Prolog
Seorang
penulis menciptakan sebuah karya sastra berlandaskan pada bentuk dan isi yang
pada dasarnya mewakili ide dan tanggapannya terhadap kehidupan dan segala makna
yang ada di dalamnya (C. Brooks dalam Saman, 2001: 45). Sebelum terwujud dalam
sebuah karya sastra, seorang pengarang telah melewati berbagai tahapan yang
mungkin tidak diketahui oleh orang yang jauh dari lingkungannya. Ia mungkin
telah mengembara, melibatkan diri, membaca, menyelidiki, memilih data,
mengasingkan diri, dan lain sebagainya. Karya sastra adalah ungkapan perasaan
dan potret realitas sosial. Sebagai lembaga sosial yang menyuarakan pandangan
dunia pengarangnya, sastra bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat
langsung, tetapi merupakan suatu gagasan, aspirasi, dan perasaan yang dapat
mempersatukan kelompok sosial masyarakat. Bahkan, sastra dapat diposisikan
sebagai dokumen sosio-budaya. Sedangkan ide atau gagasan, pandangan hidup
pengarang yang melatarbelakangi penciptaan suatu karya sastra, menurut Fananie,
disebut dengan tema. Tema dalam sebuah karya sastra menempati posisi yang
sangat penting karena tema merupakan ide pusat yang terdapat dalam karya
sastra.
Ada
banyak tema yang digunakan oleh setiap pengarang dalam mengungkapkan idenya
tersebut. Dari sekian banyak tema tersebut, satu di antaranya adalah tema
perang. Terciptanya karya sastra bertema perang merupakan ketukan yang
terpancar dari hati seorang penulis untuk merekamkan kembali
peristiwa-peristiwa yang pernah dialami atau didengarkannya ke dalam bentuk
realitas yang dianggapnya sesuai serta memiliki kapabilitas oleh proses
penulisannya.
Irak
Sejak
pasca Perang Dunia I tidak sedikit para penulis dan sastrawan menggoreskan
pena-pena mereka untuk menyuarakan kebebasan dan kemerdekaan. Sehingga muncul
para penyair nasionalis seperti Ma'ruf ar-Rusafi, Jamil Sidqi az-Zahawi,
Muhammad Mahdi al-Jawahiri, Badr Syâkir as-Sayyâb, dan Abd al-Wahhab
al-Bayyâtî. Ar-Rusafi yang banyak menulis puisi tentang penderitaan orang-orang
Irak dan perjuangan mereka ke arah kemerdekaan. Jawahiri dalam puisinya juga
menyatakan dengan keras sentimen anti-kolonialis.
Pada
tahun 1960-an sampai 1970-an, Partai Ba'ats mengembangkan kekuatannya untuk
menggiring kehancuran sebuah tradisi budaya yang kaya. Ribuan seniman dan para
penulis terpaksa hidup di pengasingan karena jika tidak, mereka pasti akan
meringkuk dalam jeruji penjara. Dalam kondisi keamanan dan politik yang kurang
menentu pada tahun 1960-an tersebut, di Irak muncul sebuah generasi atau
angkatan baru para penyair Irak yang lebih dikenal dengan sebutan
Generasi/Angkatan 60-an (Jail al-Sittîniyyât) setelah generasinya as-Sayyâb,
al-Bayyâtî, dan kawan-kawannya pudar. (Hamud, tt.). Munculnya generasi tersebut
tak lepas dari kondisi udara sastra di Irak yang mungkin lebih sering diwarnai
oleh agitasi politik dan ideologi yang mengakibatkan timbulnya pergolakan dan
revolusi, sebagaimana yang terjadi pada 1958 dan 1960 sampai pada Revolusi 68
yang disinyalir membawa angin baru pada seni dan budaya dengan diterbitkannya
kembali buku-buku sastra.
Pada
awal masa tersebut hingga akhir tahun 1960-an kebanyakan dari para penulis
kenamaan di Irak cenderung ke arah politik kiri, dan beberapa di antara mereka
dekat dengan Partai Komunis, seperti Badr Syâkir as-Sayyâb. Sebagian besar
mereka hidup dalam kemiskinan, pengembaraan, pengangguran, dan bahkan hanya
tidur-tiduran di kebun, gubuk dengan penuh keterpaksaan tanpa ada sebuah
pilihan lain. Tak diragukan lagi bahwa generasi ini memiliki sebuah ciri tersendiri
yang boleh dikatakan sampai pada taraf keterputusan dengan generasi modern
awal. Angkatan ini terkenal dengan masa-masa kritis dalam himpitan politik yang
sangat sulit hingga sampai pada taraf resignasi. Di antara tokoh yang terkenal
dalam angkatan ini adalah Fâdhil al-‘Azâwî, Sargon Baulus, Jean Dammo, Abd
al-Qâdir al-Janâbî, ‘Abd ar-Rahmân al-Rabî'î, Syarîf al-Rabî'i, dan Shalâh Fâiq
(Hamud, tt.).
Sedangkan
untuk genre prosa, pada fase ini muncul beberapa nama yang cukup dikenal di
tanah airnya, seperti Isma'il Fahd Isma'il, Abdul Malik Nuri, Fu'ad Takerli,
dan Syâkir Khusybak (seorang guru besar Universitas Baghdad). Isma'il Fahd
Isma'il sebagai seorang novelis, telah turut memberikan sumbangan penanya dalam
karya kuartetnya berlatar Irak di tahun 1960-an yang terbit di tahun 1970-an.
Karya kwartet tersebut adalah Kânat as-Samâ' Zarqâ' (1970), al-Mustanqa'ât
adh-Dhau'iyyah (1971), al-Habl (1972), dan adh-Dhifâf al-Ukhrâ (1973).
Pada
22 September 1980, Saddam menyerbu Iran sehingga meletus perang Irak-Iran.
Selama peperangan melawan terhadap Iran ini, secara umum sastra Irak memiliki
dua kecenderungan, yakni kecenderungan sastra propaganda yang didukung oleh
kebijakan budaya dari penguasa yang hanya berfungsi sebagai propaganda dan
mobilisasi; dan kecenderungan sastra perlawanan. Kecenderungan pertama biasanya
dimunculkan oleh corong penguasa, sedangkan kecenderungan kedua biasanya
dimunculkan oleh kelompok exile (yang hidup di pengasingan). Saddam sebagai
corong pemerintahan pada saat itu telah melahirkan sebuah karya sastra berupa
novel berjudul Ibta'ada yâ Syayâthîn! (Enyahlah Wahai Setan-Setan) yang
berlatar belakang sejarah Irak pada zaman Perjanjian Lama dan dikaitkan dengan
perang Irak-Iran. Versi Arab novel ini diterbitkan pada tahun 2001 dan telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Be Done Demons yang telah
dicetak ratusan ribu eksemplar untuk dibagikan secara gratis kepada orang-orang
asing di seluruh Irak, beberapa bulan sebelum AS melakukan invasi (Maret 2003).
Selain itu juga muncul beberapa nama seperti Alia Shimon Ballas (lahir 1930),
Samir Naggash (1938--2004), Salima Salih (lahir 1942), dan Mamduh (lahir 1944).
Ada juga penyair yang lebih muda ‘Adnân ash-Sha'ig (1955). Sebagai seorang
penyair yang hidup pada masa ini, ia telah turut andil bicara melalui
sajak-sajaknya. Penyair kelahiran Kufah 1955 yang karya-karyanya telah
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti bahasa Swedia, Belanda, Iran,
Kurdi, Spanyol, Jerman, Perancis, dan Norwegia ini telah menelurkan karya-karyanya
seperti al-‘Ashâfîr la Tuhibb ar-Rashâsh (1986), dan Kharajtu min al-Harb
Sahwan (1994) (Atho'illah, 2007: 22).
Pada
tahun 1990-an Irak menginvasi Kuwait yang berakibat terjadinya Perang Teluk
antara Irak dan pasukan sekutu pimpinan AS. Karya sastra, terutama puisi, pada
masa ini didominasi oleh kosakata perang seperti kata al-harb (perang),
al-malâji' (kamp pengungsian), al-qitâl (pertempuran), al-khanâdiq (parit),
al-banâdiq (peluru), al-aslihah (senjata), dan kata-kata sejenisnya. Peristiwa
ini telah mendorong lahirnya sebuah antologi puisi bertajuk Qabl ad-Dukhûl
'Alaikum bi an-Nabâ'. Antologi ini memuat 16 penyair termasuk di antaranya yang
terkenal adalah Hasab asy-Syaikh Ja'far, Sami Mahdi, Siham Jabbar, dan Reem
Kubba.
Pada
masa Perang Teluk ini salah seorang penyair Radhi Ja'far juga ikut angkat
bicara menggoreskan sajak-sajak perangnya. Ia telah mengumpulkan karyanya dalam
sebuah antologi bertajuk Ahzan Ibnu Zuraiq (Ballada Ibnu Zuraiq) yang telah
merekam tragedi kemanusiaan di Irak antara tahun 1991-1997. Sebelum tahun itu,
ia jarang menulis puisi-puisi kesedihan kecuali puisi yang digubah saat
kematian ibunya berjudul Bukâ' (Tangisan). Pada masa-masa krisis, Ja'far sempat
melakukan eksodus ke negeri orang, yaitu Damaskus dan Yordania. Selama
pengembaraannya itu, ia sempat menulis belasan sajak. Sajak-sajak itu kemudian
dikumpulkan dengan sajak-sajaknya lainnya yang ditulis sehingga menelurkan
sebuah antologi berjudul Ahzan Ibnu Zuraiq (Ballada Ibnu Zuraiq). Radhi Ja'far
adalah Ibnu Zuraiq[2] di abad ke-21. Ia menjadi seorang musafir yang terlantar
di jalan. Kepiluannya seperti kepiluan Ibnu Zuraiq yang meninggal dunia karena
kedinginan di pinggir kota Grenada beberapa abad yang lampau. Menurutnya, Ibnu
Zuraiq adalah prasasti sejarah atas matinya nurani. Ia adalah korban keangkuhan
(Saerozi, 2003).
Selain
genre puisi, peristiwa Perang Teluk juga telah mendorong diterbitkannya karya
prosa berupa cerpen, yang di antaranya adalah antologi Hîna Yahzan al-Athfal
Tatasâqat ath-Thâ'irât. Antologi tersebut memuat sekitar 24 cerpenis. Di antara
cerpenis tersebut yang patut untuk disebutkan adalah cerpenis Mohamed Khidayyir
yang telah menulis cerpen dengan judul Tahnit. Selain itu ada juga Warid Badr
Al-Salim yang menulis sebuah cerpen berjudul Infijar Dam'a yang di dalamnya
memuat catatan harian 40 hari selama peristiwa Perang Teluk, 16 Januari -- 28
Februari 1991.
Di
bidang drama, pada tahun 1992, melalui pagelaran Festival Drama Arab ke-3 di
Baghdad, Ghanim Hamid menggarap pementasan drama berjudul al-Miftah yang
skenarionya ditulis oleh Yusuf al-Ani (Yousif, 1997). Drama tersebut sebenarnya
sudah ditulisnya sejak lama sekitar tahun 1968, tapi kemudian digarap ulang
dengan menyertakan kejadian-kejadian baru sekitar Perang Teluk yang masih
hangat.
Irak
selama periode 1998-2002 sering terjadi konflik akibat penolakan terhadap
resolusi PBB. Pada periode ini telah lahir beberapa karya puisi yang syarat
dengan kosakata perang, blokade, embargo, dan sejenisnya. Di antara karya-karya
tersebut adalah antologi puisi Dzâlik al-Mathar al-Murr (1998) karya Salâm
Daway, Qathan Aswad (1999) karya Muhammad Salman Muhaisan, Daftar al-Mâ' (2000)
karya Wadî' Syâmikh, Fî ‘A'âlî al-Kalâm (2000) karya Nashîr asy-Syaikh,
al-Barasîm (2001) karya ‘Abd al-Husein Barasîm, Lâ Ahad bi Intidzâri Ahad
(1999), Sa‘âdât Sayyi'ah ash-Shait (2001), karya Jamâl Jâsim Amîn, dan Hiyâd
al-Marâyâ (2001) karya Muhammad Darwîsy ‘Alî.
Pertumpahan
darah di Irak terus berlanjut. Pada tanggal 9 April 2003 Baghdad resmi jatuh ke
tangan Amerika. Kondisi politik dan keamanan yang tidak menentu telah
mempengaruhi perkembangan sastranya. Pada masa-masa invasi tersebut perkembangan
genre puisi bertema perang berkembang lebih cepat, jika dibandingkan dengan
drama dan novel. Hal ini disebabkan karena penulisan drama dan novel
membutuhkan waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengan penulisan puisi.
Novelis
Irak kontemporer, Syakir al-Anbari, menyatakan bahwa ada sejumlah karya besar
di Irak pada masa kontemporer ini, terutama puisi dan novel, yang terbit di
sejumlah surat kabar harian. Mereka kebanyakan berkutat dengan tema-tema
sekitar penderitaan rakyat Irak, pengungsian, dan kejadian pembunuhan. Namun
sayangnya tulisan mereka tidak sampai di sejumlah pembaca Arab. Menurutnya,
para penulis Arab secara umum dan penulis Irak pada khususnya telah gagal
mengungkap peristiwa-peristiwa di Irak. Mereka kebanyakan tidak memahami sifat
dasar kejadian-kejadian yang berlangsung di Irak karena cara berpikir mereka
yang dangkal. Para intelektual Arab, khususnya di Irak, mendekati hal ini
dengan menggunakan sistem dualisme yang naif dan dihadapkan pada pertimbangan
yang hanya berkisar pada "pendudukan dan rakyat". Bagaimanapun, ada
banyak benang kusut dan permasalahan historis yang belum terpecahkan dalam
masyarakat Irak. Penjajah dengan tanpa hati-hati telah memicu munculnya semua
permasalahan yang terpendam.
Dalam
genre puisi, pada tahun 2006 telah terbit antologi puisi dalam bahasa Arab dan
Jerman bertajuk al-‘Audah min al-Harb: Mukhtârât asy-Syi'r al-‘Irâqî al-Jadîd
(Rückkehr aus dem Krieg: Neue Irakische Lyrik). Pokok materi antologi setebal
700 halaman yang terbit di Frankfurt ini merujuk pada semua penyair, seperti:
kehancuran, peperangan, hilangnya hak, dan pengusiran. Ini adalah
pengalaman-pengalaman yang menggambarkan situasi kehidupan di Irak masa-masa
hingga tahun terbit antologi tersebut, meski kebanyakan dari sebagian
penyair-penyairnya tidak lagi hidup di Irak. Antologi tersebut memuat lebih
dari 40 penyair Irak kelahiran antara tahun 1920-an hingga 1970-an, baik yang
berdomisili di Irak maupun di pengasingan seperti di Scandinavia atau Jerman.
Adapun
di bidang drama, di antara yang paling terkemuka adalah Hammam Bagdadi yang
ditulis oleh Jawad al-Asadi. Sedangkan di bidang novel, sebagaimana diakui oleh
Mazlum dan juga al-Anbari, produktivitasnya mengalami perkembangan yang agak
lamban karena untuk menciptakan novel-novel dengan mengangkat tema-tema
peperangan secara serius dan efektif membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Jamil
Siqdi Az-Zahawi (1863-1936) di Irak terkenal sebagai perintis sajak modern dan
seorang penyair tua yang bernada keras dan dikenal sebagai pembela hak-hak wanita
bersama-sama dengan Ma’ruf Ar-Rasafi (1877-1945).
Iran
Iran
(atau Persia) adalah sebuah negara Timur Tengah yang terletak di Asia Barat
Daya. Meski di dalam negeri negara ini telah dikenal sebagai Iran sejak zaman
kuno, hingga tahun 1935 Iran masih dipanggil Persia di dunia Barat. Pada tahun
1959, Mohammad Reza Shah Pahlavi mengumumkan bahwa kedua istilah tersebut boleh
digunakan. Nama Iran adalah sebuah kognat perkataan "Arya" yang
berarti "Tanah Bangsa Arya".
Kebudayaan
Iran telah lama memengaruhi kebudayaan-kebudayaan lain di Timur Tengah dan Asia
Tengah. Malahan, Bahasa Persia merupakan bahasa intelektual selama milenium
kedua Masehi. Kebanyakan hasil tulisan Persia diterjemahkan ke dalam Bahasa
Arab semasa kekholifahan Islam. Pada zaman awal Islam di Persia, kebanyakan
karya Persia ditulis dalam Bahasa Arab. Tetapi, ketika zaman pemerintahan
Umayyah, orang-orang Persia ditindas oleh bangsa Arab. Ini menyebabkan banyak
tokoh intelektual Persia mulai menggunakan bahasa Persia dalam tulisan mereka.
Salah satu karya ini ialah kitab Shahnameh hasil tulisan Ferdowsi, sebuah karya
mengenai sejarah negara Iran.
Dimasa
kontemporer, terdapat cendikiawan Iran yang terkemuka yaitu Ayatullah Khamenei.
Sayid Ali Huseini Khamenei, Pemimpin Besar Revolusi Islam adalah putra almarhum
Hujjatul Islam wal Muslimin Haj Sayid Javad Husaini Khamenei. Beliau lahir pada tanggal 24 Tir 1318 Hijriah
Syamsiah (16 Juli 1939) atau bertepatan dengan tanggal 28 Shafar 1357 Hijriah
di kota suci Mashad. Di antara karya-karya tulisannya adalah “ Taudhihul
Masail”, “Manasik Haj”, dan “Izdiwaj dar Islam”.
Dalam
literatur cerita modern Iran, karya-karya yang terinspirasi dari perang yang
dipaksakan oleh rezim Saddam Hussein telah diangkat dalam cerita, di mana jarak
antara para penulisnya dan medan perang tidak terlalu jauh. Kebanyakan mereka
menyaksikan peristiwa perang dan bahkan hadir di tengah-tengah perang. Puluhan
cerita panjang dan roman serta ratusan cerita pendek merupakan hasil kerja
keras para penulis Iran tentang agresi pasukan Irak di bawah pimpinan Saddam
atau Perang Pertahanan Suci (Perang Irak-Iran).
Albania
Albania
adalah sebuah negara yang terletak di Eropa bagian tenggara. Albania berbatasan
dengan Montenegro di sebelah utara, Serbia (Kosovo) di timur laut, Republik
Makedonia di timur, dan Yunani di selatan. Laut Adriatik terletak di sebelah
barat Albania, sedangkan Laut Ionia di barat daya. Albania di dalam bahasanya
dipanggil Shqipëria, yang berarti Tanah Air Burung Elang. Oleh itu, gambar burung
elang berkepala dua dapat dilihat di benderanya serta emblemnya. Nama
"Albania" pula mungkin berasal dari perkataan Indo-Eropa albh
(putih).
Kalifah
Usmaniyah menguasai Albania antara 1385-1912. Selama masa ini, kebanyakan
penduduk masuk Islam, dan penduduk Albania juga beremigrasi ke Italia, Yunani,
Mesir dan Turki. Walau pengawasannya secara singkat terganggu oleh pergolakan
1443-1478, dipimpin oleh Gjergj Kastrioti Skenderbeg, Khilafah Turki Utsmani
akhirnya menegaskan kembali penguasaan mereka.
Pada
awal abad ke-20, Khilafah Turki Utsmani tak dapat mengendalikan kontrolnya di
sini. Liga Prizren (1878) memperkenalkan gagasan negara kebangsaan Albania dan
menciptakan alfabet Albania modern. Menyusul akhir Perang Balkan I, orang-orang
Albania mengeluarkan Proklamasi Vlore pada 28 November 1912, mendeklarasikan
'kemerdekaan'. Perbatasan Albania ditetapkan oleh Kekuatan Besar pada 1913.
Integritas wilayah Albania ditegaskan di Konferensi Perdamaian Paris pada 1919,
setelah Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson menolak rencana dengan kekuatan
Eropa untuk membagi Albania di antara tetangganya.
Selama
Perang Dunia II, Albania dicaplok pertama kali oleh Italia (1939-43) dan
kemudian oleh Jerman (1943-44). Setelah perang, pemimpin Partai Komunis Enver
Hoxha mengatur melindungi integritas wilayah Albania selama 40 tahun
berikutnya, namun memerlukan harga politik yang sangat mahal dari penduduknya,
yang ditundukkan untuk membersihkan, mengurangi, penindasan hak sipil dan
politik, larangan total pada praktek keagamaan, dan meningkatkan isolasi.
Albania yang setia pada filsafat Stalinis yang keras, akhirnya menarik diri
dari Pakta Warsawa pada 1968 dan menjauhkan diri dari sekutu terakhirnya,
Republik Rakyat Cina pada 1978.
Menyusul
kematian Hoxha pada 1985 dan kemudian kejatuhan komunisme pada 1991, masyarakat
Albania berjuang menanggulangi isolasi dan ketertinggalan sejarahnya. Selama
masa transisi awal, pemerintah Albania memandang ikatan yang lebih dekat dengan
Barat agar memperbaiki keadaan ekonomi dan memperkenalkan reformasi demokrasi
dasar, termasuk sistem multipartai.
Pada
masa kontemporer, di Albania terdapat seorang sastrawan terkemuka bernama
Ismail Kadare lahir dan tumbuh di kota Gjinokaster, Albania. Ia belajar sastra
di University of Tirane dan menghabiskan tiga tahun untuk menyelesaikan pasca
sarjana di Gorky Institute di Moscow. The General adalah novel pertamanya,
dipublikasi sekembalinya ke Albania pada 1962, saat ia duapuluh enam tahun.
Kadare
sering dibandingkan dengan Kafka dan Orwel, tapi ia punya bentuk aseli,
universal sekaligus berakar kuat di negerinya sendiri. Lebih dari empat puluh
tahun Albania hidup di bawah diktator Komunis, Enver Hoxha, terutama cap
kekejian Stalinisme yang bertahan lebih lama disbanding negara Eropa Timur
lain. Kadare menggunakan beragam genre tulisan dan gaya alegori, satir,
penjarakan sejarah, mitologi guna menghindari sensor kejam dan pembalasan
mematikan Hoxha terhadap setiap bentuk pembangkangan. Karyanya adalah kronikel
mengenai dekade-dekade mengerikan kendati kisah-kisahnya sering disituasikan
dalam masa lalu yang jauh dan di negeri-negeri berbeda. Dua dari novel-novel
paling terkenalnya, The Palace of Dreams dan The Pyramid, masing-masing
berlatar masa Kekaisaran Ottoman dan Mesir kuno, sementara The Great Winter dan
The Concert dengan jelas merujuk pada putusnya Hoxha dengan Rusia dibawah
Khrushchev dan dengan China setelah mangkatnya Mao.
Afganistan
Republik
Islam Afganistan (Pashtun/Dari-Parsi: افغانستان,
Afğānistān) adalah sebuah negara di Asia Tengah. Ia kadang-kadang digolongkan
sebagai bagian dari Asia Selatan atau Timur Tengah karena kedekatannya dengan
Plato Iran. Afganistan berbatasan dengan Iran di sebelah barat, Pakistan di
selatan dan timur, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan di utara, dan Republik
Rakyat Cina di ujung timur. Afganistan juga berbatasan dengan Kashmir, wilayah
yang dipersengketakan oleh India dan Pakistan. Afganistan merupakan salah satu
negara termiskin di dunia.
Pada
kurun waktu antara tergulingnya rezim pemerintahan Taliban pada 2001 dan Loya
jirga (sidang majelis Musyawarah Tradisional) tahun 2004, dunia Barat menyebut
negara ini dengan nama Negara Islam Transisi Afganistan. Banyak monumen
bersejarah negara ini rusak dalam perang tahun-tahun terakhir. 2 unit Patung
Buddha Bamiyan yang terkenal di Provinsi Bamiyan dihancurkan Taliban karena
dianggap sebagai lambang agama lain.
Orang
Afganistan dikenal sebagai penunggang kuda. Olahraga yang terkenal seperti
Buzkashi terkenal di sana. Sebelum Taliban memegang kekuasaan, kota Kabul
merupakan tempat tinggal banyak musisi yang ahli dalam musik Afganistan
tradisional dan modern. Kabul pada paruh abad ke-20 sama dengan Wina selama
abad XVIII dan XIX. Afghanistan termasuk Negara konflik. Sastra yang berkembang
pada saat ini banyak menuliskan tentang kebebasan, nasib-nasib rakyat
Afghanistan dan nasib wanita-wanita Afghanistan.
Epilog
Dibalik
gejolak konflik Negara ataupun peperangan, karya sastra tetap menjadi pilihan
dikawasan Asia Tengah untuk mengkritik pemerintahan ataupun untuk mengungkap
hal-hal yang terjadi pada saat itu. Karya sastra itu lahir dan berkembang
ditengah-tengah konflik dan peperangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar