahwa Allah tidak mengajarkan syair kepada Nabi Muhammad dan bersyair itu tidak layak baginnya. Apa yang telah diajari adalah sebuah pelajaran dan Al-Quran itu adalah kitab yang memberi penerangan (XXVI: 69).
Jadi jelas dalam perspektif Islam ada jenis penyair pertama adalah penyair yang diridhai oleh Allah arti berdasarkan kaidah-kaidah dari agama, kedua adalah penyair yang tidak diridhai oleh Allah bahkan dilarang dan dikutuk oleh Nabi Muhammad karena bertentangan dengan norma-norma etika. Syair yang dinegasikan Islam terpengaruh oleh perkembangan kebudayaan di jazirah Arab yang membawa mereka kepada gaya hidup hedonis dan materialis sehingga nilai-nilai normatif dan etika pada saat itu diabaikan. Di saat bangsa Arab terlena oleh kenikmatan duniawi maka munculah Muhammad, sosok seorang pemuda Arab yang membawa nilai-nilai kemanusiaan berdasarkan norma-norma Islam dan kaidah-kaidah Al-Qur’an. Seiring perkembangan agama Islam, para penyair Arab melirik akan keindahan syair-syair yang terdapat dalam Al-Qur’an dan menjulukinya sebagai syair hasil karya Muhammad (surat as-Shu’ara 224-227).
Al-Qur’an tidak mengutuk puisi, walaupun Al-Qur’an menyangkal kalau dirinya adalah puisi. Al-Qur’an mengutuk penyair yang menjual bakatnya (QS. 26:224-227). karena kwatir membaca dalam Al-Qur’an adanya kutukan terhadap seluruh kreativitas srtistik termasuk seni sastra, G.E.Von Grunebaum dengan sengaja tidak mempertimbangkan ayat yang mengecualikan pengutukan terhadap penyair yang beriman kepada Allah SWT dan berbuat kebajikan sehingga menyesatkan pembacanya. Nabi sangat peka terhadap keadaan orang Arab yang semangat syairnya cenderung pada permusuhan dan kekerasan. Karena itu, dalam beberapa kasus, Nabi melarang syair, yakni syair yang menyesatkan.
Terhadap syair-syair yang menambah kebijaksanaan dan kebajikan, Nabi memujinya.Pada periode nabi, dan juga pada periode Khulafa Rasyidun (622-720 M), tercatat dua penyair yakni Labid dan Umayyah ibn Abu Salt yang sangat dipuji Nabi karena syair-syair mereka menunjukkan keshalehan dan moralitas, meskipun keduanya tidak beragama Islam.
2. Para Penyair Pada Masa Rasulullah
Setidaknya terdapat tiga penyair di Sisi Rasulullah, yakni a) Hasan ibn Stabit, b) Ka'ab bin ibn Malik, dan c) Abd Allah ibn Rawahah. Ketiganya adalah penyair muslim yang diposisikan dan difungsikan untuk membela Islam melalui karya-karyanya. Mereka memiliki peran masing-masing dalam bentuk dan isi karya-karyanya, namun mempunyai misi dan pesan yang sama, yakni kemudian menimbulkan kecemasan kepada musuh-musuh Islam di Mekkah.
2. Para Penyair Pada Masa Rasulullah
Setidaknya terdapat tiga penyair di Sisi Rasulullah, yakni a) Hasan ibn Stabit, b) Ka'ab bin ibn Malik, dan c) Abd Allah ibn Rawahah. Ketiganya adalah penyair muslim yang diposisikan dan difungsikan untuk membela Islam melalui karya-karyanya. Mereka memiliki peran masing-masing dalam bentuk dan isi karya-karyanya, namun mempunyai misi dan pesan yang sama, yakni kemudian menimbulkan kecemasan kepada musuh-musuh Islam di Mekkah.
- Hasan ibn Tsabit, misalnya, yang hidup di zaman transisi, syair-syairnya dianggap sebagai sumber asli kehidupan nabi Muhammad; Hassan Bin Tsabit lebih dikenal sebagai julukan Syi’rul Rasul (penyairnya Nabi), karena beliau telah mencurahkan segala kepandaiannya untuk membela agama islam. Terutama bila Nabi dan kaum muslimin mendapatkan ejekan dari kaum musyrikin Quraisy. Jika hal itu terjadi, Nabi menyuruh Hassan untuk membalas ejekan itu. Corak syair yang berkembang pada masa pra-Islam telah mengalami perubahan ketika diwahyukannya al-Quran kepada Nabi Muhammad. Masa ini masuk pada periode awal sastra Islam, di mana al-Quran memiliki pengaruh tersendiri dan membawa “atmosfer” pada perkembangan sastra di dunia Islam kelak. [baca selengkapnya dalam http://sastra-muslim.blogspot.com/2011/10/sastrawan-di-sekeliling-nabi.html#more
- Ka’ab ibn Zuhayr pengarang kata-kata pujian kepada Nabi Muhammad dalam “Banat Su’ad” (anak-anak Su'ad) dan Al-Hutayd yang tidak ada bandingnya dalam mengarang satire atau sindiran. Ia masuk Islam ketika terjadi Futuh Makkah (Penaklukan Makkah oleh umat Islam). Sebelumnya Ka'ab bin Zuhayr merupakan penyair yang seringkali menyerang dan melakukan pembunuhan karakter Rasulullah melalui syair-syairnya. Tak sedikit pengikut Rasulullah yang labil kemudian kembali musyrik ketika mendengar syair-syair yang dibuat Ka'ab. Ia berkomplot dengan Musailammah al-Kadzdzab dan Imr al-Qais. Namun, ketika Futuh Makkah, atas kebaikan para sahabat Rasul, terutama Abu Bakar al-Siddiq dan Bujair bin Zuhair (adiknya Ka'ab), Ka'ab bersyahadat di depan Rasulullah, bahkan Rasulullah memberikan sorban (burdah)nya kepada Ka'ab. Masa kemuslimannya dihabiskan Ka'ab untuk menyebarkan dakwah Islam, yang sebagiannya ia sampaikan dalam bentuk sya'ir. Kumpulan sya'ir, yakni Banat Su'ad, terdiri dari 59 puisi yang memesona dan indah dan juga terkenal dengan qasidah burdah. Sebagian syairnya diabadikan oleh kaligrafer terkenal yakni Hasyim Muhammad al-Baghdadi dalam Qawaid al-khat al-'Araby. [Baca selengkapnya pada http://sastra-muslim.blogspot.com/2011/10/kaab-ibn-malik-sastrawan-di-sisi-nabi.html#more
- 'Abd Allah ibn al-Rawahah [baca selengkapnya dalam http://sastra-muslim.blogspot.com/2011/10/abd-allah-ibn-al-rawahah-penyair.html#more
Cileunyi Bandung, 16 Mei 2011
Dadan Rusmana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar