Salah satu jenis karya sastra yang menarik untuk dikaji ialah novel.
Pengkajian terhadap salah satu genre karya satra tersebut dimaksudkan selain
untuk mengungkapkan nilai estetis dari jalinan keterikatan antar unsur
pembangunan karya satra tersebut, juga diharapkan dapat mengambil nilai-nilai
amanat di dalamnya. Nilai-nilai amanat itu merupakan nilai-nilai universal yang
berlaku bagi siswa seperti nilai moral, etika, religi. Nilai-nilai amanat itu tercermin dalam tokoh
cerita, baik melalui deskripsi pikiran, maupun perilaku tokoh.
Novel selain untuk dinikmati juga untuk dipahami
dan di manfaatkan oleh masyarakat. Dari sebuah novel dapat diambil banyak
manfaat. Karya satra (novel) menggambarkan pola pikir masyarakat, perubahan
tingkah laku masyarakat, tata nilai dan bentuk kebudayaan lainnya. Karya sastra
merupakan potret dari segala aspek kehidupan masyarakat. Pengarang menyodorkan
karya satra sebagai alternatif untuk menghadapi permasalahan yang ada mengingat
karya satra erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Hal ini sesuai dengan
asumsi bahwa sastra diciptakan tidak dalam keadaan kekosongan budaya.
Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman
El Shirazy yang dijadikan sebagai bahan pembelajaran ini, kehadirannya
tentu tidak dalam kekosongan budaya. Pengarang tentu saja melihat suatu tata
nilai yang terdapat di dalam masyarakat, kemudian ia menanggapinya
melalui karya sastra. Novel ini sangat ideal untuk bahan pembelajaran karena di
dalam novel Ayat-ayat Cinta pengarang memiliki tujuan yang untuk di
sampaikan kepada pembaca. Novel ini banyak
mengandung pesan dan nasehat luhur. Novel ini tidak mustahil mengandung
nilai-nilai akhlak mulia, nilai-nilai ini dimunculkan lewat perilaku tokoh
utama.
Sebelum memahami novel tersebut,
penulis akan sedikit mengulas biografi dari Habiburrahman El Shirazy sebagai
penulis novel Ayat-ayat Cinta tersebut. lahir di Semarang,
Jawa Tengah,
30 September
1976. Dia sudah mengenal
dunia tulis-menulis sejak anak-anak. Dia belajar menulis mulai di bangku SD.
Dia tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren. Selanjutnya, bakat sastranya terus terasah
saat belajar di Al Azhar University, Kairo, Mesir. Disana, dia banyak mempelajari
karya dan literasi karya ulama terkenal dari berbagai dunia. Karya-karya
fiksinya dinilai dapat membangun jiwa dan menumbuhkan semangat berprestasi
pembaca. Diantara karya-karyanya telah beredar di pasaran salah satunya adalah Ayat-Ayat
Cinta ini yang telah dibuat versi filmnya, 2004.
Namun, sebuah kecelakaan yang terjadi pada 2003 menjadi titik balik
hidupnya. Saat akan pulang ke
rumahnya di Semarang, dia mengalami kecelakaan di Magelang. Kaki kanannya patah
sehingga dia tidak bisa mengajar lagi. Saat sakit itulah, dia menumpahkan waktu
untuk menulis novel Ayat-ayat Cinta. Dia mengaku inspirasi AAC itu berasal dari ayat
Alquran Surat Al-Zuhruf ayat 67. Dalam surat tersebut, Allah SWT berfirman
bahwa orang-orang yang saling mencintai satu sama lain pada hari kiamat akan
bermusuhan, kecuali orang-orang yang bertakwa. Menurutnya, bahwa “Jatuh cinta
dan saling mencintai tetap akan bermusuhan juga pada hari kiamat, kecuali orang
yang bertakwa.” Jadi, hanya cinta yang bertakwa yang tidak mengakibatkan orang
bermusuhan. Itu yang kemudian menjadi renungan dia.
Adapun yang melatar belakangi Habiburrahman El
Shirazy menulis novel Ayat-ayat Cinta itu, dia ingin menulis juga novel
tentang cinta, tapi yang sesuai dengan ajaran Islam dan keinginan untuk ikut
bersaham membentuk carácter building generasi muda bangsa ini, juga keinginan
untuk menyampaikan keindahan Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Dia banyak
mengambil literasi dan rujukan karya ulama terdahulu. Yang menjadi rujukan
adalah karya para ulama dulu. Pedoman menulis dia adalah Alquran.
Sebagai seorang sastrawan,
Habiburrahman El Shirazy tidak akan terlepas untuk menuliskan fenomena-fenomena
yang terjadi kepada dirinya sendiri atau bahkan yang terjadi dalam lingkup
masyarakat yang hidup di sekitarnya. Salah satunya yaitu mengenai latar belakang penulis dimana
penulis tumbuh dan dibesarkan di lingkungan pesantren. Dia pun mengakui bahwa setiap karyanya merupakan
perpaduan antara sastra dan pesantren. Habiburrahman
El Shirazy menuliskan fenomena-fenomena yang ada di sekitarnya ke dalam
karya-karya sastra. Begitupula sebuah novel yang berjudul Ayat-ayat Cinta yang
menceritakan kehidupan seorang pemuda yang bernama Fahri seorang
mahasiwa Universitas Al-Azhar, sebagaimana yang pernah
dialami oleh Habiburrahman. Namun novel Ayat-ayat Cinta tidak
sepenuhnya merupakan pengalaman pribadi penulis, ada beberapa pengalaman
penulis misalnya selama belajar di Kairo yang hadir dalam novel Ayat-ayat
Cinta seperti talaqqi Al-Qur’an, pergi kuliah naik Metro, minum ashir ashab
dan ashir mangga di musim panas, berdebat dengan orang Mesir, juga bertemu
dengan mahasiswa dari Turki.
Berangkat dari biografi Habiburrahman
El Shirazy yang telah dipaparkan di atas. Penulis akan mencoba memahami novel Ayat-ayat
Cinta karya Habiburrahman El Shirazy melalui perspektif sosiologi sastra. Dalam lingkup kajian Sosiologi
Sastra, bahwasannya kritik sastra secara sosiologis dibagi menjadi tiga
klasifikasi, yaitu: Pertama, sosiologi pengarang, yakni
yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain
yang menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya sastra, yakni
mempermasalahkan tentang suatu karya sastra. Yang menjadi pokok kritik adalah
tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau pesan
yang hendak disampaikannya. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang
pembaca dan pengaruh sosial terhadapa masyarakat.
Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Rene
Wellek dan Austin Warren, seorang ahli bernama Ian Watt mengungkapkan hal yang
sama mengenai ruang lingkup sosiologi sastra. Ian Watt menyatakan bahwa dalam
kajian sosiologi sastra terdapat hubungan timbal balik antara sastrawan,
sastra, dan masyarakat. Hal-hal tersebut mencakup ke dalam tiga hal yaitu
konteks sosial pengarang, sastra sebagai “cermin” masyarakat, dan fungsi sosial
sastra.
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba
menganalisis novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dilihat
dari tiga cakupan sosiologi sastra yang diungkapakan Rene Wellek dan Austin
Warren, serta sejalan dengan pendapat Ian Watt.
Hal pertama yang akan
dibahas dari novel di atas adalah kaitannya dengan sosiologi pengarang.
Faktor-faktor sosial yang ada di sekitar pengarang dapat mempengaruhi kehidupan
pengarang sebagai individu yang menjadi bagian dari masyarakat, serta secara
langsung ataupun tidak, faktor-faktor tersebut dapat berpengaruh kepada isi
karya sastra yang dibuat oleh sastrawan itu.
Novel Ayat-ayat Cinta merupakan novel yang menceritakan tentang
tokoh utama bernama Fahri sebagai seorang mahasiswa berasal dari Indonesia yang
kuliah di Universitas Al- Azhar Mesir. Ia tinggal di apartemen milik keluarga
Boutros bersama mahasiswa-mahasiswa asal Indonesia (Rudi dan Saiful). Dalam
kehidupan sehari-hari, Fahri selalu berusaha meneladani Rosulullah saw. Hal ini
tercermin dari perilakunya di apartemen, mereka selalu saling mengingatkan,
saling mendo’akan, tolong menlong. Mereka juga mempunyai tanggung jawab
masing-masing. Fahri sebagai tokoh utama juga meneladani rasul dalam hal
bertetangga dan berinteraksi dengan lawan jenis. Dalam berinteraksi ia selalu mendasarkan diri pada
Al-Qur’an dan Al-Hadist. Dakwah adalah aktivitas keseharian Fahri.
Baginya, dakwah merupakan pekerjaan utama yang sangat mulia yang bisa dilakukan
dimana saja kapan saja. Di ceritakan bagaimana seorang fahri di dalam metro
mengingatkan kepada penumpang untuk menghormati tamu dari negara lain (Amerika
serikat).
Apa yang
diungkapkan oleh Habiburrahman El Shirazy dalam novelnya tersebut, merupakan
sebuah contoh bahwa memang faktor sosial yang di alami oleh si pengarang dapat
berpengaruh terhadap isi karya yang dia tulis. Dalam biografi yang penulis sudah
paparkan di awal bahwa Habiburrahman El Shirazy pernah belajar di Universitas
Al Azhar. Sehingga tidak heran apabila kemudian isi karya yang dia tulispun
berisi tentang apa yang dia ketahui dan dia alami.
Hal kedua yang akan dibahas dari puisi di atas
adalah kaitannya dengan karya sastra sebagai cermin masyarakat. Sering kali
para pengarang atau sastrawan mengangkat fakta-fakta sosial yang ada
disekitarnya sebagai sebagai tema atau isi dalam karya sastra yang mereka buat.
Berdasarkan dari pernyataan di atas, penulis
berpendapat bahwa tema pokok dari novel Ayat-ayat
Cinta yaitu tema cinta dalam arti luas. Seperti terlihat dari judul novel, Ayat-ayat Cinta (sebuah novel pembangun jiwa), maka tema novel ini tak
hanya mengandung tema cinta manusia pada manusia semata, tetapi juga cinta manusia
kepada Tuhan dan rasul-Nya. Dalam novel ini tersirat adanya pengertian cinta
manusia kepada Tuhan yang diwujudkan
dengan cara teguh menjaga keimanan berdasarkan petunjuk-Nya. Selain itu, tema
cinta tersebut menyiratkan adanya pengertian cinta Tuhan kepada manusia yang
diwujudkan dengan diberikannya cobaan kehidupan dan wahyu berupa petunjuk
ayat-ayat al-Quran dan Sunnah Nabi.
Ia memandang bahwa hubungan cinta dengan
lawan jenis itu harus berdasarkan kepada hukum agama yang berlaku,
sehingga tidak seperti apa yang sekarang terjadi terutama di kalangan pemuda
yang sedang dirundung asmara. Menurutnya menjalin hubungan cinta kasih harus
melalui prosedur yang benar, yakni kewajiban untuk menikah antara kedua belah
pihak yang sedang jatuh cinta. Melalui tokoh Fahri ini ini pengarang juga
berpesan supaya umat islam senantiasa menjaga hubungan baik antara hubungan
manusia dengan Allah (hablumminallah) dan hubungan manusia kepada sesama
manusia (hablumminannas).
Karya sastra merupakan sarana untuk menyampaikan
tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan,
moral, agama, maupun tujuan yang lain. Pemanfaatan karya ini berusaha
memaksimalkan keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacanya. Hal
ini terlihat dari fungsinya untuk memberikan pendidikan (ajaran) moral, agama,
maupun fungsi sosial lainnya. Semakin banyak nilai pendidikan moral dan
atau agama yang terdapat dalam karya sastra dan berguna bagi pembacanya, makin
tinggi nilai karya sastra tersebut. Karya satra (novel) diharapkan menjadi
sarana yang cukup efektif untuk menyampaikan tujuan-tujuan tertentu
pengarang kepada pembaca.
Berangkat dari penjelasan di atas, maka hal ketiga
yang akan dibahas dari novel Ayat-ayat Cinta adalah kaitannya dengan fungsi
sosial karya sastra.
Dalam novel ini terdapat nilai-nilai moral, dan
nilai-nilai religius. Misalnya, Habiburrahman El Shirazy sebagai seorang
pengarang ingin mengajak umat Muslim pada kebenaran dengan bahasa yang mudah
diterima. Aspirasi tersebut diekspresikan dalam novel Ayat-ayat Cinta melalui
tema cinta. Penulis novel ini menyampaikan pesan keharmonisan hidup
sebagai umat manusia yang beradab di muka bumi dengan peristiwa ketika Maria,
seorang gadis beragama kristen koptik yang bertetangga baik dengan Fahri dan
teman-temannya menempuh studi di Mesir.
“… Maria berbuat begitu atas nama keluarganya atas
petunjuk ayahnya yang baik hati itu. Dan karena kepala keluarga di rumah ini
adalah aku, maka tiap kali memberi makanan dan minuman atau menyampaikan
sesuatu atas nama keluarganya dan aku dianggap representasi kalian semua. Jadi ini bukan hanya interaksi dua person
saja, tapi dua keluarga. Bahkan lebih besar dari itu, dua bangsa dan dua
penganut keyakinan yang berbeda. …” (Sirazy:2004, 37)
Selain itu Habiburrahman El Shirazy juga mengajak
kepada pembaca untuk saling menghormati kepada tamu-tamu asing yang berkunjung
kesuatu Negara. Hal ini dapat di lihat ketika tokoh Fahri sedang menasehati
penduduk mesir di sebuah metro untuk tetap menghormati tamu asing, sebagaimana
ajaran rasulullah walau orang asing itu merupakan orang kafir sekalipun. Hal
ini terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
“… Ahlu dzimmah adalah semua orang non
muslim yang berada di dalam negara kaum muslimin secara baik-baik, tidak
illegal dengan membayar jizyah dan mentaati peraturan yang ada di dalam
negara itu. Hak mereka sama dengan hak kaum muslimin. Darah dan kehormatan dan
kehormatan mereka sama dengan darah dan kehormatan kaum muslimin. Mereka harus
dijaga dan dilindungi. Tidak boleh disakiti sedikit pun. Dan kalian pasti tahu,
tiga turis Amerika itu masuk ke Mesir secara resmi. Mereka membayar visa. Kalau
tidak percaya silakan lihat saja paspornya. Maka mereka hukumnya sama dengan ahlu
dzimmah. Darah dan kehormatan mereka harus kita lindungi. Itu yang diaajrkan
Rasulullah Saw. …” (Shirazy, 2004: 50)
Dalam memandang kehidupan, dibutuhkan optimisme dan perencanaan yang
matang. Seperti yang
dituliskan oleh penulis seperti berikut.
“…Peta masa depan itu saya buat terus terang saja.
Berangkat dari semangat spiritual ayat suci Al Quran yang saya yakini. Dalam
Ar-Ra’ad ayat sebelas Allah berfirman, Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah
keadaan suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya. Jadi nasib
saya, masa depan saya, mau jadi apa saya, sayalah yang menentukan. Sukses atau
gagalnya saya, sayalah yang menciptakan. Saya sendirilah yang mengarsiteki apa
yang akan saya raih dalam hidup ini.” (Sirazy:2004, 144)
Dari pemaparan di atas, terdapat hubungan antara
latar belakang sosial pengarang dengan karyanya. Pengarang sebagai alumni Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir memposisikan dirinya sebagai dai. Tapi dengan novel Ayat-ayat Cinta pengarang
berhasil menjadi novelis. Selama meramu novel Ayat-ayat Cinta
dengan menonjolnya certia percintaan dengan segala pernak-perniknya pengarang
berhasil menjadi penyair.
Novel Ayat-ayat Cinta karya sebagai
penyalur pendapat pengarang berdasarkan latar belakangnya Karya-karya fiksinya
dinilai dapat membangun jiwa dan menumbuhkan semangat berprestasi pembaca. Novel
sebagai karya sastra inilah yang berhasil memadukan dakwah, tema cinta dan
latar belakang budaya suatu bangsa. Novel ini sangat menyentuh dengan romatisme
yang sangat terasa namun menuntun pembaca untuk tidak cengeng dalam bercinta.
Kodrat keberadaan cinta dalam diri setiap insan itu keniscayaan, tetapi
bagaimana mengolah dan mengarahkannya supaya sesuai dengan yang digariskan.
Novel ini juga menggugah para pelaku percintaan untuk terus tegar menghadapi
cobaan.
- Rene Wellek dan Austin Warren. 1995. Theory of Literature. A Harvest Book, Harcourt, Brace and Company.
- Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Penerbit Pustaka.
- Shirazy, Habiburrahman El. 2004. Ayat-ayat Cinta. Jakarta: Penerbit Republika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar