Peristiwa
pembajakan dua pesawat Boeing 737 yang ditabrakkan ke menara kembar World Trade
Center di New York, Amerika Serikat oleh Al-Qaeda pada tanggal 9 September 2001
telah mengilhami Saddam Hussein untuk menulis novel yang berjudul “Tarian
Setan”. Oleh karena itu saya mengambil judul ‘Peristiwa “Selasa Kelabu”, 9
September 2001 dalam Novel “Tarian Setan” Karya Saddam Hussein’. Secara garis
besar tulisan ini mengulas novel Tarian
Setan beserta latarbelakang penulisannya. Selain itu saya menyertakan
latarbelakang pergolakan yang terjadi di Irak pada saat novel ini dibuat, yaitu
agresi militer Amerika Serikat terhadap Irak yang diawali rasa dendam Amerika
terhadap aksi terorisme yang dilakukan oleh Al-Qaeda. Kemudian hal tersebut berlanjut
dengan tuduhan-tuduhan miring Amerika terhadap Irak dan Presiden Saddam Hussein
sehingga memperkuat alasannya untuk menggempur Irak. Bersumber dari semua itu
maka lahirlah sebuah karya sastra berbentuk novel yang ditulis oleh mantan
presiden Irak, saddam Hussein.
Karya sastra
pada dasarnya berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan sosial.
Setiap bangsa atau suku bangsa memiliki kehidupan sosial yang berbeda dengan
bangsa lain. Karya sastra selalu menemukan dimensi-dimensi tersembunyi dalam
kehidupan manusia, dimensi-dimensi yang tidak terjangkau oleh kualitas evidensi
empiris, bahkan juga oleh instrumen laboratorium (Ratna, 2003:214).
Menurut Fananie
(2000: 132) sastra merupakan ekspresi kehidupan manusia. Ia juga menyebutkan
bahwa terdapat tiga perspektif berkaitan dengan keberadaan karya sastra.
Pertama, perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di
dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan;
kedua, perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya; dan ketiga,
model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi sosial.
Sebuah karya sastra dapat berupa informasi mengenai kondisi sosial, ekonomi,
politik, dan budaya. Kesusastraan Indonesia banyak melahirkan karya sastra yang
bersifat memberi gambaran tentang kehidupan sosial masyarakat (Fananie, 2000:
194).
Novel merupakan salah
satu bentuk karya sastra yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan
serangkaian peristiwa secara tersususun. Jalan ceritanya dapat menjadi
pengalaman hidup yang nyata dan lebih dalam lagi; novel mempunyai tugas mendidik
pengalaman batin pembaca atau pengalaman manusia. Novel lahir dan berkembang
dengan sendirinya sebagai sebuah genre pada cerita atau menceritakan sejarah
dan fenomena sosial. Karya sastra termasuk novel yang mempunyai fungsi dulce
et utile yang artinya “menyenangkan dan bermanfaat” bagi pembaca melalui
penggambaran kehidupan nyata. Sebagai karya cerita fiksi, novel sarat akan
pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan. Oleh karena itu, novel
harus tetap merupakan cerita yang menarik yang
mempunyai bangunan struktur yang koheren dan tetap mempunyai estetik.
Dengan adanya unsure-unsur estetik, baik unsur bahasa maupun unsur makna, dunia
fiksi lebih banyak memuat berbagai kemungkinan dibandingkan dengan yang ada di
dunia nyata. Semakin tinggi nilai estetik sebuah karya fiksi, secara otomatis
akan mempengaruhi pikiran dan perasaan pembaca. (Jakob Sumardjo dan Saini K.M,
1994: 3).
Dari pernyataan
di atas dapat disimpulkan bahwa novel merupakan salah satu bentuk karya sastra
yang di dalamnya memuat nilai-nilai estetika dan nilai-nilai pengetahuan serta
nilai-nilai kehidupan. Dan novel mengandung rangkaian cerita kehidupan
seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat
setiap pelaku.
Meskipun
novel bersifat fiksi dan imajinatif namun jika kita telaah lebih jauh, sebuah
karya sastra khususnya novel mengandung nilai-nilai sejarah mengenai kondisi
sosial pada saat itu. Seperti halnya novel yang berjudul “Tarian Setan” karya
Saddam Hussein, mantan presiden Irak. Di dalam novel tersebut banyak mengandung
penggambaran kondisi sosial Irak pada saat itu dilihat dari perspektif penulis
secara subjektif. “Tarian Setan” adalah novel keempat Saddam Hussein. Sejak
tahun 2001, penguasa Irak selama 24 tahun itu menerbitkan satu novel setiap
tahun. Novel pertama berjudul Zabibah wa al-Mulk (Zabibah dan Sang Raja) terbit
pada 2001, disusul al_Qal'ah al-Hashinah (Benteng Pertahanan) dan Rijal wa
Madinah (Pahlawan dan Kota). Novel novel tersebut diterbitkan di Irak ketika
Saddam masih berkuasa. Novelnya ke-empat berjudul Akhreej Minha Ya Mal'un, dan
untuk edisi terbitan Indonesia diterjemahkan menjadi Tarian Setan. Semua novel
menyajikan gaya dan tema yang senapas: perseteruan tiga agama langit di Timur
Tengah pada abad ke-6. Novel ini lahir menjelang penyerbuan pasukan koalisi
internasional ke Irak. Tarian Setan secara khusus mengaitkan diri dengan
peristiwa "Selasa Kelabu", 9 September 2001, ketika dua pesawat
Boeing 737 ditabrakkan ke menara kembar World Trade Center di New York, Amerika
Serikat.
Sejak terjadi
serangan ke gedung WTC di New York pada tanggal 11 September 2001, Amerika
mengecamnya sebagai bentuk teroris yang dilayangkan oleh Afghanistan. Sehingga
timbulah dalam benak Amerika saat itu untuk membalas dendam dengan peperangan.
AS gencar mengungkit- ungkit tragedi WTC sebagai bentuk terroris dan tuduhan
yang tajam pada umat Islam sebagai pengancam keamanan dunia. Bermula dari
Afghanistan, kemudian merambat ke Irak dan Palestina.
Pada awal
mulanya tujuan Bush adalah menciptakan kawasan Timur Tengah yang demokratis
agar tercipta kedamaian yang pada saat itu masih terjadi pemberontakan oleh
rezim Saddam Hussein. Kekerasan Saddam Hussein sebenarnya tidak begitu besar,
hanya saja dibesar-besarkan dan dimanipulasi oleh Bush. Keputusan gila Presiden
Bush untuk menginvasi Irak adalah bencana kemanusiaan. Hal ini semakin jelas
dengan fakta yang ada. Bukanlah perdamain yang didapat Irak, seperti yang telah
dijanjikan oleh Bush tetapi justru kehancuran dan penderitaan. Belum selesai
satu masalah, AS sudah menuduh Irak menyembunyikan senjata pemusnah massal agar
AS lebih leluasa dalam agresinya padahal Badan Energi Atom Internasional (IAEA)
menyatakan bahwa mereka tidak menemukan senjata pemusnah massal tersebut. AS
seakan tidak peduli pada kerusakan yang besar karena mendapat sokongan yang
kuat dari Israel (di bawah pemerintahan Ariel Sharon), Inggris (di bawah
pemerintahan Tony Blair) dan Australia (di bawah pemerintahan John Howard).
Pergolakan
yang terjadi di Irak tersebut mengilhami mantan presiden Irak, Saddam Hussein
untuk menulis novel yang berjudul “Tarian Setan”. Novel ini baru selesai
ditulis pada 18 Maret 2003, dua hari menjelang agresi militer Amerika Serikat
ke Irak. Namun, naskah yang masih berbentuk soft copy itu berhasil dibawa
putrinya, Raghdad Hussein terbang ke Yordania.
Cerita novel
ini diawali dengan kisah keluarga Ibrahim. Ibrahim di daerah Eufrat bersama
istrinya Ummu Halimah dan ketiga cucunya yang sudah yatim piatu ; Hasqil, Yusuf
dan Mahmud . Hasqil tentu saja mewakili Yahudi, Yusuf sebagai Nasrani, dan
Mahmud yang Islam. Keluarga Ibrahim hidup secara nomaden ( berpindah-pindah
tempat ) karena profesi Ibrahim sebagai ulama yang mempunyai kewajiban untuk
menyebarkan agama islam di seluruh jazirah arab. Sebagai ulama Ibrahim
senantiasa mengajarkan syari’ah islam dan menanamkan nilai-nilai akidah-akhlak
kepada cucu-cucunya. Ibrahim ingin cucu-cucunya bisa menjadi penerusnya kelak.
Tetapi dari ketiga cucunya hanya Yusuf dan Mahmud saja yang benar-benar bisa menerima
dan menjiwai nilai-nilai islami yang ditanamkan Ibrahim. Karena Hasqil cucunya
yang paling tua mempunyai perangai dan perilaku yang jauh bersebrangan dengan
kedua saudaranya.
Selanjutnya
novel ini berkisah tentang Hasqil, bagaimana sepak terjang Hasqil dalam meraih
semua keinginannya. Sejak kecil tabiat dan tingkah laku keseharian Hasqil
memang kurang terpuji padahal tidak kurang-kurangnya Ibrahim beserta kedua
saudaranya mengingatkan dia. Hasqil yang digambarkan Saddam persis perawakan
Ariel Sharon, Perdana Menteri Israel periode 2001-2006: bungkuk, alis tipis,
hidung panjang, dan kepala botak. Berbeda dengan dua adiknya yang penurut,
Hasqil sudah membangkang sejak kecil. Ia sering mendebat kakeknya jika mereka
sedang mengobrol tentang agama. Hasqil juga suka membuat keonaran sehinnga
banyak orang yang tidak simpatik padanya. Ia juga seorang egois yang selalu
membenarkan semua tindakannya, sikapnya kepada orang tua juga tidak sopan.
Mulanya Ibrahim memaklumi semua tindakan Hasqil tetapi setelah dewasa ternyata
perangai buruk Hasqil tidak berubah bahkan bertambah buruk.
Puncaknya
ketika akhirnya Ibrahim mengusir Hasqil karena dia telah berbuat tidak senonoh
dengan meraba payudara putri seorang kepala suku dan mencoba memperkosanya.
Dapat dilihat dari kutipan di bawah ini :
… Dia terkejut dan berusaha lari. Saat itu
pembantunya sedang tak ada di rumah. Aku menariknya sebelum ia sempat kabur
dari rumah. Tangan kiriku membekap mulitnya dan tangan kananku mendekapnya. Aku
menyeretnya ke dalam rumah. Hampir saja aku menodainya sebab yakin ia tak
mungkin berteriak karena hanya akan membuka aibnya. Aku terpaksa menunda
melakukannya di hari berikutnya. Dia tak mungkin ingkar janji akan melayaniku.
Tak seorang pun yang akan mencegah keinginanku. Suara kedua pembantunya
membuatku harus keluar rmha dari arah samping. Aku terpaksa menundanya. Aku
berharap hari ini akan menuntaskan hasratku (T.S, 2006: 41)
Hasqil
meninggalkan kelurganya dan menghidupi hidupnya dengan berjualan emas, membuat
senjata dan sepatu kuda. Untuk memperlancar bisnisnya Hasqil juga menggunakan
trik-trik yang kurang terpuji. Dia senang sekali memancing konflik dan kepada
siapa saja yang bisa mendatangkan keuntungan banyak baginya disitulah dia
bernaung. Hasqil digambarkan sebagai anak yang pandai berkelakar, suka
berdebat, cerdik memikat hati orang. Berkat wataknya itu, ia berhasil menyusup
ke pelbagai suku. Tapi, di balik sikap menyenangan itu, Hasqil sebenarnya
berhati culas. Untuk menghidupi diri ia berdagang emas dan alat perang. Agar
barangnya laku, Hasqil mengadu domba suku-suku supaya berperang (T.S, 98). Hal
ini sesuai uraian yang terdapat dalam novel tersebut
“Aku tak mau punya kuda, domba, atau unta sebab
pekerjaan itu berat dan hasilnya murak dibandingkan emas. Tapi bukankah
pertanian adalah ukuran umum kekayaan manusia. Jumlahnya sekarang sedikit
bahkan sebagian perempuan lebih ingin punya emas dan perak. … aku kini punya
banyak emas serta perak, dan seorang pun yang memerangiku (T.S, 2006: 98).
Siapa yang
kalah kesanalah ia akan merapat seraya tetap menjalin hubungan baik dengan suku
yang menang. Petualangannya sampai di suku al-Mudtharrah yang sedang berselisih
dengan suku al-Mukhtarah. Hasqil datang untuk mempercepat peperangan. Al-Mudhtharrah
kemudian kalah. Hasqil menghasut warga agar mengasingkan kepala suku yang tak
becus memimpin perang. Dengan dukungan Romawi, Hasqil diangkat menjadi kepala
suku al-Mudhtharrah yang baru. Ia bahkan meniduri istri kepala suku yang silau
dengan kalung dan berlian. Tapi, selalu ada perlawanan dari setiap pemakzulan. Nakhwah,
anak gadis kepala suku, yang sejak awal mencium niat jahat Hasqil segera
menyusun kekuatan. Ia mendekati para pemuda, memberi kesadaran kepada
perempuan, agar bangkit semangat perempuan sukunya. Dia mulai dari teman-teman
dekatnya, anak-anak pamannya untuk melawan. Hal tersebut sesuai dengan kutipan:
“kamu dari mana? Tanya ibunya, dari rumah
sepupu-sepupuku. Ibunya langsung curiga. Apa yang kamu bicarakan dengan mereka.
Biasa bu, urusan anak gadis. O ya katanya Hasqil akan menikahi ibu? Sudah
bertahun-tahun Ibu menunggu, tapi itu tak kunjung terlaksana. Apa yang ditunggu
oleh Haqil? Apa dia menunggu orang besar? Atau ibu yang menunggu jadi orang
besar?” (T.S. 2006:140)
Ini cara khas
Saddam mengejek Amerika dan Yahudi. Tiga novel sebelumnya juga selalu
menampilkan tokoh baik yang bertempur dengan tokoh jahat. Tokoh baik selalu
muncul dalam wujudnya sebagai perempuan. Para pengamat menilai, Nakhwah di sana
sebagai personifikasi bangsa Arab: selalu memikat bangsa lain untuk
memilikinya--dengan minyak dan kekayaan alam. Sementara laki-laki, konon,
pelampiasan ego Saddam sendiri. Salim digambarkan sosok tegap yang ahli
strategi perang. Ia menolong Nakhwah yang membutuhkan bantuan mengusir musuh
asing.
Penempatan Nakhwah sebagai
perempuan yang heroik dalam novel Tarian setan ini merupakan suatu
pembaharuan citra perempuan Arab. Perempuan baik di rumah tangga maupun dalam
masyarakat berada di belakang laki-laki. Menurut pengamatan Mahmada (2008)
nasib perempuan Arab sangat memprihatinkan. Perempuan diperlakukan seperti
mahluk yang lemah dan tak mempunyai akal pikiran; mahluk yang harus diatur.
Dalam karya sastra penggambaran yang jelas tentang kedudukan perempuan Arab
dalam keluarga yang jauh di belakang laki-laki dapat dilihat dalam sebuah novel
terjemahan dari Arab berjudul Perempuan di Titik Nol. Mulai dari makan
sampai perapian, perempuan mendapatkan kesempatan nomor dua setelah laki-laki.
Perempuan bisa tidur dengan perut kosong dan kedinginan apabila jatah makan dan
perapian sudah habis. Dalam beberapa kasus, memang perempuan Arab dapat
berkuasa dalam rumah tangga seperti pada penggambaran dalam sinetron Muslimah,
pada tokoh Nyonya Fatum, tayangan stasiun TV Indosiar (2008) pukul 18.00.
Demikian juga yang terjadi pada keluarga Jawa. Banyak keluarga Jawa yang
dikuasai oleh perempuan, meskipun struktur kekeluargaannya menganut patriarkhi.
Banyak suami yang takut istri, seperti dalam tayangan sinetron Suami-suami
Takut Istri dari stasiun Trans TV (2008) pukul 18.00.
Tampak adanya suatu upaya
mempengaruhi laki-laki untuk mendengarkan perkataan perempuan dalam novel Tarian
Setan. Kita perhatikan kutipan berikut ini.
”...Laki-laki akan mendengarkan kata-kata perempuan,
meski perempuan lemah. Dan dengan mendengar kata-katanya, laki-laki akan
terpengaruh. Bagaimana jika yang dibicarakan perempuan tersebut adalah tentang
nilai-nilai keluhuran?... mereka akan bertindak seolah-olah kata-kata itu
adalah gagasan mereka...” (Hussein, 2006:47).
Nakhwah berusaha mendekati para ibu
dan para gadis untuk menghembuskan nilai-nilai kebenaran kepada para suami,
sehingga para lelaki memiliki kekuatan untuk menentang Hasqil yang telah
menguasai dan memanfaatkan suku mereka. Dalam kutipan tersebut juga tampak kedudukan
perempuan yang sebenarnya dalam keluarga Arab. Perempuan lemah. Tetapi
kelemahan itu akan teratasi bila perempuan memiliki budi luhur. Dengan
kata-kata yang mengandung nilai-nilai keluhuran perempuan akan ditaati oleh
laki-laki. Perempuan dihargai dan dijadikan panutan apabila sifat dan
kata-katanya mengandung kebenaran dan kebaikan.
Ada suatu fenomena baru yang
ditawarkan oleh penulis tentang kedudukan perempuan. Perempuan tidak hanya
berada di belakang laki-laki. Selain seperti telah digambarkan di atas,
perempuan bisa mempengaruhi laki-laki, perempuan juga bisa menjadi motor
penggerak sebuah pergerakan. Peran perempuan seperti itu tergambar dalam diri
tokoh Nakhwah. Selain memiliki kekuasaan sebagai putri kepala suku, Nakhwah
juga mampu menggerakkan para perempuan untuk bangkit mempengaruhi laki-laki.
Adanya sifat-sifat pemimpin dalam diri perempuan tokoh Nakhwah. Dengan membawa
nilai-nilai luhur dan kharismanya sebagai putri kepala suku, maka Nakhwah tidak
mendapatkan perlawanan dari kaum lelaki. Meskipun perempuan, Nakhwah dihormati
dan ditaati oleh kaum lelaki. Salim, kekasih dan tokoh pemuda suku itu, justru
sangat menghormati dan mendukung rencana Nakhwah untuk melawan Hasqil (Hussein,
2006:150-152).
Dijunjungnya peran perempuan dalam
novel tersebut semakin nyata dengan kemenangan suku Mudhtharrah yang dipimpin
Nakhwah dan Salim atas Hasqil dan suku Romawi. Selain bisa mempengaruhi
laki-laki, perempuan juga bisa memimpin peperangan dan mencapai kemenangan
perang.
Secara
realitas, terwujudnya peran perempuan Arab, khususnya negara Irak dapat dilihat
pada peran putri Saddam, yang berhasil mendampingi ayahandanya selama perang
yang merupakan tugas yang sangat berat. Kepahlawanan putri Saddam juga tampak
dalam keberhasilannya melarikan draf novel Saddam Hussein dari kemungkinan niat
jahat Amerika untuk menggagalkan terbitnya novel tersebut. Perempuan putri
Saddamlah yang berjasa menyampaikan pemikiran Saddam tentang Irak kepada dunia.
Saddam boleh mati, tetapi pemikirannya akan dikenang oleh masyarakatnya.
Nakhwah
bergerak dibantu oleh Salim, kekasihnya. Keduanya memobilisasi rakyat sukunya
untuk menegakkan kebenaran dan menumbangkan kekuasaan Hasqil beserta
antek-antek Romawinya. Kemudian Salim tampil memimpin pasukan dan pertempuran
sengit pun tak bisa dielakkan. Saddam menyajikan novel ini secara kronologis.
Pertempuran itu berakhir dengan runtuhnya dua menara kembar yang dibangun
Hasqil untuk menumpuk kekayaan, senjata, sekaligus simbol persekutuannya dengan
Romawi. Dua pemuda masuk melumatkan diri membakar menara itu. Tampak lautan api
menyelimuti menara kembar yang memusnahkan segala yang ada di dalamnya
(T.S, 263). Perang dua hari dua malam itu terjadi di bulan September.
Begitu melihat api seperti neraka, yang lidahnya
melalap menara kembar. Haqil mengusap debu yang menempel di wajahnya. “Celaka!
Hilang sudah semua harta yang kukumpulkan bertahun-tahun. Ini bencana terbesar
buatku dan kepala suku Romawi, “
“Aku sarankan kamu membanun lagi menara kembar lain. Yang satu
kamu jual, dan satunya kamu sewakan kepada suku kami. Dan kamu, pergi saja ke
neraka bersama keponakan-keponakanmu, “ kata salah seorang tentara
Romawi.
Peristiwa
yang digambarkan diatas cukup mewakili peristiwa tanggal 9 September 2001 yang
dikenal sebagai peristiwa 11/9 (versi AS) yang meluluhlantakkan AS. Kecongkakan
AS langsung hancur berkeping-keping. Gedung kembar WTC runtuh menjadi
puing-puing dihajar oleh dua buah pesawat yang dibajak oleh kelompok Al Qaeda.
Sebagai kompensasi atas runtuhnya gengsi sebagai negara super power
ini, AS mulai melancarkan teror besar-besaran terhadap Irak dan Afghanistan,
yang dianggap sebagai sarang teroris. Setelah dibombardir lewat udara, Irak
kemudian diduduki oleh AS hingga saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar