Rabu, 19 Maret 2014

"Selasa Kelabu", 9 September 2001 Dalam Novel “Tarian Setan” Karya Saddam Hussein


Peristiwa pembajakan dua pesawat Boeing 737 yang ditabrakkan ke menara kembar World Trade Center di New York, Amerika Serikat oleh Al-Qaeda pada tanggal 9 September 2001 telah mengilhami Saddam Hussein untuk menulis novel yang berjudul “Tarian Setan”. Oleh karena itu saya mengambil judul ‘Peristiwa “Selasa Kelabu”, 9 September 2001 dalam Novel “Tarian Setan” Karya Saddam Hussein’. Secara garis besar tulisan ini mengulas novel Tarian Setan beserta latarbelakang penulisannya. Selain itu saya menyertakan latarbelakang pergolakan yang terjadi di Irak pada saat novel ini dibuat, yaitu agresi militer Amerika Serikat terhadap Irak yang diawali rasa dendam Amerika terhadap aksi terorisme yang dilakukan oleh Al-Qaeda. Kemudian hal tersebut berlanjut dengan tuduhan-tuduhan miring Amerika terhadap Irak dan Presiden Saddam Hussein sehingga memperkuat alasannya untuk menggempur Irak. Bersumber dari semua itu maka lahirlah sebuah karya sastra berbentuk novel yang ditulis oleh mantan presiden Irak, saddam Hussein.
Karya sastra pada dasarnya berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan sosial. Setiap bangsa atau suku bangsa memiliki kehidupan sosial yang berbeda dengan bangsa lain. Karya sastra selalu menemukan dimensi-dimensi tersembunyi dalam kehidupan manusia, dimensi-dimensi yang tidak terjangkau oleh kualitas evidensi empiris, bahkan juga oleh instrumen laboratorium (Ratna, 2003:214).

Menurut Fananie (2000: 132) sastra merupakan ekspresi kehidupan manusia. Ia juga menyebutkan bahwa terdapat tiga perspektif berkaitan dengan keberadaan karya sastra. Pertama, perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan; kedua, perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya; dan ketiga, model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi sosial. Sebuah karya sastra dapat berupa informasi mengenai kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Kesusastraan Indonesia banyak melahirkan karya sastra yang bersifat memberi gambaran tentang kehidupan sosial masyarakat (Fananie, 2000: 194).
Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa secara tersususun. Jalan ceritanya dapat menjadi pengalaman hidup yang nyata dan lebih dalam lagi; novel mempunyai tugas mendidik pengalaman batin pembaca atau pengalaman manusia. Novel lahir dan berkembang dengan sendirinya sebagai sebuah genre pada cerita atau menceritakan sejarah dan fenomena sosial. Karya sastra termasuk novel yang mempunyai fungsi dulce et utile yang artinya “menyenangkan dan bermanfaat” bagi pembaca melalui penggambaran kehidupan nyata. Sebagai karya cerita fiksi, novel sarat akan pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan. Oleh karena itu, novel harus tetap merupakan cerita yang menarik yang  mempunyai bangunan struktur yang koheren dan tetap mempunyai estetik. Dengan adanya unsure-unsur estetik, baik unsur bahasa maupun unsur makna, dunia fiksi lebih banyak memuat berbagai kemungkinan dibandingkan dengan yang ada di dunia nyata. Semakin tinggi nilai estetik sebuah karya fiksi, secara otomatis akan mempengaruhi pikiran dan perasaan pembaca. (Jakob Sumardjo dan Saini K.M, 1994: 3).
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang di dalamnya memuat nilai-nilai estetika dan nilai-nilai pengetahuan serta nilai-nilai kehidupan. Dan novel mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.
Meskipun novel bersifat fiksi dan imajinatif namun jika kita telaah lebih jauh, sebuah karya sastra khususnya novel mengandung nilai-nilai sejarah mengenai kondisi sosial pada saat itu. Seperti halnya novel yang berjudul “Tarian Setan” karya Saddam Hussein, mantan presiden Irak. Di dalam novel tersebut banyak mengandung penggambaran kondisi sosial Irak pada saat itu dilihat dari perspektif penulis secara subjektif. “Tarian Setan” adalah novel keempat Saddam Hussein. Sejak tahun 2001, penguasa Irak selama 24 tahun itu menerbitkan satu novel setiap tahun. Novel pertama berjudul Zabibah wa al-Mulk (Zabibah dan Sang Raja) terbit pada 2001, disusul al_Qal'ah al-Hashinah (Benteng Pertahanan) dan Rijal wa Madinah (Pahlawan dan Kota). Novel novel tersebut diterbitkan di Irak ketika Saddam masih berkuasa. Novelnya ke-empat berjudul Akhreej Minha Ya Mal'un, dan untuk edisi terbitan Indonesia diterjemahkan menjadi Tarian Setan. Semua novel menyajikan gaya dan tema yang senapas: perseteruan tiga agama langit di Timur Tengah pada abad ke-6. Novel ini lahir menjelang penyerbuan pasukan koalisi internasional ke Irak. Tarian Setan secara khusus mengaitkan diri dengan peristiwa "Selasa Kelabu", 9 September 2001, ketika dua pesawat Boeing 737 ditabrakkan ke menara kembar World Trade Center di New York, Amerika Serikat.
Sejak terjadi serangan ke gedung WTC di New York pada tanggal 11 September 2001, Amerika mengecamnya sebagai bentuk teroris yang dilayangkan oleh Afghanistan. Sehingga timbulah dalam benak Amerika saat itu untuk membalas dendam dengan peperangan. AS gencar mengungkit- ungkit tragedi WTC sebagai bentuk terroris dan tuduhan yang tajam pada umat Islam sebagai pengancam keamanan dunia. Bermula dari Afghanistan, kemudian merambat ke Irak dan Palestina.
Pada awal mulanya tujuan Bush adalah menciptakan kawasan Timur Tengah yang demokratis agar tercipta kedamaian yang pada saat itu masih terjadi pemberontakan oleh rezim Saddam Hussein. Kekerasan Saddam Hussein sebenarnya tidak begitu besar, hanya saja dibesar-besarkan dan dimanipulasi oleh Bush. Keputusan gila Presiden Bush untuk menginvasi Irak adalah bencana kemanusiaan. Hal ini semakin jelas dengan fakta yang ada. Bukanlah perdamain yang didapat Irak, seperti yang telah dijanjikan oleh Bush tetapi justru kehancuran dan penderitaan. Belum selesai satu masalah, AS sudah menuduh Irak menyembunyikan senjata pemusnah massal agar AS lebih leluasa dalam agresinya padahal Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyatakan bahwa mereka tidak menemukan senjata pemusnah massal tersebut. AS seakan tidak peduli pada kerusakan yang besar karena mendapat sokongan yang kuat dari Israel (di bawah pemerintahan Ariel Sharon), Inggris (di bawah pemerintahan Tony Blair) dan Australia (di bawah pemerintahan John Howard).
Pergolakan yang terjadi di Irak tersebut mengilhami mantan presiden Irak, Saddam Hussein untuk menulis novel yang berjudul “Tarian Setan”. Novel ini baru selesai ditulis pada 18 Maret 2003, dua hari menjelang agresi militer Amerika Serikat ke Irak. Namun, naskah yang masih berbentuk soft copy itu berhasil dibawa putrinya, Raghdad Hussein terbang ke Yordania.
Cerita novel ini diawali dengan kisah keluarga Ibrahim. Ibrahim di daerah Eufrat bersama istrinya Ummu Halimah dan ketiga cucunya yang sudah yatim piatu ; Hasqil, Yusuf dan Mahmud . Hasqil tentu saja mewakili Yahudi, Yusuf sebagai Nasrani, dan Mahmud yang Islam. Keluarga Ibrahim hidup secara nomaden ( berpindah-pindah tempat ) karena profesi Ibrahim sebagai ulama yang mempunyai kewajiban untuk menyebarkan agama islam di seluruh jazirah arab. Sebagai ulama Ibrahim senantiasa mengajarkan syari’ah islam dan menanamkan nilai-nilai akidah-akhlak kepada cucu-cucunya. Ibrahim ingin cucu-cucunya bisa menjadi penerusnya kelak. Tetapi dari ketiga cucunya hanya Yusuf dan Mahmud saja yang benar-benar bisa menerima dan menjiwai nilai-nilai islami yang ditanamkan Ibrahim. Karena Hasqil cucunya yang paling tua mempunyai perangai dan perilaku yang jauh bersebrangan dengan kedua saudaranya.
Selanjutnya novel ini berkisah tentang Hasqil, bagaimana sepak terjang Hasqil dalam meraih semua keinginannya. Sejak kecil tabiat dan tingkah laku keseharian Hasqil memang kurang terpuji padahal tidak kurang-kurangnya Ibrahim beserta kedua saudaranya mengingatkan dia. Hasqil yang digambarkan Saddam persis perawakan Ariel Sharon, Perdana Menteri Israel periode 2001-2006: bungkuk, alis tipis, hidung panjang, dan kepala botak. Berbeda dengan dua adiknya yang penurut, Hasqil sudah membangkang sejak kecil. Ia sering mendebat kakeknya jika mereka sedang mengobrol tentang agama. Hasqil juga suka membuat keonaran sehinnga banyak orang yang tidak simpatik padanya. Ia juga seorang egois yang selalu membenarkan semua tindakannya, sikapnya kepada orang tua juga tidak sopan. Mulanya Ibrahim memaklumi semua tindakan Hasqil tetapi setelah dewasa ternyata perangai buruk Hasqil tidak berubah bahkan bertambah buruk.
Puncaknya ketika akhirnya Ibrahim mengusir Hasqil karena dia telah berbuat tidak senonoh dengan meraba payudara putri seorang kepala suku dan mencoba memperkosanya. Dapat dilihat dari kutipan di bawah ini :

… Dia terkejut dan berusaha lari. Saat itu pembantunya sedang tak ada di rumah. Aku menariknya sebelum ia sempat kabur dari rumah. Tangan kiriku membekap mulitnya dan tangan kananku mendekapnya. Aku menyeretnya ke dalam rumah. Hampir saja aku menodainya sebab yakin ia tak mungkin berteriak karena hanya akan membuka aibnya. Aku terpaksa menunda melakukannya di hari berikutnya. Dia tak mungkin ingkar janji akan melayaniku. Tak seorang pun yang akan mencegah keinginanku. Suara kedua pembantunya membuatku harus keluar rmha dari arah samping. Aku terpaksa menundanya. Aku berharap hari ini akan menuntaskan hasratku (T.S, 2006: 41)

Hasqil meninggalkan kelurganya dan menghidupi hidupnya dengan berjualan emas, membuat senjata dan sepatu kuda. Untuk memperlancar bisnisnya Hasqil juga menggunakan trik-trik yang kurang terpuji. Dia senang sekali memancing konflik dan kepada siapa saja yang bisa mendatangkan keuntungan banyak baginya disitulah dia bernaung. Hasqil digambarkan sebagai anak yang pandai berkelakar, suka berdebat, cerdik memikat hati orang. Berkat wataknya itu, ia berhasil menyusup ke pelbagai suku. Tapi, di balik sikap menyenangan itu, Hasqil sebenarnya berhati culas. Untuk menghidupi diri ia berdagang emas dan alat perang. Agar barangnya laku, Hasqil mengadu domba suku-suku supaya berperang (T.S, 98). Hal ini sesuai uraian yang terdapat dalam novel tersebut

“Aku tak mau punya kuda, domba, atau unta sebab pekerjaan itu berat dan hasilnya murak dibandingkan emas. Tapi bukankah pertanian adalah ukuran umum kekayaan manusia. Jumlahnya sekarang sedikit bahkan sebagian perempuan lebih ingin punya emas dan perak. … aku kini punya banyak emas serta perak, dan seorang pun yang memerangiku (T.S, 2006: 98).

Siapa yang kalah kesanalah ia akan merapat seraya tetap menjalin hubungan baik dengan suku yang menang. Petualangannya sampai di suku al-Mudtharrah yang sedang berselisih dengan suku al-Mukhtarah. Hasqil datang untuk mempercepat peperangan. Al-Mudhtharrah kemudian kalah. Hasqil menghasut warga agar mengasingkan kepala suku yang tak becus memimpin perang. Dengan dukungan Romawi, Hasqil diangkat menjadi kepala suku al-Mudhtharrah yang baru. Ia bahkan meniduri istri kepala suku yang silau dengan kalung dan berlian. Tapi, selalu ada perlawanan dari setiap pemakzulan. Nakhwah, anak gadis kepala suku, yang sejak awal mencium niat jahat Hasqil segera menyusun kekuatan. Ia mendekati para pemuda, memberi kesadaran kepada perempuan, agar bangkit semangat perempuan sukunya. Dia mulai dari teman-teman dekatnya, anak-anak pamannya untuk melawan. Hal tersebut sesuai dengan kutipan:

“kamu dari mana? Tanya ibunya, dari rumah sepupu-sepupuku. Ibunya langsung curiga. Apa yang kamu bicarakan dengan mereka. Biasa bu, urusan anak gadis. O ya katanya Hasqil akan menikahi ibu? Sudah bertahun-tahun Ibu menunggu, tapi itu tak kunjung terlaksana. Apa yang ditunggu oleh Haqil? Apa dia menunggu orang besar? Atau ibu yang menunggu jadi orang besar?” (T.S. 2006:140)

Ini cara khas Saddam mengejek Amerika dan Yahudi. Tiga novel sebelumnya juga selalu menampilkan tokoh baik yang bertempur dengan tokoh jahat. Tokoh baik selalu muncul dalam wujudnya sebagai perempuan. Para pengamat menilai, Nakhwah di sana sebagai personifikasi bangsa Arab: selalu memikat bangsa lain untuk memilikinya--dengan minyak dan kekayaan alam. Sementara laki-laki, konon, pelampiasan ego Saddam sendiri. Salim digambarkan sosok tegap yang ahli strategi perang. Ia menolong Nakhwah yang membutuhkan bantuan mengusir musuh asing.
Penempatan Nakhwah sebagai perempuan yang heroik dalam novel Tarian setan ini merupakan suatu pembaharuan citra perempuan Arab. Perempuan baik di rumah tangga maupun dalam masyarakat berada di belakang laki-laki. Menurut pengamatan Mahmada (2008) nasib perempuan Arab sangat memprihatinkan. Perempuan diperlakukan seperti mahluk yang lemah dan tak mempunyai akal pikiran; mahluk yang harus diatur. Dalam karya sastra penggambaran yang jelas tentang kedudukan perempuan Arab dalam keluarga yang jauh di belakang laki-laki dapat dilihat dalam sebuah novel terjemahan dari Arab berjudul Perempuan di Titik Nol. Mulai dari makan sampai perapian, perempuan mendapatkan kesempatan nomor dua setelah laki-laki. Perempuan bisa tidur dengan perut kosong dan kedinginan apabila jatah makan dan perapian sudah habis. Dalam beberapa kasus, memang perempuan Arab dapat berkuasa dalam rumah tangga seperti pada penggambaran dalam sinetron Muslimah, pada tokoh Nyonya Fatum, tayangan stasiun TV Indosiar (2008) pukul 18.00. Demikian juga yang terjadi pada keluarga Jawa. Banyak keluarga Jawa yang dikuasai oleh perempuan, meskipun struktur kekeluargaannya menganut patriarkhi. Banyak suami yang takut istri, seperti dalam tayangan sinetron Suami-suami Takut Istri dari stasiun Trans TV (2008) pukul 18.00.
Tampak adanya suatu upaya mempengaruhi laki-laki untuk mendengarkan perkataan perempuan dalam novel Tarian Setan. Kita perhatikan kutipan berikut ini.
”...Laki-laki akan mendengarkan kata-kata perempuan, meski perempuan lemah. Dan dengan mendengar kata-katanya, laki-laki akan terpengaruh. Bagaimana jika yang dibicarakan perempuan tersebut adalah tentang nilai-nilai keluhuran?... mereka akan bertindak seolah-olah kata-kata itu adalah gagasan mereka...” (Hussein, 2006:47).
Nakhwah berusaha mendekati para ibu dan para gadis untuk menghembuskan nilai-nilai kebenaran kepada para suami, sehingga para lelaki memiliki kekuatan untuk menentang Hasqil yang telah menguasai dan memanfaatkan suku mereka. Dalam kutipan tersebut juga tampak kedudukan perempuan yang sebenarnya dalam keluarga Arab. Perempuan lemah. Tetapi kelemahan itu akan teratasi bila perempuan memiliki budi luhur. Dengan kata-kata yang mengandung nilai-nilai keluhuran perempuan akan ditaati oleh laki-laki. Perempuan dihargai dan dijadikan panutan apabila sifat dan kata-katanya mengandung kebenaran dan kebaikan.
Ada suatu fenomena baru yang ditawarkan oleh penulis tentang kedudukan perempuan. Perempuan tidak hanya berada di belakang laki-laki. Selain seperti telah digambarkan di atas, perempuan bisa mempengaruhi laki-laki, perempuan juga bisa menjadi motor penggerak sebuah pergerakan. Peran perempuan seperti itu tergambar dalam diri tokoh Nakhwah. Selain memiliki kekuasaan sebagai putri kepala suku, Nakhwah juga mampu menggerakkan para perempuan untuk bangkit mempengaruhi laki-laki. Adanya sifat-sifat pemimpin dalam diri perempuan tokoh Nakhwah. Dengan membawa nilai-nilai luhur dan kharismanya sebagai putri kepala suku, maka Nakhwah tidak mendapatkan perlawanan dari kaum lelaki. Meskipun perempuan, Nakhwah dihormati dan ditaati oleh kaum lelaki. Salim, kekasih dan tokoh pemuda suku itu, justru sangat menghormati dan mendukung rencana Nakhwah untuk melawan Hasqil (Hussein, 2006:150-152).
Dijunjungnya peran perempuan dalam novel tersebut semakin nyata dengan kemenangan suku Mudhtharrah yang dipimpin Nakhwah dan Salim atas Hasqil dan suku Romawi. Selain bisa mempengaruhi laki-laki, perempuan juga bisa memimpin peperangan dan mencapai kemenangan perang.
Secara realitas, terwujudnya peran perempuan Arab, khususnya negara Irak dapat dilihat pada peran putri Saddam, yang berhasil mendampingi ayahandanya selama perang yang merupakan tugas yang sangat berat. Kepahlawanan putri Saddam juga tampak dalam keberhasilannya melarikan draf novel Saddam Hussein dari kemungkinan niat jahat Amerika untuk menggagalkan terbitnya novel tersebut. Perempuan putri Saddamlah yang berjasa menyampaikan pemikiran Saddam tentang Irak kepada dunia. Saddam boleh mati, tetapi pemikirannya akan dikenang oleh masyarakatnya.
Nakhwah bergerak dibantu oleh Salim, kekasihnya. Keduanya memobilisasi rakyat sukunya untuk menegakkan kebenaran dan menumbangkan kekuasaan Hasqil beserta antek-antek Romawinya. Kemudian Salim tampil memimpin pasukan dan pertempuran sengit pun tak bisa dielakkan. Saddam menyajikan novel ini secara kronologis. Pertempuran itu berakhir dengan runtuhnya dua menara kembar yang dibangun Hasqil untuk menumpuk kekayaan, senjata, sekaligus simbol persekutuannya dengan Romawi. Dua pemuda masuk melumatkan diri membakar menara itu. Tampak lautan api menyelimuti menara kembar yang memusnahkan  segala yang ada di dalamnya (T.S, 263).  Perang dua hari dua malam itu terjadi di bulan September.

Begitu melihat api seperti neraka, yang lidahnya melalap menara kembar. Haqil mengusap debu yang menempel di wajahnya. “Celaka! Hilang sudah semua harta yang kukumpulkan bertahun-tahun. Ini bencana terbesar buatku dan kepala suku Romawi, “
“Aku sarankan kamu membanun lagi menara kembar lain. Yang satu kamu jual, dan satunya kamu sewakan kepada suku kami. Dan kamu, pergi saja ke neraka  bersama keponakan-keponakanmu, “ kata salah seorang tentara Romawi.

            Peristiwa yang digambarkan diatas cukup mewakili peristiwa tanggal 9 September 2001 yang dikenal sebagai peristiwa 11/9 (versi AS) yang meluluhlantakkan AS. Kecongkakan AS langsung hancur berkeping-keping. Gedung kembar WTC runtuh menjadi puing-puing dihajar oleh dua buah pesawat yang dibajak oleh kelompok Al Qaeda. Sebagai kompensasi atas runtuhnya gengsi sebagai negara super power ini, AS mulai melancarkan teror besar-besaran terhadap Irak dan Afghanistan, yang dianggap sebagai sarang teroris. Setelah dibombardir lewat udara, Irak kemudian diduduki oleh AS hingga saat ini.
           



Tidak ada komentar:

Posting Komentar