Minggu, 16 Maret 2014

Memahami Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy Melalui Pendekatan Sosiologi Sastra


          Salah satu jenis karya sastra yang menarik untuk dikaji ialah novel. Pengkajian terhadap salah satu genre karya satra tersebut dimaksudkan selain untuk mengungkapkan nilai estetis dari jalinan keterikatan antar unsur pembangunan karya satra tersebut, juga diharapkan dapat mengambil nilai-nilai amanat di dalamnya. Nilai-nilai amanat itu merupakan nilai-nilai universal yang berlaku bagi siswa seperti nilai moral, etika, religi. Nilai-nilai amanat itu tercermin dalam tokoh cerita, baik melalui deskripsi pikiran, maupun perilaku tokoh.
Novel selain untuk dinikmati juga untuk dipahami dan di manfaatkan oleh masyarakat. Dari sebuah novel dapat diambil banyak manfaat. Karya satra (novel) menggambarkan pola pikir masyarakat, perubahan tingkah laku masyarakat, tata nilai dan bentuk kebudayaan lainnya. Karya sastra merupakan potret dari segala aspek kehidupan masyarakat. Pengarang menyodorkan karya satra sebagai alternatif untuk menghadapi permasalahan yang ada mengingat karya satra erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Hal ini sesuai dengan asumsi bahwa  sastra diciptakan tidak dalam keadaan kekosongan budaya.

Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy yang dijadikan sebagai  bahan pembelajaran ini, kehadirannya tentu tidak dalam kekosongan budaya. Pengarang tentu saja melihat suatu tata nilai yang terdapat di dalam  masyarakat, kemudian  ia menanggapinya melalui karya sastra. Novel ini sangat ideal untuk bahan pembelajaran karena di dalam novel Ayat-ayat Cinta pengarang memiliki tujuan yang untuk di sampaikan  kepada pembaca. Novel ini banyak mengandung pesan dan nasehat luhur. Novel ini tidak mustahil mengandung nilai-nilai akhlak mulia, nilai-nilai ini dimunculkan lewat perilaku tokoh utama.
            Sebelum memahami novel tersebut, penulis akan sedikit mengulas biografi dari Habiburrahman El Shirazy sebagai penulis novel Ayat-ayat Cinta tersebut. lahir di Semarang, Jawa Tengah, 30 September 1976. Dia sudah mengenal dunia tulis-menulis sejak anak-anak. Dia belajar menulis mulai di bangku SD. Dia tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren.  Selanjutnya, bakat sastranya terus terasah saat belajar di Al Azhar University, Kairo, Mesir. Disana, dia banyak mempelajari karya dan literasi karya ulama terkenal dari berbagai dunia. Karya-karya fiksinya dinilai dapat membangun jiwa dan menumbuhkan semangat berprestasi pembaca. Diantara karya-karyanya telah beredar di pasaran salah satunya adalah Ayat-Ayat Cinta ini yang telah dibuat versi filmnya, 2004.
Namun, sebuah kecelakaan yang terjadi pada 2003 menjadi titik balik hidupnya. Saat akan pulang ke rumahnya di Semarang, dia mengalami kecelakaan di Magelang. Kaki kanannya patah sehingga dia tidak bisa mengajar lagi. Saat sakit itulah, dia menumpahkan waktu untuk menulis novel Ayat-ayat Cinta. Dia mengaku inspirasi AAC itu berasal dari ayat Alquran Surat Al-Zuhruf ayat 67. Dalam surat tersebut, Allah SWT berfirman bahwa orang-orang yang saling mencintai satu sama lain pada hari kiamat akan bermusuhan, kecuali orang-orang yang bertakwa. Menurutnya, bahwa “Jatuh cinta dan saling mencintai tetap akan bermusuhan juga pada hari kiamat, kecuali orang yang bertakwa.” Jadi, hanya cinta yang bertakwa yang tidak mengakibatkan orang bermusuhan. Itu yang kemudian menjadi renungan dia.
Adapun yang melatar belakangi Habiburrahman El Shirazy menulis novel Ayat-ayat Cinta itu, dia ingin menulis juga novel tentang cinta, tapi yang sesuai dengan ajaran Islam dan keinginan untuk ikut bersaham membentuk carácter building generasi muda bangsa ini, juga keinginan untuk menyampaikan keindahan Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Dia banyak mengambil literasi dan rujukan karya ulama terdahulu. Yang menjadi rujukan adalah karya para ulama dulu. Pedoman menulis dia adalah Alquran.
Sebagai seorang sastrawan, Habiburrahman El Shirazy tidak akan terlepas untuk menuliskan fenomena-fenomena yang terjadi kepada dirinya sendiri atau bahkan yang terjadi dalam lingkup masyarakat yang hidup di sekitarnya. Salah satunya  yaitu mengenai latar belakang penulis dimana penulis tumbuh dan dibesarkan di lingkungan pesantren. Dia pun mengakui bahwa setiap karyanya merupakan perpaduan antara sastra dan pesantren. Habiburrahman El Shirazy menuliskan fenomena-fenomena yang ada di sekitarnya ke dalam karya-karya sastra. Begitupula sebuah novel yang berjudul Ayat-ayat Cinta yang menceritakan kehidupan seorang pemuda yang bernama Fahri seorang mahasiwa Universitas Al-Azhar, sebagaimana yang pernah dialami oleh Habiburrahman. Namun novel Ayat-ayat Cinta tidak sepenuhnya merupakan pengalaman pribadi penulis, ada beberapa pengalaman penulis misalnya selama belajar di Kairo yang hadir dalam novel Ayat-ayat Cinta seperti talaqqi Al-Qur’an, pergi kuliah naik Metro, minum ashir ashab dan ashir mangga di musim panas, berdebat dengan orang Mesir, juga bertemu dengan mahasiswa dari Turki.
Berangkat dari biografi Habiburrahman El Shirazy yang telah dipaparkan di atas. Penulis akan mencoba memahami novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy melalui perspektif sosiologi sastra. Dalam lingkup kajian Sosiologi Sastra, bahwasannya kritik sastra secara sosiologis dibagi menjadi tiga klasifikasi, yaitu: Pertama, sosiologi pengarang, yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra. Yang menjadi pokok kritik adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau pesan yang hendak disampaikannya. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosial terhadapa masyarakat.
Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Rene Wellek dan Austin Warren, seorang ahli bernama Ian Watt mengungkapkan hal yang sama mengenai ruang lingkup sosiologi sastra. Ian Watt menyatakan bahwa dalam kajian sosiologi sastra terdapat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Hal-hal tersebut mencakup ke dalam tiga hal yaitu konteks sosial pengarang, sastra sebagai “cermin” masyarakat, dan fungsi sosial sastra.
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba menganalisis novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dilihat dari tiga cakupan sosiologi sastra yang diungkapakan Rene Wellek dan Austin Warren, serta sejalan dengan pendapat Ian Watt.
Hal pertama yang akan dibahas dari novel di atas adalah kaitannya dengan sosiologi pengarang. Faktor-faktor sosial yang ada di sekitar pengarang dapat mempengaruhi kehidupan pengarang sebagai individu yang menjadi bagian dari masyarakat, serta secara langsung ataupun tidak, faktor-faktor tersebut dapat berpengaruh kepada isi karya sastra yang dibuat oleh sastrawan itu.
Novel Ayat-ayat Cinta merupakan novel yang menceritakan tentang tokoh utama bernama Fahri sebagai seorang mahasiswa berasal dari Indonesia yang kuliah di Universitas Al- Azhar Mesir. Ia tinggal di apartemen milik keluarga Boutros bersama mahasiswa-mahasiswa asal Indonesia (Rudi dan Saiful). Dalam kehidupan sehari-hari, Fahri selalu berusaha meneladani Rosulullah saw. Hal ini tercermin dari perilakunya di apartemen, mereka selalu saling mengingatkan, saling mendo’akan, tolong menlong. Mereka juga mempunyai tanggung jawab masing-masing. Fahri sebagai tokoh utama juga meneladani rasul dalam hal bertetangga dan berinteraksi dengan lawan jenis. Dalam berinteraksi ia selalu mendasarkan diri pada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Dakwah adalah aktivitas keseharian Fahri. Baginya, dakwah merupakan pekerjaan utama yang sangat mulia yang bisa dilakukan dimana saja kapan saja. Di ceritakan bagaimana seorang fahri di dalam metro mengingatkan kepada penumpang untuk menghormati tamu dari negara lain (Amerika serikat).
Apa yang diungkapkan oleh Habiburrahman El Shirazy dalam novelnya tersebut, merupakan sebuah contoh bahwa memang faktor sosial yang di alami oleh si pengarang dapat berpengaruh terhadap isi karya yang dia tulis. Dalam biografi yang penulis sudah paparkan di awal bahwa Habiburrahman El Shirazy pernah belajar di Universitas Al Azhar. Sehingga tidak heran apabila kemudian isi karya yang dia tulispun berisi tentang apa yang dia ketahui dan dia alami.
Hal kedua yang akan dibahas dari puisi di atas adalah kaitannya dengan karya sastra sebagai cermin masyarakat. Sering kali para pengarang atau sastrawan mengangkat fakta-fakta sosial yang ada disekitarnya sebagai sebagai tema atau isi dalam karya sastra yang mereka buat.
Berdasarkan dari pernyataan di atas, penulis berpendapat bahwa tema pokok dari novel Ayat-ayat Cinta yaitu tema cinta dalam arti luas. Seperti terlihat dari judul novel, Ayat-ayat Cinta (sebuah novel pembangun jiwa), maka tema novel ini tak hanya mengandung tema cinta manusia pada manusia semata, tetapi juga cinta manusia kepada Tuhan dan rasul-Nya. Dalam novel ini tersirat adanya pengertian cinta manusia kepada  Tuhan yang diwujudkan dengan cara teguh menjaga keimanan berdasarkan petunjuk-Nya. Selain itu, tema cinta tersebut menyiratkan adanya pengertian cinta Tuhan kepada manusia yang diwujudkan dengan diberikannya cobaan kehidupan dan wahyu berupa petunjuk ayat-ayat al-Quran dan Sunnah Nabi.
Ia memandang bahwa hubungan cinta dengan  lawan jenis itu harus berdasarkan  kepada hukum agama yang berlaku, sehingga tidak seperti apa yang sekarang terjadi terutama di kalangan pemuda yang sedang dirundung asmara. Menurutnya menjalin hubungan cinta kasih harus melalui prosedur yang benar, yakni kewajiban untuk menikah antara kedua belah pihak yang sedang jatuh cinta. Melalui tokoh Fahri ini ini pengarang juga berpesan supaya umat islam senantiasa menjaga hubungan baik antara hubungan manusia dengan Allah (hablumminallah) dan hubungan manusia kepada sesama manusia (hablumminannas).
Karya sastra merupakan sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama, maupun tujuan yang lain.  Pemanfaatan karya ini berusaha memaksimalkan keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacanya. Hal ini terlihat dari fungsinya untuk memberikan pendidikan (ajaran) moral, agama, maupun fungsi sosial lainnya. Semakin banyak nilai pendidikan moral  dan atau agama yang terdapat dalam karya sastra dan berguna bagi pembacanya, makin tinggi nilai karya sastra tersebut. Karya satra (novel) diharapkan menjadi sarana yang cukup efektif untuk menyampaikan  tujuan-tujuan tertentu pengarang kepada pembaca.
Berangkat dari penjelasan di atas, maka hal ketiga yang akan dibahas dari novel Ayat-ayat Cinta adalah kaitannya dengan fungsi sosial karya sastra.
Dalam novel ini terdapat nilai-nilai moral, dan nilai-nilai religius. Misalnya, Habiburrahman El Shirazy sebagai seorang pengarang ingin mengajak umat Muslim pada kebenaran dengan bahasa yang mudah diterima. Aspirasi tersebut diekspresikan dalam novel Ayat-ayat Cinta melalui tema cinta.  Penulis novel ini menyampaikan pesan keharmonisan hidup sebagai umat manusia yang beradab di muka bumi dengan peristiwa ketika Maria, seorang gadis beragama kristen koptik yang bertetangga baik dengan Fahri dan teman-temannya menempuh studi di Mesir.

“… Maria berbuat begitu atas nama keluarganya atas petunjuk ayahnya yang baik hati itu. Dan karena kepala keluarga di rumah ini adalah aku, maka tiap kali memberi makanan dan minuman atau menyampaikan sesuatu atas nama keluarganya dan aku dianggap representasi kalian semua. Jadi ini bukan hanya interaksi dua person saja, tapi dua keluarga. Bahkan lebih besar dari itu, dua bangsa dan dua penganut keyakinan yang berbeda. …” (Sirazy:2004, 37)

Selain itu Habiburrahman El Shirazy juga mengajak kepada pembaca untuk saling menghormati kepada tamu-tamu asing yang berkunjung kesuatu Negara. Hal ini dapat di lihat ketika tokoh Fahri sedang menasehati penduduk mesir di sebuah metro untuk tetap menghormati tamu asing, sebagaimana ajaran rasulullah walau orang asing itu merupakan orang kafir sekalipun. Hal ini terlihat dalam kutipan sebagai berikut.

“… Ahlu dzimmah adalah semua orang non muslim yang berada di dalam negara kaum muslimin secara baik-baik, tidak illegal dengan membayar jizyah dan mentaati peraturan yang ada di dalam negara itu. Hak mereka sama dengan hak kaum muslimin. Darah dan kehormatan dan kehormatan mereka sama dengan darah dan kehormatan kaum muslimin. Mereka harus dijaga dan dilindungi. Tidak boleh disakiti sedikit pun. Dan kalian pasti tahu, tiga turis Amerika itu masuk ke Mesir secara resmi. Mereka membayar visa. Kalau tidak percaya silakan lihat saja paspornya. Maka mereka hukumnya sama dengan ahlu dzimmah. Darah dan kehormatan mereka harus kita lindungi. Itu yang diaajrkan Rasulullah Saw. …” (Shirazy, 2004: 50)
Dalam memandang kehidupan, dibutuhkan optimisme dan perencanaan yang matang. Seperti yang dituliskan oleh penulis seperti berikut.

“…Peta masa depan itu saya buat terus terang saja. Berangkat dari semangat spiritual ayat suci Al Quran yang saya yakini. Dalam Ar-Ra’ad ayat sebelas Allah berfirman, Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya. Jadi nasib saya, masa depan saya, mau jadi apa saya, sayalah yang menentukan. Sukses atau gagalnya saya, sayalah yang menciptakan. Saya sendirilah yang mengarsiteki apa yang akan saya raih dalam hidup ini.” (Sirazy:2004, 144)

Dari pemaparan di atas, terdapat hubungan antara latar belakang sosial pengarang dengan karyanya. Pengarang sebagai alumni Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir memposisikan dirinya sebagai dai. Tapi dengan novel Ayat-ayat Cinta pengarang berhasil menjadi novelis. Selama meramu  novel  Ayat-ayat Cinta dengan menonjolnya certia percintaan dengan segala pernak-perniknya pengarang berhasil menjadi penyair.
Novel Ayat-ayat Cinta karya sebagai penyalur pendapat pengarang berdasarkan latar belakangnya Karya-karya fiksinya dinilai dapat membangun jiwa dan menumbuhkan semangat berprestasi pembaca. Novel sebagai karya sastra inilah yang berhasil memadukan dakwah, tema cinta dan latar belakang budaya suatu bangsa. Novel ini sangat menyentuh dengan romatisme yang sangat terasa namun menuntun pembaca untuk tidak cengeng dalam bercinta. Kodrat keberadaan cinta dalam diri setiap insan itu keniscayaan, tetapi bagaimana mengolah dan mengarahkannya supaya sesuai dengan yang digariskan. Novel ini juga menggugah para pelaku percintaan untuk terus tegar menghadapi cobaan.


DAFTRA PUSTAKA

  1. Rene Wellek dan Austin Warren. 1995. Theory of Literature. A Harvest Book, Harcourt, Brace and Company.
  2. Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Penerbit Pustaka.
  3. Shirazy, Habiburrahman El. 2004. Ayat-ayat Cinta. Jakarta: Penerbit Republika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar