Selasa, 18 Maret 2014

Kompleksitas Konteks Sejarah, Sosial, Budaya Dan Politik Dari Karya Sastra Muslim Di Irak, Iran, Albania, Dan Afghanistan

Prolog
Seorang penulis menciptakan sebuah karya sastra berlandaskan pada bentuk dan isi yang pada dasarnya mewakili ide dan tanggapannya terhadap kehidupan dan segala makna yang ada di dalamnya (C. Brooks dalam Saman, 2001: 45). Sebelum terwujud dalam sebuah karya sastra, seorang pengarang telah melewati berbagai tahapan yang mungkin tidak diketahui oleh orang yang jauh dari lingkungannya. Ia mungkin telah mengembara, melibatkan diri, membaca, menyelidiki, memilih data, mengasingkan diri, dan lain sebagainya. Karya sastra adalah ungkapan perasaan dan potret realitas sosial. Sebagai lembaga sosial yang menyuarakan pandangan dunia pengarangnya, sastra bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi merupakan suatu gagasan, aspirasi, dan perasaan yang dapat mempersatukan kelompok sosial masyarakat. Bahkan, sastra dapat diposisikan sebagai dokumen sosio-budaya. Sedangkan ide atau gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi penciptaan suatu karya sastra, menurut Fananie, disebut dengan tema. Tema dalam sebuah karya sastra menempati posisi yang sangat penting karena tema merupakan ide pusat yang terdapat dalam karya sastra.
Ada banyak tema yang digunakan oleh setiap pengarang dalam mengungkapkan idenya tersebut. Dari sekian banyak tema tersebut, satu di antaranya adalah tema perang. Terciptanya karya sastra bertema perang merupakan ketukan yang terpancar dari hati seorang penulis untuk merekamkan kembali peristiwa-peristiwa yang pernah dialami atau didengarkannya ke dalam bentuk realitas yang dianggapnya sesuai serta memiliki kapabilitas oleh proses penulisannya.


 Irak
Sejak pasca Perang Dunia I tidak sedikit para penulis dan sastrawan menggoreskan pena-pena mereka untuk menyuarakan kebebasan dan kemerdekaan. Sehingga muncul para penyair nasionalis seperti Ma'ruf ar-Rusafi, Jamil Sidqi az-Zahawi, Muhammad Mahdi al-Jawahiri, Badr Syâkir as-Sayyâb, dan Abd al-Wahhab al-Bayyâtî. Ar-Rusafi yang banyak menulis puisi tentang penderitaan orang-orang Irak dan perjuangan mereka ke arah kemerdekaan. Jawahiri dalam puisinya juga menyatakan dengan keras sentimen anti-kolonialis.
Pada tahun 1960-an sampai 1970-an, Partai Ba'ats mengembangkan kekuatannya untuk menggiring kehancuran sebuah tradisi budaya yang kaya. Ribuan seniman dan para penulis terpaksa hidup di pengasingan karena jika tidak, mereka pasti akan meringkuk dalam jeruji penjara. Dalam kondisi keamanan dan politik yang kurang menentu pada tahun 1960-an tersebut, di Irak muncul sebuah generasi atau angkatan baru para penyair Irak yang lebih dikenal dengan sebutan Generasi/Angkatan 60-an (Jail al-Sittîniyyât) setelah generasinya as-Sayyâb, al-Bayyâtî, dan kawan-kawannya pudar. (Hamud, tt.). Munculnya generasi tersebut tak lepas dari kondisi udara sastra di Irak yang mungkin lebih sering diwarnai oleh agitasi politik dan ideologi yang mengakibatkan timbulnya pergolakan dan revolusi, sebagaimana yang terjadi pada 1958 dan 1960 sampai pada Revolusi 68 yang disinyalir membawa angin baru pada seni dan budaya dengan diterbitkannya kembali buku-buku sastra.
Pada awal masa tersebut hingga akhir tahun 1960-an kebanyakan dari para penulis kenamaan di Irak cenderung ke arah politik kiri, dan beberapa di antara mereka dekat dengan Partai Komunis, seperti Badr Syâkir as-Sayyâb. Sebagian besar mereka hidup dalam kemiskinan, pengembaraan, pengangguran, dan bahkan hanya tidur-tiduran di kebun, gubuk dengan penuh keterpaksaan tanpa ada sebuah pilihan lain. Tak diragukan lagi bahwa generasi ini memiliki sebuah ciri tersendiri yang boleh dikatakan sampai pada taraf keterputusan dengan generasi modern awal. Angkatan ini terkenal dengan masa-masa kritis dalam himpitan politik yang sangat sulit hingga sampai pada taraf resignasi. Di antara tokoh yang terkenal dalam angkatan ini adalah Fâdhil al-‘Azâwî, Sargon Baulus, Jean Dammo, Abd al-Qâdir al-Janâbî, ‘Abd ar-Rahmân al-Rabî'î, Syarîf al-Rabî'i, dan Shalâh Fâiq (Hamud, tt.).
Sedangkan untuk genre prosa, pada fase ini muncul beberapa nama yang cukup dikenal di tanah airnya, seperti Isma'il Fahd Isma'il, Abdul Malik Nuri, Fu'ad Takerli, dan Syâkir Khusybak (seorang guru besar Universitas Baghdad). Isma'il Fahd Isma'il sebagai seorang novelis, telah turut memberikan sumbangan penanya dalam karya kuartetnya berlatar Irak di tahun 1960-an yang terbit di tahun 1970-an. Karya kwartet tersebut adalah Kânat as-Samâ' Zarqâ' (1970), al-Mustanqa'ât adh-Dhau'iyyah (1971), al-Habl (1972), dan adh-Dhifâf al-Ukhrâ (1973).
Pada 22 September 1980, Saddam menyerbu Iran sehingga meletus perang Irak-Iran. Selama peperangan melawan terhadap Iran ini, secara umum sastra Irak memiliki dua kecenderungan, yakni kecenderungan sastra propaganda yang didukung oleh kebijakan budaya dari penguasa yang hanya berfungsi sebagai propaganda dan mobilisasi; dan kecenderungan sastra perlawanan. Kecenderungan pertama biasanya dimunculkan oleh corong penguasa, sedangkan kecenderungan kedua biasanya dimunculkan oleh kelompok exile (yang hidup di pengasingan). Saddam sebagai corong pemerintahan pada saat itu telah melahirkan sebuah karya sastra berupa novel berjudul Ibta'ada yâ Syayâthîn! (Enyahlah Wahai Setan-Setan) yang berlatar belakang sejarah Irak pada zaman Perjanjian Lama dan dikaitkan dengan perang Irak-Iran. Versi Arab novel ini diterbitkan pada tahun 2001 dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Be Done Demons yang telah dicetak ratusan ribu eksemplar untuk dibagikan secara gratis kepada orang-orang asing di seluruh Irak, beberapa bulan sebelum AS melakukan invasi (Maret 2003). Selain itu juga muncul beberapa nama seperti Alia Shimon Ballas (lahir 1930), Samir Naggash (1938--2004), Salima Salih (lahir 1942), dan Mamduh (lahir 1944). Ada juga penyair yang lebih muda ‘Adnân ash-Sha'ig (1955). Sebagai seorang penyair yang hidup pada masa ini, ia telah turut andil bicara melalui sajak-sajaknya. Penyair kelahiran Kufah 1955 yang karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti bahasa Swedia, Belanda, Iran, Kurdi, Spanyol, Jerman, Perancis, dan Norwegia ini telah menelurkan karya-karyanya seperti al-‘Ashâfîr la Tuhibb ar-Rashâsh (1986), dan Kharajtu min al-Harb Sahwan (1994) (Atho'illah, 2007: 22).
Pada tahun 1990-an Irak menginvasi Kuwait yang berakibat terjadinya Perang Teluk antara Irak dan pasukan sekutu pimpinan AS. Karya sastra, terutama puisi, pada masa ini didominasi oleh kosakata perang seperti kata al-harb (perang), al-malâji' (kamp pengungsian), al-qitâl (pertempuran), al-khanâdiq (parit), al-banâdiq (peluru), al-aslihah (senjata), dan kata-kata sejenisnya. Peristiwa ini telah mendorong lahirnya sebuah antologi puisi bertajuk Qabl ad-Dukhûl 'Alaikum bi an-Nabâ'. Antologi ini memuat 16 penyair termasuk di antaranya yang terkenal adalah Hasab asy-Syaikh Ja'far, Sami Mahdi, Siham Jabbar, dan Reem Kubba.
Pada masa Perang Teluk ini salah seorang penyair Radhi Ja'far juga ikut angkat bicara menggoreskan sajak-sajak perangnya. Ia telah mengumpulkan karyanya dalam sebuah antologi bertajuk Ahzan Ibnu Zuraiq (Ballada Ibnu Zuraiq) yang telah merekam tragedi kemanusiaan di Irak antara tahun 1991-1997. Sebelum tahun itu, ia jarang menulis puisi-puisi kesedihan kecuali puisi yang digubah saat kematian ibunya berjudul Bukâ' (Tangisan). Pada masa-masa krisis, Ja'far sempat melakukan eksodus ke negeri orang, yaitu Damaskus dan Yordania. Selama pengembaraannya itu, ia sempat menulis belasan sajak. Sajak-sajak itu kemudian dikumpulkan dengan sajak-sajaknya lainnya yang ditulis sehingga menelurkan sebuah antologi berjudul Ahzan Ibnu Zuraiq (Ballada Ibnu Zuraiq). Radhi Ja'far adalah Ibnu Zuraiq[2] di abad ke-21. Ia menjadi seorang musafir yang terlantar di jalan. Kepiluannya seperti kepiluan Ibnu Zuraiq yang meninggal dunia karena kedinginan di pinggir kota Grenada beberapa abad yang lampau. Menurutnya, Ibnu Zuraiq adalah prasasti sejarah atas matinya nurani. Ia adalah korban keangkuhan (Saerozi, 2003).
Selain genre puisi, peristiwa Perang Teluk juga telah mendorong diterbitkannya karya prosa berupa cerpen, yang di antaranya adalah antologi Hîna Yahzan al-Athfal Tatasâqat ath-Thâ'irât. Antologi tersebut memuat sekitar 24 cerpenis. Di antara cerpenis tersebut yang patut untuk disebutkan adalah cerpenis Mohamed Khidayyir yang telah menulis cerpen dengan judul Tahnit. Selain itu ada juga Warid Badr Al-Salim yang menulis sebuah cerpen berjudul Infijar Dam'a yang di dalamnya memuat catatan harian 40 hari selama peristiwa Perang Teluk, 16 Januari -- 28 Februari 1991.
Di bidang drama, pada tahun 1992, melalui pagelaran Festival Drama Arab ke-3 di Baghdad, Ghanim Hamid menggarap pementasan drama berjudul al-Miftah yang skenarionya ditulis oleh Yusuf al-Ani (Yousif, 1997). Drama tersebut sebenarnya sudah ditulisnya sejak lama sekitar tahun 1968, tapi kemudian digarap ulang dengan menyertakan kejadian-kejadian baru sekitar Perang Teluk yang masih hangat.
Irak selama periode 1998-2002 sering terjadi konflik akibat penolakan terhadap resolusi PBB. Pada periode ini telah lahir beberapa karya puisi yang syarat dengan kosakata perang, blokade, embargo, dan sejenisnya. Di antara karya-karya tersebut adalah antologi puisi Dzâlik al-Mathar al-Murr (1998) karya Salâm Daway, Qathan Aswad (1999) karya Muhammad Salman Muhaisan, Daftar al-Mâ' (2000) karya Wadî' Syâmikh, Fî ‘A'âlî al-Kalâm (2000) karya Nashîr asy-Syaikh, al-Barasîm (2001) karya ‘Abd al-Husein Barasîm, Lâ Ahad bi Intidzâri Ahad (1999), Sa‘âdât Sayyi'ah ash-Shait (2001), karya Jamâl Jâsim Amîn, dan Hiyâd al-Marâyâ (2001) karya Muhammad Darwîsy ‘Alî.
Pertumpahan darah di Irak terus berlanjut. Pada tanggal 9 April 2003 Baghdad resmi jatuh ke tangan Amerika. Kondisi politik dan keamanan yang tidak menentu telah mempengaruhi perkembangan sastranya. Pada masa-masa invasi tersebut perkembangan genre puisi bertema perang berkembang lebih cepat, jika dibandingkan dengan drama dan novel. Hal ini disebabkan karena penulisan drama dan novel membutuhkan waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengan penulisan puisi.
Novelis Irak kontemporer, Syakir al-Anbari, menyatakan bahwa ada sejumlah karya besar di Irak pada masa kontemporer ini, terutama puisi dan novel, yang terbit di sejumlah surat kabar harian. Mereka kebanyakan berkutat dengan tema-tema sekitar penderitaan rakyat Irak, pengungsian, dan kejadian pembunuhan. Namun sayangnya tulisan mereka tidak sampai di sejumlah pembaca Arab. Menurutnya, para penulis Arab secara umum dan penulis Irak pada khususnya telah gagal mengungkap peristiwa-peristiwa di Irak. Mereka kebanyakan tidak memahami sifat dasar kejadian-kejadian yang berlangsung di Irak karena cara berpikir mereka yang dangkal. Para intelektual Arab, khususnya di Irak, mendekati hal ini dengan menggunakan sistem dualisme yang naif dan dihadapkan pada pertimbangan yang hanya berkisar pada "pendudukan dan rakyat". Bagaimanapun, ada banyak benang kusut dan permasalahan historis yang belum terpecahkan dalam masyarakat Irak. Penjajah dengan tanpa hati-hati telah memicu munculnya semua permasalahan yang terpendam.
Dalam genre puisi, pada tahun 2006 telah terbit antologi puisi dalam bahasa Arab dan Jerman bertajuk al-‘Audah min al-Harb: Mukhtârât asy-Syi'r al-‘Irâqî al-Jadîd (Rückkehr aus dem Krieg: Neue Irakische Lyrik). Pokok materi antologi setebal 700 halaman yang terbit di Frankfurt ini merujuk pada semua penyair, seperti: kehancuran, peperangan, hilangnya hak, dan pengusiran. Ini adalah pengalaman-pengalaman yang menggambarkan situasi kehidupan di Irak masa-masa hingga tahun terbit antologi tersebut, meski kebanyakan dari sebagian penyair-penyairnya tidak lagi hidup di Irak. Antologi tersebut memuat lebih dari 40 penyair Irak kelahiran antara tahun 1920-an hingga 1970-an, baik yang berdomisili di Irak maupun di pengasingan seperti di Scandinavia atau Jerman.
Adapun di bidang drama, di antara yang paling terkemuka adalah Hammam Bagdadi yang ditulis oleh Jawad al-Asadi. Sedangkan di bidang novel, sebagaimana diakui oleh Mazlum dan juga al-Anbari, produktivitasnya mengalami perkembangan yang agak lamban karena untuk menciptakan novel-novel dengan mengangkat tema-tema peperangan secara serius dan efektif membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Jamil Siqdi Az-Zahawi (1863-1936) di Irak terkenal sebagai perintis sajak modern dan seorang penyair tua yang bernada keras dan dikenal sebagai pembela hak-hak wanita bersama-sama dengan Ma’ruf Ar-Rasafi (1877-1945).

Iran
Iran (atau Persia) adalah sebuah negara Timur Tengah yang terletak di Asia Barat Daya. Meski di dalam negeri negara ini telah dikenal sebagai Iran sejak zaman kuno, hingga tahun 1935 Iran masih dipanggil Persia di dunia Barat. Pada tahun 1959, Mohammad Reza Shah Pahlavi mengumumkan bahwa kedua istilah tersebut boleh digunakan. Nama Iran adalah sebuah kognat perkataan "Arya" yang berarti "Tanah Bangsa Arya".
Kebudayaan Iran telah lama memengaruhi kebudayaan-kebudayaan lain di Timur Tengah dan Asia Tengah. Malahan, Bahasa Persia merupakan bahasa intelektual selama milenium kedua Masehi. Kebanyakan hasil tulisan Persia diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab semasa kekholifahan Islam. Pada zaman awal Islam di Persia, kebanyakan karya Persia ditulis dalam Bahasa Arab. Tetapi, ketika zaman pemerintahan Umayyah, orang-orang Persia ditindas oleh bangsa Arab. Ini menyebabkan banyak tokoh intelektual Persia mulai menggunakan bahasa Persia dalam tulisan mereka. Salah satu karya ini ialah kitab Shahnameh hasil tulisan Ferdowsi, sebuah karya mengenai sejarah negara Iran.
Dimasa kontemporer, terdapat cendikiawan Iran yang terkemuka yaitu Ayatullah Khamenei. Sayid Ali Huseini Khamenei, Pemimpin Besar Revolusi Islam adalah putra almarhum Hujjatul Islam wal Muslimin Haj Sayid Javad Husaini Khamenei. Beliau  lahir pada tanggal 24 Tir 1318 Hijriah Syamsiah (16 Juli 1939) atau bertepatan dengan tanggal 28 Shafar 1357 Hijriah di kota suci Mashad. Di antara karya-karya tulisannya adalah “ Taudhihul Masail”, “Manasik Haj”, dan “Izdiwaj dar Islam”.
Dalam literatur cerita modern Iran, karya-karya yang terinspirasi dari perang yang dipaksakan oleh rezim Saddam Hussein telah diangkat dalam cerita, di mana jarak antara para penulisnya dan medan perang tidak terlalu jauh. Kebanyakan mereka menyaksikan peristiwa perang dan bahkan hadir di tengah-tengah perang. Puluhan cerita panjang dan roman serta ratusan cerita pendek merupakan hasil kerja keras para penulis Iran tentang agresi pasukan Irak di bawah pimpinan Saddam atau Perang Pertahanan Suci (Perang Irak-Iran).

Albania
Albania adalah sebuah negara yang terletak di Eropa bagian tenggara. Albania berbatasan dengan Montenegro di sebelah utara, Serbia (Kosovo) di timur laut, Republik Makedonia di timur, dan Yunani di selatan. Laut Adriatik terletak di sebelah barat Albania, sedangkan Laut Ionia di barat daya. Albania di dalam bahasanya dipanggil Shqipëria, yang berarti Tanah Air Burung Elang. Oleh itu, gambar burung elang berkepala dua dapat dilihat di benderanya serta emblemnya. Nama "Albania" pula mungkin berasal dari perkataan Indo-Eropa albh (putih).
Kalifah Usmaniyah menguasai Albania antara 1385-1912. Selama masa ini, kebanyakan penduduk masuk Islam, dan penduduk Albania juga beremigrasi ke Italia, Yunani, Mesir dan Turki. Walau pengawasannya secara singkat terganggu oleh pergolakan 1443-1478, dipimpin oleh Gjergj Kastrioti Skenderbeg, Khilafah Turki Utsmani akhirnya menegaskan kembali penguasaan mereka.
Pada awal abad ke-20, Khilafah Turki Utsmani tak dapat mengendalikan kontrolnya di sini. Liga Prizren (1878) memperkenalkan gagasan negara kebangsaan Albania dan menciptakan alfabet Albania modern. Menyusul akhir Perang Balkan I, orang-orang Albania mengeluarkan Proklamasi Vlore pada 28 November 1912, mendeklarasikan 'kemerdekaan'. Perbatasan Albania ditetapkan oleh Kekuatan Besar pada 1913. Integritas wilayah Albania ditegaskan di Konferensi Perdamaian Paris pada 1919, setelah Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson menolak rencana dengan kekuatan Eropa untuk membagi Albania di antara tetangganya.
Selama Perang Dunia II, Albania dicaplok pertama kali oleh Italia (1939-43) dan kemudian oleh Jerman (1943-44). Setelah perang, pemimpin Partai Komunis Enver Hoxha mengatur melindungi integritas wilayah Albania selama 40 tahun berikutnya, namun memerlukan harga politik yang sangat mahal dari penduduknya, yang ditundukkan untuk membersihkan, mengurangi, penindasan hak sipil dan politik, larangan total pada praktek keagamaan, dan meningkatkan isolasi. Albania yang setia pada filsafat Stalinis yang keras, akhirnya menarik diri dari Pakta Warsawa pada 1968 dan menjauhkan diri dari sekutu terakhirnya, Republik Rakyat Cina pada 1978.
Menyusul kematian Hoxha pada 1985 dan kemudian kejatuhan komunisme pada 1991, masyarakat Albania berjuang menanggulangi isolasi dan ketertinggalan sejarahnya. Selama masa transisi awal, pemerintah Albania memandang ikatan yang lebih dekat dengan Barat agar memperbaiki keadaan ekonomi dan memperkenalkan reformasi demokrasi dasar, termasuk sistem multipartai.
Pada masa kontemporer, di Albania terdapat seorang sastrawan terkemuka bernama Ismail Kadare lahir dan tumbuh di kota Gjinokaster, Albania. Ia belajar sastra di University of Tirane dan menghabiskan tiga tahun untuk menyelesaikan pasca sarjana di Gorky Institute di Moscow. The General adalah novel pertamanya, dipublikasi sekembalinya ke Albania pada 1962, saat ia duapuluh enam tahun.
Kadare sering dibandingkan dengan Kafka dan Orwel, tapi ia punya bentuk aseli, universal sekaligus berakar kuat di negerinya sendiri. Lebih dari empat puluh tahun Albania hidup di bawah diktator Komunis, Enver Hoxha, terutama cap kekejian Stalinisme yang bertahan lebih lama disbanding negara Eropa Timur lain. Kadare menggunakan beragam genre tulisan dan gaya alegori, satir, penjarakan sejarah, mitologi guna menghindari sensor kejam dan pembalasan mematikan Hoxha terhadap setiap bentuk pembangkangan. Karyanya adalah kronikel mengenai dekade-dekade mengerikan kendati kisah-kisahnya sering disituasikan dalam masa lalu yang jauh dan di negeri-negeri berbeda. Dua dari novel-novel paling terkenalnya, The Palace of Dreams dan The Pyramid, masing-masing berlatar masa Kekaisaran Ottoman dan Mesir kuno, sementara The Great Winter dan The Concert dengan jelas merujuk pada putusnya Hoxha dengan Rusia dibawah Khrushchev dan dengan China setelah mangkatnya Mao.

Afganistan
Republik Islam Afganistan (Pashtun/Dari-Parsi: افغانستان, Afğānistān) adalah sebuah negara di Asia Tengah. Ia kadang-kadang digolongkan sebagai bagian dari Asia Selatan atau Timur Tengah karena kedekatannya dengan Plato Iran. Afganistan berbatasan dengan Iran di sebelah barat, Pakistan di selatan dan timur, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan di utara, dan Republik Rakyat Cina di ujung timur. Afganistan juga berbatasan dengan Kashmir, wilayah yang dipersengketakan oleh India dan Pakistan. Afganistan merupakan salah satu negara termiskin di dunia.
Pada kurun waktu antara tergulingnya rezim pemerintahan Taliban pada 2001 dan Loya jirga (sidang majelis Musyawarah Tradisional) tahun 2004, dunia Barat menyebut negara ini dengan nama Negara Islam Transisi Afganistan. Banyak monumen bersejarah negara ini rusak dalam perang tahun-tahun terakhir. 2 unit Patung Buddha Bamiyan yang terkenal di Provinsi Bamiyan dihancurkan Taliban karena dianggap sebagai lambang agama lain.
Orang Afganistan dikenal sebagai penunggang kuda. Olahraga yang terkenal seperti Buzkashi terkenal di sana. Sebelum Taliban memegang kekuasaan, kota Kabul merupakan tempat tinggal banyak musisi yang ahli dalam musik Afganistan tradisional dan modern. Kabul pada paruh abad ke-20 sama dengan Wina selama abad XVIII dan XIX. Afghanistan termasuk Negara konflik. Sastra yang berkembang pada saat ini banyak menuliskan tentang kebebasan, nasib-nasib rakyat Afghanistan dan nasib wanita-wanita Afghanistan.

Epilog
Dibalik gejolak konflik Negara ataupun peperangan, karya sastra tetap menjadi pilihan dikawasan Asia Tengah untuk mengkritik pemerintahan ataupun untuk mengungkap hal-hal yang terjadi pada saat itu. Karya sastra itu lahir dan berkembang ditengah-tengah konflik dan peperangan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar