Selasa, 18 Maret 2014

Bayang-Bayang Hitam, Najib Kailani



Dalam novel ini Najib Kailani mencoba mengungkap nilai-nilai kemanusiaan dari sebuah pergolakan ideology yang terjadi di negeri Ethiopia. Sebuah kegelisahan seorang  Iyasu  yang tidak pernah puas dengan kondisi sekitarnya yang penuh dengan kemunafikan dari para pemuka agama. Sebuah pencarian yang dalam tentang nilai-nilai universal kemanusiaan. Tentang kebebasan beragama, ketenangan, kejujuran, dan tentang agama kebenaran. Pencarian yang akhirnya ia harus terusir dari kekuasaannya karena ia terus berpegang teguh dengan apa yang diyakininya. Dan pada akhirnya pula Ethiopia harus jatuh ke tangan Negara lain, akibat dari ketamakan seorang Tafari, seorang gubernur di salah satu wilayah Ethiopia yang juga seorang kerabat kekaisaran. Karena dia tidak setuju dengan usulan-usulan kaisar muda yang memberikan kebebasan beragama bagi rakyatnya.
Perang Dunia I sudah lama berakhir. Dia telah menjadi bagian dari sejarah. Paling tidak, ia menjadi saksi atas kekalahan Turki melawan Negara-negara sekutu yang menyebabkan negeri tua itu runtuh pada tahun 1924 M. di tangan Sultan Abdul Hamid II Turki mengalami kehancuran yang disebabkan oleh Mustafa Kemal At- Taturk. Namun, jauh sebelum itu ia telah menjadi singa ompong yang hanya mampu menkaut-nakuti orang saja. Banyak pejabatnya yang korup dan sudah tidak memperhatikan rakyatnya. Yang mereka pikirkan hanyalah kesenangan diri dan keluarga masing-masing. Dan rasanya tidak ada yang patut dicontoh dari semua ketamakan itu, dan tidak pula patut untuk dikenang dari semua kepahitan itu selain pelajaran. Dan inilah yang dengan baik ingin diungkap dan diberikan oleh Najib Kailani dari novelnya. Secara tidak langsung, dengan berkaca pada peristiwa-peristiwa di atas Najib Kailani mencoba menggambarkannya dalam novel yang berjudul Bayang-Bayang Hitam.
Nama Ethiopia berasal dari bahasa Yunani yang berarti “wajah-wajah terbakar matahari”, yang diberikan bangsa Yunani kepada orang-orang yang mendiami bagian Timur dari Mesir- termasuk Ethiopia, karena mereka memiliki kulit yang lebih gelap. Sebelumnya Ethiopia dinamai Abbesinia (dari bahasa Arab, berarti campuran – merujuk beragam etnis disana). Pada tahun 1500-an kekaisaran Ethiopia terpecah menjadi beberpa kerajaan kecil, kemudian pada tahun 1889 Manelik II yang menjadi kaisar pada saat itu menyatukan Ethiopia dan menjadikan Addis Ababa sebagai ibukotanya.  Dengan beragam etnis disana, membuat novel ini mau tidak mau harus memberikan pelajaran dalam hubungan social antara etnis yang berbeda, juga dengan sistem pemerintahan kekaisaran yang dianut membuat kebudayaan di dalamnya bahwa rakyat akan sangat patuh terhadap perintah seorang kaisar. Dengan sedikit latar belakang sosial dan kebudayaan di atas, secara tidak langsung berperan penting dalam terlahirnya karya sastra ini. Karena sebagaimana diketahui novel Bayang-Bayang Hitam yang didalamnya menceritakan kehidupan sebuah kaisar, dan perintah kaisar menjadi hal yang harus dipatuhi oleh rakyatnya.
Secara umum tema dalam novel ini mengusung nilai-nilai kemanusiaan yang tertuang dalam perbedaan ideology. Iyasu yang ingin negaranya hidup damai dengan rasa toleransi antar umat beragama yang dijunjung tinggi oleh rakyatnya. Akan tetapi, Tafari yang masih kerabat dengan keluarga kekaisaran menganggap bahwa di suatu Negara tidak bisa berdiri jika di dalamnya terdapat perbedaan agama, dia ingin membuat Ethiopia negara Kristen, sehingga tidak ada agama lain di Ethiopia selain Kristen. Keinginan ini juga bukan hanya keinginan Tafari, seorang gubernur di salah satu wilayah di Ethiopia yang dipimpin kaisar muda Iyasu. Para pendeta gereja di Ethiopia pun berfikir sama seperti Tafari. Sehingga mereka bersama-sama menentang keputusan kaisar muda Iyasu
Keseluruhan latar tempat novel ini berada di Negara Ethiopia, meliputi istana kekaisaran yang berada di ibukota Negara Ethiopia Addis Ababa, dan setiap wilayah Ethiopia secara keseluruhan yang berada di lembah-lembah, pegunungan-pegunungan. Juga sebuah wilayah yang bernama Walelo salah satu wilayah di Ethiopia yang dipimpin oleh seorang gubernur bernama Michael, ayah kaisar muda Iyasu.
Perwatakan tokoh didalamnya secara tidak langsung digambarkan penulis melalui konflik yang runtun ada, dan dalam setiap pergolakan batin pada tokoh masing-masing secara tidak langsung menggambarkan watak tokoh pada novel tersebut. Tokoh-tokoh pada novel ini adalah : (1) Iyasu seorang kaisar Ethiopia sejak tahun 1913; (2) Michael adalah ayah Iyasu, dia seorang muslim yang dipaksa masuk Kristen, Ia adalah gubernur di wilayah Walelo di Ethiopia; (3) Shu Arkos adalah ibu kandung Iyasu, Ia adalah anak dari Manelik kaisar Ethiopia terdahulu; (4) Malvin adalah adik dari Iyasu; (5) Zauditu adalah adik dari Shu Arkos yang berarti bibi dari Iyasu dan Malvin, di akhir-akhir cerita Ia menjadi kaisar yang menggantikan Iyasu karena pada saat itu terjadi perang saudara antara Iyasu dan Tafari, yang mengakibatkan Iyasu harus lengser dari jabatannya; (6) Gugosa adalah suami dari Zauditu sekaligus penguasa wilayah; (7) Tafari adalah suami dari adik Iyasu Malvin dan juga ia penguasa wilayah; dan tokoh lainnya yaitu,  Istri Iyasu yang pertama dan Istri Iyasu yang kedua. Dan juga tukang masak Tafari, para intelejen, dan seorang cardinal di era kepemimpinan Iyasu yaitu Bapak Matheus.
Menurut Freytag diagram plot dimulai dengan exposition – raising action – conflict – climax – dan yang terakhir resolution. Exposition dalam novel ini yaitu ketika Michael ayah Iyasu dan Iyasu dipaksa oleh pendeta Michael untuk memrangi orang-orang Islam yang ada di Negara Ethiopia. Mereka berdua jelas-jelas tidak setuju karena mereka sangat menghargai perbedaan agama di suatu Negara karena itu adalah hak setiap rakyatnya, dan yang lebih penting dari itu Michael dan Iyasu adalah seorang Kristen yang beragama Islam. Kekristenannya adalah sebuah kedok, jauh di lubuk hati mereka Islam tertanam kuat. Pada kenyataannya Michael adalah seorang Islam yang dipaksa memeluk agama Kristen. Karena sudah tidak tahan lagi akan kemunafikan ini, ketika Iyasu menjelajahi setiap sudut negeri Ethiopia untuk menjenguk rakyat-rakyatnya yang berada di pelosok Ia mengumumkan ke-Islamannya, dan itu membuat gempar seluruh negeri terlebih keluarga kekaisaran dan para pendeta di gereja, ini menjadi raising action dalam novel ini. Mendengar keislaman sang kaisar Iyasu yang telah menyebar ke seluruh penjuru Ethiopia membuat para pendeta gereja geram, terutama Tafari adik iparnya. Mereka sangat marah dan akan membuat strategi untuk meruntuhkan Iyasu dari jabatannya. Hingga akhirnya mereka menyerang kekaisaran dan berperang dengan tentara istana kaisar dan para rakyat yang cinta pada kaisar Iyasu. Namun, malangnya istana harus kalah dan Iyasupun lengser dari jabatannya. 
Di atas adalah conflict dalam novel ini. Bukan hanya berperang melawan istana ternyata Tafari dan para pendeta menyandra keluarga istana, Ayah dan Ibu Iyasu juga isterinya. Kekuasaan Iyasu digantikan oleh bibinya Zaidatu, namun ia hanya sebuah symbol karena pada kenyataannya pemerintahan dijalankan oleh Tafari sebagai penguasa wilayah. Karena ketamakannya, Tafari tidak ada satupun orang yang dapat menghalanginya untuk menjadi kaisar istana. Ia meracuni isterinya Malvin, ayah mertuanya Michael, dan ibu Iyasu sudah tidak diketahui dimana rimbanya, Iyasu sendiri sudah bertahun-tahun mendekam di penjara. Zaidaru sang ratu dan suaminya pun mendapat nasib yang sama, mereka harus mati di tanagan Tafari, klimax ini yang coba diusung penulis dalam novelnya. Dan resolution dalam novel ini adalah kematian Iyasu yang dibunuh langsung oleh tentara suruhan Tafari, di mata kepala Tafari sendiri. Namun pada akhirnya, setelah kematian Iyasu Tafari menangis. Ia merasa sangat lemah, ketika dihadapkan kematian Iyasu orang yang sangat ia benci Tafari merasa Iyasu masih tersenyum bahagia.   
Dengan membaca setiap kata dalam novel ini, kita seakan-akan dibawa pada pergolakan batin di setiap tokoh. Novel ini banyak menggunakan pendekatan-pendekatan psikologis, dan secara tidak langsung penulis mengungkap nilai-nilai kemanusiaan yang tanpa kita sadari sering kita lupakan. Penulis dengan baik mengungkapkan sebuah tuntunan kehidupan berpolitik dalam kehidupan kita sehari-hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar