Jumat, 06 Mei 2011

Benarkah Sastra Islam Ada?


Oleh: Matroni el-Moezany*
diunduh pada tanggal 04/05/2011

       Selama ini sastra hanya berkutat pada ranah yang bernuansakan sastra pemberontakan, sastra romantis, seperti setiap minggu di Koran Sindo, setelah saya amati setiap hari Minggu Koran Sindo Pasti edisi sastra khsusnya puisi. Pasti puisi-puisinya romantis yang dimuat. Bahkan puisi romantis tidak ber-roh. Bukannya penulis tidak sejutu dengan puisi semacam itu, tapi bagaimana kita menjaga eksistensi perkembangan sastra yang lebih serius lagi.
     Berbicara mengenai sastra Islam di Indonesia, hampir selalu mengundang polemik. Polemik tersebut bahkan tak beranjak dari hal yang itu-itu juga, yaitu pro dan kontra mengenai apa yang disebut sebagai "
pengkotak-kotakan sastra", serta masalah definisi dan kriteria sastra Islam. Uniknya, pihak yang tidak setuju dengan istilah atau konsep "sastra Islam" justru didominasi oleh kalangan muslim sendiri.
      Begitu pula dengan A. Hasjmy yang memiliki perhatian yang besar terhadap kesusastraan Islam. Ia lebih banyak membahas karya para pengarang hikayat Aceh atau lagi-lagi berhenti pada angkatan Pujangga Baru. Sementara Ali Audah yang juga tertarik di bidang tersebut, lebih sering membahas sastrawan-sastrawan Islam dari Timur Tengah atau Mesir.
      Pembahasan tentang sastra Islam saat ini di Indonesia menjadi sangat minim, kalau boleh dikatakan nyaris tak ada. Mati?. Jangankan pembahasan karya, apa itu sastra Islam saja sampai saat ini masih kabur alias tak ada rujukan yang jelas, baik dari para sastrawan sendiri, kritikus maupun ulama.
      Sebenarnya cukup banyak beberapa sastrawan muslim yang memberi istilah sendiri pada karya sastra yang dibuatnya yang mengarah pada "sastra Islam" Istilah-istilah tersebut berakar pada wacana keimanan atau religiusitas yang dibawanya. Ada yang menyebutnya sastra pencerahan (Danarto), sastra profetik (Kuntowijoyo), sastra sufistik (Abdul Hadi WM), sastra zikir (Taufiq Ismail), sastra terlibat dengan dunia dalam (M. Fudoli Zaini), sastra transenden (Sutardji Calzoum Bachri), dan sebagainya. Namun selain Abdul Hadi WM, tak satu pun yang mengidentikkan penyebutan tersebut dengan sastra Islam, walau sebenarnya hal tersebut, tak bisa dinafikan, merupakan tafsir lain dari sastra Islam.
      Polemik tentang sastra Islam selama ini membuat cukup banyak kalangan bingung dan terus mencari-cari informasi tentang hal tersebut. Apalagi perihal sastra Islam jarang disinggung oleh para sastrawan, kritikus bahkan ulama karena tidak atau belum dianggap sebagai sesuatu yang penting. Padahal dalam konteks Islam, semua yang dilakukan seorang muslim seharusnya merupakan bentuk dari ibadahnya kepada Allah, termasuk dalam berkesenian dan bersastra, sebagaimana yang dikatakan Allah "Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaku.
      Sastra dalam bahasa Islam (Arab) disebut adab. Mungkin di benak kita akan langsung mengkaitkannya dengan kesopanan. Sudah tentu untuk menjadi manusia yang baik kita haruslah beradab. Namun definisi adab dalam sastra jauh lebih besar daripada itu. Menurut Shauqi Dhaif, adab (sastra) adalah karya yang dapat membentuk ke arah kesempurnaan kemanusiaan, yang di dalamnya terkandung ciri estetika dan kebenaran. Dalam Islam, sastra haruslah mendorong hasrat masyarakat untuk menjadi pembaca yang yang baik. Masyarakatlah yang menjadi target utama pemahaman kesusastraan.
     Definisi seni dan sastra Islam menurut Said Hawa dalam bukunya Al-Islam III, adalah seni atau sastra yang berlandaskan kepada akhlak Islam. Senada dengan Said Hawa, menurut Ismail Raja Al Faruqi, Seni Islam adalah seni infiniti (seni ketakterhinggaan), di mana semua bentuk kesenian diakomodir pada keyakinan akan Allah. Ia juga menyatakan bahwa ekspresi dan ajaran Al-Quran merupakan bahan materi terpenting bagi ikonografi seni atau sastra Islam. Dengan demikian seni Islam dapat dikatakan sebagai seni Qur'ani.
    Harun Daud berkata, "Tujuan kesusastraan adalah untuk mendidik dan membantu manusia ke arah pencapaian ilmu yang menyelamatkan. Bukan untuk membentuk makna spekulatif. Sebuah karya sastra atau karya seni dalam Islam adalah alat atau bantuan dan bukannya pengakhiran realita itu sendiri." Sementara menurut Shanon Ahmad bersastra dalam Islam haruslah bertonggakan Islam, yaitu sama seperti beribadah untuk dan karena Allah.
     Dalam Manifes Kebudayaan dan Kesenian Islam 13 Desember 1963 di Jakarta, yang dideklarasikan untuk merespon Lekra dan Manifes Kebudayaan 17 Agustus 1963 para seniman, budayawan muslim beserta para ulama yang dimotori Djamaludin Malik, menyatakan bahwa yang disebut dengan kebudayaan, kesenian (kesusastraan) Islam ialah manifestasi dari rasa, karsa cipta, dan karya manusia muslim dalam mengabdi kepada Allah untuk kehidupan ummat manusia. Seni Islam adalah seni karena Allah untuk umat manusia (l'art par die et l'art pour humanite) yang dihasilkan oleh para seniman muslim bertolak dari ajaran wahyu Ilahi dan fitrah insani.
    Setahun sebelumnya, Majelis Seniman dan Budayawan Islam yang di antaranya terdiri dari Hamka, M. Saleh Suady dan Bahrum Rangkuti dalam bab tentang sikap Islam terhadap kebudayaan dan kesenian mengatakan, bahwa tujuan kebudayaan pada umumnya dan kesenian pada khususnya tidaklah semata bertujuan "seni untuk seni" atau "seni untuk rakyat" tetapi harus diluhurkan menjadi: "seni untuk kebaktian ke hadirat Allah" yang dengan sendirinya mencakup tujuan memajukan kesenian yang bermanfaat lahir batin dan untuk kemanusiaan.
     Karya sastra Islam tidak akan pernah mendeskripsikan hubungan badani, kemolekan tubuh perempuan atau betapa indahnya kemaksiatan, secara vulgar dengan mengatasnamakan seni atau aliran sastra apa pun. Ia juga tak membawa kita pada tasyabbuh bi'l kuffar, apalagi jenjang kemusyrikan. Sastra Islam akan lahir dari mereka yang memiliki ruhiyah Islam yang kuat dan wawasan keislaman yang luas. Penilaian apakah karya tersebut dapat disebut sastra Islam atau tidak bukan dilihat pada karya semata, namun juga dari pribadi pengarang, proses pembuatannya hingga dampaknya pada masyarakat. Sastra Islam bagi pengarangnya adalah suatu pengabdian yang harus dipertanggungjawabkan pada umat dan Allah. Sastra dalam kehidupan seorang muslim atau muslimah pengarang adalah bagian dari ibadah. Tak bisa dipetakan secara tersendiri. Dengan demikian, akhirnya, sastra Islam dan sastra bersumberkan Islam, adalah salah satu alternatif dalam memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia.
      Kita tahu, Allah tak pernah memaksa manusia untuk memeluk Islam. "Laa ikraaha fiddiin" Begitu juga tak ada paksaan bagi para sastrawan muslim sekali pun untuk menulis dengan pola yang sudah digariskan oleh Islam, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam al-Quran maupun sunnah Rasulullah Muhammad saw. Semuanya kembali pada pilihan masing-masing. Sastrawan yang memilih jalan sastra Islam boleh saja menghimbau sastrawan lain untuk mengikuti jejaknya, namun tak boleh memaksakan kehendaknya, seperti apa yang dilakukan para sastrawan yang dahulu tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang memaksa para sastrawan Indonesia untuk menulis dengan memakai ideologi mereka sebagai dasar.
     Sebaliknya, adalah sesuatu yang bijak, bila kita juga menghargai dan menghormati sebagian kalangan sastrawan muslim yang telah memilih sastra Islam sebagai sarana berekspresi sekaligus sarana mereka dalam ber-ammar ma'ruf nahi munkar sebagaimana yang diperintahkan Allah. Mengutip A. Teuw, bagaimana pun, konsep keindahan dan estetika bukan hanya dalam bidang kesusastraan amat berbeda antara kepercayaan Islam dengan kepercayaan Barat sekuler. Sekuler menilai keindahan sebagai freedom of expression, sementara Islam menilai keindahan sebagai sarana untuk menyampaikan kebenaran.

*Penggiat bidang sastra dan budaya kutub dan aktif di Forum Sastra Pesantren Indonesia (FSPI) tinggal di Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar