Selasa, 11 Maret 2014

PEREMPUAN DI TITIK NOL KARYA NAWAL EL SAADAWI


Pendahuluan

Karya sastra Muslim di Timur Tengah adalah sebuah karya sastra yang berisi tentang berbagai dimensi kehidupan  masyarakat Muslim di Timur Tengah, mulai dari budaya, tradisi, setting, dan yang terpenting adalah latar belakang pengarang berasal dari Timur Tengah. Ia bersifat realis, tidak bersifat fantasi. Di antara salah satu karya sastra yang lahir di wilayah ini adalah Perempuan di Titik Nol (PTN) karya Nawal el Saadawi.

            Nawal el Saadawi adalah seorang dokter bangsa Mesir. Ia terkenal di seluruh dunia sebagai novelis dan penulis wanita pejuang hak-hak wanita. Dilahirkan di sebuah desa bernama Karf Tahla di tepi sungai Nil, ia memulai prakteknya di daerah pedesaan, kemudian di rumah sakit - rumah sakit di Kairo, dan terakhir menjadi Direktur Kesehatan Masyarakat Mesir.

            Kehadiran Nawal dalam mendobrak ketidakadilan atas perempuan Mesir, menakuti Anwar el Sadat selaku pimpinan Negara pada saat itu. Nawal dianggap membahayakan nasionalis Mesir dengan karya-karyanya yang mencoba menyudutkan budaya patriarki sebagai budaya yang memiliki pengikut terbanyak di Mesir kala itu. 



Mesir Pada Tahun 1970an

            Seperti sudah diketahui sebelumnya, Perempuan di Titik Nol merupakan novel karya Nawal el Saadawi yang lahir pada tahun 1973. Dan pada tahun yang sama Mesir mengalami goncangan dahsyat dari pemerintahan Israel. Mesir dibantu oleh Syria untuk melancarkan serangan-serangan terhadap angkatan bersenjata Israel. Perang pun tidak bisa dihindari, perselisihan antara Mesir dan Israel berlangsung dari 06 Oktober hingga 25 Otktober 1973, oleh karena itu perang tersebut dikenal sebagai Perang Oktober atau Ramadhan atau Perang Yom Kippur. Seperti dalam Perang Atrisi sebelumnya, tujuan negara-negara Arab adalah mendapatkan kembali wilayah yang diduduki oleh Israel sejak Perang 1967.

            Kesombongan orang-orang Israel terhadap bangsa Arab telah menyesatkan bukan hanya dunia melainkan juga diri mereka sendiri. Sebagaimana terbukti kemudian, Israel mengalami salah satu kegagalan intelijen militer paling besar ketika Israel tidak mengantisipasi serangan gabungan Mesir-Syria terhadap pasukan pendudukan Israel pada 6 Oktober 1973. Bulan-bulan sebelum pecahnya perang dipenuhi dengan bualan orang-orang Israel tentang kekuatan Israel dan kelemahan negara-negara Arab.

            Pada April 1973, Sadat secara terbuka memberi peringatan dalam sebuah wawancara: "Semuanya sangat mengendurkan semangat. Pendeknya itu adalah sebuah kegagalan sempurna dan keputusasaan. Setiap pintu yang saya buka dihempaskan di muka saya oleh Israel, dengan restu Amerika. Telah tiba waktunya untuk sebuah kejutan. Segalanya di negeri ini sekarang tengah digerakkan untuk membuka kembali pertempuran yang kini tak terelakkan lagi." Begitu kata Anwar el Sadat dalam wawancara terbukanya.

            Akibat dari peperangan itu tidak hanya dirasakan oleh pemerintahan Mesir saja, melainkan juga berakibat pada organisasi-organisasi kecil yang didirikan oleh rakyat mesir. Pada September 1981, Anwar Sadat mengenakan tindakan represif kepada organisasi pergerakan Islam yang dianggapnya fundamentalis, termasuk organasasi kaum Feminis yang didirikan oleh Nawal el Saadawi yang menurutnya dapat mengganggu stabilitas nasional Mesir. 

Pengaruh Nawal el Sadawi dan Karyanya Terhadap Mesir

            Dari tahun 1973 sampai 1976 Nawal menjadi sorang peneliti perempuan dan neurosis di Fakultas Ain Syams University of Medicine. Hasil penelitiaanya dipublikasikan Perempuan dan Neurosis di Mesir Pada tahun 1976 dengan judul Perempuaan dan Neeurosis, termasuk memasukan  20 study  penelitiaan yang mendalam tentang kasus perempuan di penjara-penjara dan rumah sakit. Novel dan buku-bukunya tentang perempuan (feminisme) memiliki efek yang mendalam pada generasi ke generasi secara berturut-turut baik perempuan muda dan laki-laki selama lima dekade terakhir.

Tidak sebatas itu, El Saadawi juga mengadakan penelitiaan tentang aborsi. ia melakukan penelitiaan tersebut dikarnakan melihat banyak sekali realitas sosial yang sangat steriotip sebagai jawaban dari maraknya tindakan aborsi ilegal perempuan Mesir. hasil penelitiaan ini sangatlah mengejutkan dimana tindakan aborsi marak dilakukan oleh keluarga yang mampu dibanding dengan keluarga yang tidak mampu, presentasi perbandingannya hampir tiga kali lipat. Kesimpulan lain aborsi ini dilakukan oleh perempuan yang belum menikah, dari kalangan perempuan yang belum menikah presentasinya 90 persen berusia sekitar 25-35 tahun dan rata rata mereka sudah memiliki anak satu, dua atau lebih.

            Pada tahun 1972, tulisan pertamanya dalam buku non-fiksi, selalu berjudul tentang Perempuan dan Masalah Seks. Semua karyanya saat itu terkait dengan subjek yang sangat tabu; yakni tentang feminisme, gender, perempuan dan seksualitas, dan juga subyek sensitif, patriarki, budaya, politik dan agama. Nawal El Sa’dawi melihat problem diskriminasi wanita sebagai masalah struktural yang sama peliknya dengan masalah Negara yang kebetulan saat itu sedang bersiap melawan pasukan Israel. Publikasi ini membangkitkan kemarahan otoritas politik dan teologis saat itu, dan Departemen Kesehatan memaksanya untuk memundurkan diri dan memecatnya. Di bawah tekanan yang sama ia kehilangan posisinya sebagai Pemimpin Redaksi sebuah jurnal kesehatan dan sebagai Asisten Sekretaris Jenderal di Asosiasi Medis di Mesir.

            Pada 1973, lahirlah novel yang membuat bulu kuduk merinding, Perempuan di Titik Nol menjadi serangan susulan dari Nawal el Saadawi untuk mengakhiri penindasan terhadap perempuan. Salah satu faktor yang melatar belakangi penulisan novel ‘Perempuan di Titik Nol’ adalah pengalaman Nawal Pada tahun 1969 yang melakukan observasi dan perjalanan ilmiah ke Sudan. Perjalanannya kesudan ini dalam rangka melihat lebih dekat praktek-praktek penyunatan terhadap perempuaan yang dilakukan secara tradisional, menyakitkan dan sangat berbahaya terhadap keselamatan bagi perempuaan itu sendiri.

Melihat praktek-praktek penyunatan terhadap perempuaan tersebut, di Mesir sendiri penyunatan itu dilakukan dengan cara hanya memotong sebagiaan dari klitoris tetapi di Sudan pemotongan tersebut dilakukan pada klitoris, dua bibir luar (labia minora). Akibat dari penyunatan yang tidak mengenal medis itu, banyak dari kaum perempuaan yang terkena infeksi akut atau kronis sehingga mereka tersiksa selama hidupnya. bahkan diantara mereka tidak sedikit yang kehilangan nyawanya sebagai akibat dari cara-cara yang primitif dan tidak manusiawi dalam mengoprasi.

            Pada tahun 1977, ia menerbitkan karya yang paling terkenal, The Hidden Face Hawa, yang meliputi sejumlah topik relatif terhadap wanita Arab seperti agresi terhadap anak-anak perempuan dan pemotongan alat kelamin perempuan, prostitusi, hubungan seksual, perkawinan dan perceraian dan fundamentalisme Islam.

Melihat dari itu semua kasus-kasus diatas bisa terjadi karena sangat berhubungan erat dengan persoalan konsep kepemimpinan dalam keluarga yang patriarki. kepemimpinan keluarga yang diserahkan kepaada kaum laki-laki secara mutlak, ditambah kaum lelaki tersebut tidak memahami konsep gender dan feminimitas dalam keluarga apalagi melihat sosial-kultur kebudayaan arab yang sangat patriarikat juga pemahaman mereka terhadap tafsir teologi agama yang kurang akan melahirkan ketimpangan dan ketidak adilan terhadap kaum perempuaan. Kaum perempuan berada pada pihak yang termarginalkan, tertindas, terkekang sementara kaum lelaki malah melanggengkan kekuasaan penindasan tersebut.

Atas gebrakan yang dilakukan Saadawi dengan memunculkan karya-karyanya termasuk novel Perempuan di Titik Nol, akhirnya pada tahun 1980, sebagai puncak dari perang lama ia berjuang untuk kemerdekaan perempuan Mesir dalam segala aspek, terutama dalam aspek sosial dan intelektual. Semua kegiatan/ekspresi perempuaan telah ditutup, perempuan tidak mempunyai hak dan peranannya dalam membangun negara karena tempatnya hanya dirumah untuk menjadi ibu rumah tangga, perempuaan dipenjarakan di bawah rezim Sadat, atas tuduhan "kejahatan terhadap Negara”. El Saadawi menyatakan "Saya ditangkap karena saya percaya Sadat Dia mengatakan ada demokrasi dan kami memiliki sistem multi-partai dan Anda bisa mengkritik. Jadi saya mulai mengkritik kebijakannya dan saya mendarat di penjara." Begitu kata Nawal el Sadawi. Meskipun dalam penjara, El Saadawi terus melawan penindasan. Dan Pada September 1981, Anwar el Sadat menutup semua organisasi yang didirikan oleh Nawal dan juga organisasi-organisasi lain yang dianggap membahayakan Mesir.

Bahkan setelah dia dibebaskan dari penjara, kehidupan El Saadawi itu terancam oleh orang-orang yang menentang pekerjaannya,  terutama kaum Islam fundamentalis, dan penjaga bersenjata ditempatkan di luar rumahnya di Giza selama beberapa tahun sampai dia meninggalkan negara untuk menjadi profesor tamu di universitas di Amerika Utara .

Konsep Pemikiran Nawal el Saadawi

Sebagai seorang tokoh yang tak kenal lelah dalam memperjuangkan hak-hak perempuaan dan aktivis pergerakan pembebasan kaum perempuaan, El Saadawi bahu membahu untuk mengadvokasikan kepada kaum perempuaan di dunia bahwa  pembebasan kaum perempuan dari patriarki budaya masyarakat dan belenggu sistem sosial yang ada, hanya bisa dilakukan oleh kaum perempuaan itu sendiri. Perempuaan harus kuat di mulai dari pribadinya masing-masing. menurut beliau perempuaan harus bisa terbebaskan dan berani menyikap tabir pikiran mereka, yaitu kesadaran palsu, kesan-kesan minor, dan sikap lemah yang selama ini melekat pada kaum perempuan. Sehingga nantinya akan muncul sebuah kesadaran baru pada diri mereka bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan berarti antara dirinya dan kaum lelaki.

Konsep pemikiran Nawal El Sadaawi tentang feminisme bisa dilihat dari tujuan ia mendirikan organisasi perempuan yang ia dirikan AWSA (Arabic Women's Solidarity Association). menurut asumsinya feminisme adalah penyikapan tabir yang menyelimuti pikiran kaum perempuaan. El Saadawi dalam mengungkapkan pemikirannya tidak jarang harus menolak norma-norma yang telah mapan. bahkan ia berani bersebrangan dengan pemerintahan Mesir dan menjadikannya sebagai oposisinya terhadap segala kebijakan pemerintah, tradisi masyarakat yang bertentangan dengan nalar dan keyakinannya beserta tidak menguntungkan bagi perjuangan kaum perempuan. Tentu itu semua harus dibayar dengan harga mahal dan ada pengorbanannya, ia sering keluar masuk penjara, banyak sekali teror dan ancaman pembunuhan terhadap dirinya. kini El Sadawi menghabiskan sisa hidupnya di Eropa dan Amerika dan sesekali berkunjung ke tanah kelahirannya di Mesir.

Gambaran Penindasan Perempuan Dalam Novel Perempuan di Titik Nol

Novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal el Saadawi bercerita tentang seorang perempuan yang bernama Firdaus dari sel penjaranya, tempat dimana dia menunggu pelaksanaan hukuman matinya. Firdaus di penjara karena telah membunuh seorang lelaki yang bernama Marzouk. Marzouk adalah seorang germo yang memaksa Firdaus untuk menggunakan jasa germonya, padahal Firdaus merasa tidak perlu menggunakan seorang germo untuk profesinya sebagai pelacur. Tentang keperempuanan, kepedihan, kejahatan, kesadisan, serta seksualitas sangatlah kental dalam novel ini. Dalam novel ini banyak sekali kejutan-kejutan yang menggoncangkan perasaan, yang mengandung pula jeritan pedih, protes terhadap perlakuan tidak adil pada perempuan, sebagai yang diderita, dirasakan dan dilihat oleh perempuan itu sendiri.

Berikut adalah salah satu gambaran pelecehan terhadap perempuan, yang digambarkan oleh Firdaus. Ketika seorang lelaki bernama Bayoumi menyelamatkan Firdaus dari jalanan karena meninggalkan rumah suaminya. Tetapi yang ada bukanlah Bayoumi menyelamatkan Firdaus, tetapi pelecehan yang sudah terpendam tercipta lagi, hal tersebut terdapat pada kutipan berikut ini:

“Dia menggigit daging bahu saya dan menggigit buah dada saya beberapa kali, kemudian perut saya. Sambil menggigit berulang-ulang ia berkata:

“Pelacur, perempuan jalang.” Kemudian ia menghina ibu saya dengan kata-kata yang tak sanggup saya ikuti. Kemudian, ketika saya berusaha mengucapkannya, saya tak sanggup. Tetapi setelah malam itu, kata-kata itu seringkali saya dengar Bayoumi, dan kawan-kawan Bayoumi”. (Saadawi, 2004:72-73)



Penutup

       Novel ini beraliran Feminisme yang pada akhirnya mampu mengungkap permasalahan penindasan terhadap perempuan disegala bidang, baik itu politik, kelas sosial ataupun budaya di Mesir. “Perempuan di Titik Nol” merupakan sebuah protes dan kecaman terhadap paham dan system Patriarki untuk semua laki – laki di Mesir. Dan dari sana jugalah permasalahan Gender menjadi terbeberkan sedemikian rupa. Sadaawi dengan pandainya mampu menyampaikan kritik pedas untuk pemerintahan Mesir melalui karya – karyanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar