Oleh: Matroni el-Moezany*
diunduh pada tanggal 04/05/2011
Selama
ini sastra hanya berkutat pada ranah yang bernuansakan sastra
pemberontakan, sastra romantis, seperti setiap minggu di Koran Sindo,
setelah saya amati setiap hari Minggu Koran Sindo Pasti edisi sastra
khsusnya puisi. Pasti puisi-puisinya romantis yang dimuat. Bahkan puisi
romantis tidak ber-roh. Bukannya penulis tidak sejutu dengan puisi
semacam itu, tapi bagaimana kita menjaga eksistensi perkembangan sastra
yang lebih serius lagi.
Berbicara mengenai
sastra Islam di Indonesia, hampir selalu mengundang polemik. Polemik
tersebut bahkan tak beranjak dari hal yang itu-itu juga, yaitu pro dan kontra mengenai apa yang disebut sebagai "
pengkotak-kotakan sastra", serta masalah definisi dan kriteria sastra Islam. Uniknya, pihak yang tidak setuju dengan istilah atau konsep "sastra Islam" justru didominasi oleh kalangan muslim sendiri.
pengkotak-kotakan sastra", serta masalah definisi dan kriteria sastra Islam. Uniknya, pihak yang tidak setuju dengan istilah atau konsep "sastra Islam" justru didominasi oleh kalangan muslim sendiri.
Begitu
pula dengan A. Hasjmy yang memiliki perhatian yang besar terhadap
kesusastraan Islam. Ia lebih banyak membahas karya para pengarang
hikayat Aceh atau lagi-lagi berhenti pada angkatan Pujangga Baru.
Sementara Ali Audah yang juga tertarik di bidang tersebut, lebih sering
membahas sastrawan-sastrawan Islam dari Timur Tengah atau Mesir.
Pembahasan
tentang sastra Islam saat ini di Indonesia menjadi sangat minim, kalau
boleh dikatakan nyaris tak ada. Mati?. Jangankan pembahasan karya, apa
itu sastra Islam saja sampai saat ini masih kabur alias tak ada rujukan
yang jelas, baik dari para sastrawan sendiri, kritikus maupun ulama.
Sebenarnya
cukup banyak beberapa sastrawan muslim yang memberi istilah sendiri
pada karya sastra yang dibuatnya yang mengarah pada "sastra Islam"
Istilah-istilah tersebut berakar pada wacana keimanan atau religiusitas
yang dibawanya. Ada yang menyebutnya sastra pencerahan (Danarto),
sastra profetik (Kuntowijoyo), sastra sufistik (Abdul Hadi WM), sastra
zikir (Taufiq Ismail), sastra terlibat dengan dunia dalam (M. Fudoli
Zaini), sastra transenden (Sutardji Calzoum Bachri), dan sebagainya.
Namun selain Abdul Hadi WM, tak satu pun yang mengidentikkan penyebutan
tersebut dengan sastra Islam, walau sebenarnya hal tersebut, tak bisa
dinafikan, merupakan tafsir lain dari sastra Islam.
Polemik
tentang sastra Islam selama ini membuat cukup banyak kalangan bingung
dan terus mencari-cari informasi tentang hal tersebut. Apalagi perihal
sastra Islam jarang disinggung oleh para sastrawan, kritikus bahkan
ulama karena tidak atau belum dianggap sebagai sesuatu yang penting. Padahal
dalam konteks Islam, semua yang dilakukan seorang muslim seharusnya
merupakan bentuk dari ibadahnya kepada Allah, termasuk dalam berkesenian
dan bersastra, sebagaimana yang dikatakan Allah "Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaku.
Sastra
dalam bahasa Islam (Arab) disebut adab. Mungkin di benak kita akan
langsung mengkaitkannya dengan kesopanan. Sudah tentu untuk menjadi
manusia yang baik kita haruslah beradab. Namun definisi adab dalam
sastra jauh lebih besar daripada itu. Menurut Shauqi Dhaif, adab
(sastra) adalah karya yang dapat membentuk ke arah kesempurnaan
kemanusiaan, yang di dalamnya terkandung ciri estetika dan kebenaran.
Dalam Islam, sastra haruslah mendorong hasrat masyarakat untuk menjadi
pembaca yang yang baik. Masyarakatlah yang menjadi target utama
pemahaman kesusastraan.
Definisi seni dan
sastra Islam menurut Said Hawa dalam bukunya Al-Islam III, adalah seni
atau sastra yang berlandaskan kepada akhlak Islam. Senada dengan Said
Hawa, menurut Ismail Raja Al Faruqi, Seni Islam adalah seni infiniti
(seni ketakterhinggaan), di mana semua bentuk kesenian diakomodir pada
keyakinan akan Allah. Ia juga menyatakan bahwa ekspresi dan ajaran
Al-Quran merupakan bahan materi terpenting bagi ikonografi seni atau
sastra Islam. Dengan demikian seni Islam dapat dikatakan sebagai seni
Qur'ani.
Harun Daud berkata, "Tujuan
kesusastraan adalah untuk mendidik dan membantu manusia ke arah
pencapaian ilmu yang menyelamatkan. Bukan untuk membentuk makna
spekulatif. Sebuah karya sastra atau karya seni dalam Islam adalah alat
atau bantuan dan bukannya pengakhiran realita itu sendiri." Sementara
menurut Shanon Ahmad bersastra dalam Islam haruslah bertonggakan Islam,
yaitu sama seperti beribadah untuk dan karena Allah.
Dalam
Manifes Kebudayaan dan Kesenian Islam 13 Desember 1963 di Jakarta, yang
dideklarasikan untuk merespon Lekra dan Manifes Kebudayaan 17 Agustus
1963 para seniman, budayawan muslim beserta para ulama yang dimotori
Djamaludin Malik, menyatakan bahwa yang disebut dengan kebudayaan,
kesenian (kesusastraan) Islam ialah manifestasi dari rasa, karsa cipta,
dan karya manusia muslim dalam mengabdi kepada Allah untuk kehidupan
ummat manusia. Seni Islam adalah seni karena Allah untuk umat manusia (l'art par die et l'art pour humanite) yang dihasilkan oleh para seniman muslim bertolak dari ajaran wahyu Ilahi dan fitrah insani.
Setahun
sebelumnya, Majelis Seniman dan Budayawan Islam yang di antaranya
terdiri dari Hamka, M. Saleh Suady dan Bahrum Rangkuti dalam bab tentang
sikap Islam terhadap kebudayaan dan kesenian mengatakan, bahwa tujuan
kebudayaan pada umumnya dan kesenian pada khususnya tidaklah semata
bertujuan "seni untuk seni" atau "seni untuk rakyat" tetapi harus diluhurkan menjadi: "seni untuk kebaktian ke hadirat Allah" yang dengan sendirinya mencakup tujuan memajukan kesenian yang bermanfaat lahir batin dan untuk kemanusiaan.
Karya
sastra Islam tidak akan pernah mendeskripsikan hubungan badani,
kemolekan tubuh perempuan atau betapa indahnya kemaksiatan, secara
vulgar dengan mengatasnamakan seni atau aliran sastra apa pun. Ia juga
tak membawa kita pada tasyabbuh bi'l kuffar, apalagi jenjang kemusyrikan. Sastra
Islam akan lahir dari mereka yang memiliki ruhiyah Islam yang kuat dan
wawasan keislaman yang luas. Penilaian apakah karya tersebut dapat
disebut sastra Islam atau tidak bukan dilihat pada karya semata, namun
juga dari pribadi pengarang, proses pembuatannya hingga dampaknya
pada masyarakat. Sastra Islam bagi pengarangnya adalah suatu pengabdian
yang harus dipertanggungjawabkan pada umat dan Allah. Sastra dalam
kehidupan seorang muslim atau muslimah pengarang adalah bagian dari
ibadah. Tak bisa dipetakan secara tersendiri. Dengan
demikian, akhirnya, sastra Islam dan sastra bersumberkan Islam, adalah
salah satu alternatif dalam memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia.
Kita tahu, Allah tak pernah memaksa manusia untuk memeluk Islam. "Laa ikraaha fiddiin"
Begitu juga tak ada paksaan bagi para sastrawan muslim sekali pun untuk
menulis dengan pola yang sudah digariskan oleh Islam, berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam al-Quran maupun sunnah
Rasulullah Muhammad saw. Semuanya kembali pada pilihan masing-masing.
Sastrawan yang memilih jalan sastra Islam boleh saja menghimbau
sastrawan lain untuk mengikuti jejaknya, namun tak boleh memaksakan
kehendaknya, seperti apa yang dilakukan para sastrawan yang dahulu
tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang memaksa para
sastrawan Indonesia untuk menulis dengan memakai ideologi mereka sebagai
dasar.
Sebaliknya, adalah sesuatu yang
bijak, bila kita juga menghargai dan menghormati sebagian kalangan
sastrawan muslim yang telah memilih sastra Islam sebagai sarana
berekspresi sekaligus sarana mereka dalam ber-ammar ma'ruf nahi munkar sebagaimana yang diperintahkan Allah. Mengutip
A. Teuw, bagaimana pun, konsep keindahan dan estetika bukan hanya dalam
bidang kesusastraan amat berbeda antara kepercayaan Islam dengan
kepercayaan Barat sekuler. Sekuler menilai keindahan sebagai freedom of expression, sementara Islam menilai keindahan sebagai sarana untuk menyampaikan kebenaran.
*Penggiat bidang sastra dan budaya kutub dan aktif di Forum Sastra Pesantren Indonesia (FSPI) tinggal di Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar