Alasan utama saya mengangkat tema ini adalah ketertarikan
saya terhadap pengarang yang menampilkan perempuan sebagai tokoh sufi yang
sejarah kehidupannya dan dikaitkan dengan tokoh sufi terkenal sepanjang masa,
Jalaludin Rumi atau yang secara singkat dipanggil Rumi adalah hal esensial yang
ingin ditunjukkan pengarang. Selama ini, seperti yang kita ketahui, sangat
jarang ada sebuah karya sastra yang mengangkat karakter perempuan dalam
tema-tema bersifat sufistik. Jika berbicara mengenai hal ini maka tidak bisa
dilepaskan dari teori-teori mengenai karya yang melibatkan perempuan sebagai
pengarang maupun sebagai karakter dalam suatu karya. Salah satu tokoh yang
menyinggung mengenai hal ini adalah Mary Wollstonecraft. Ia mendekonstruksi
deskripsi karakter perempuan dalam banyak karya ‘picisan’ yang dibuat oleh
pengarang laki-laki. Mary menentang seluruh gambaran negatif yang
mendiskreditkan peran perempuan yang selalu ada di bawah dominasi kaum pria.
Namun, sebelum beranjak ke teori dan berbagai penjelasannya, pada awal tulisan akan terlebih
dahulu menyinggung sedikit mengenai unsur ekstrinsik yang menjadi subtansi
dasar dalam novel ini.
Unsur Ekstrinsik Novel
Novel karangan Maurel Maufroy ini sangat erat kaitannya dengan sejarah,
sosiobudaya dan politik yang ada pada setting
yang menjadi latar belakang historis cerita ini. Meskipun tema mengenai
perempuan menjadi landasan fundamen dalam novel ini, namun penggunaan tokoh
Rumi sendiri memiliki alsan tertentu. Rumi adalah legenda yang menjadi kiblat
bagi para pecinta Tuhan dengan konsep transendennya. Pengalaman-pengalaman ekstasenya
yang kemudian di aplikasikan pada karya-karyanya banyak menginspirasi
orang-orang, baik yang beragama Islam maupun selain Islam. Dari beberapa sumber
yang saya baca, kepopuleran Rumi sebagai tokoh yang piawai mengajarkan ilmu
keagamaan dari menjadi guru besar di tempat tinggalnya di Konya, salah satu
pusat keilmuan di Turki pada saat itu hingga transformasinya menjadi ahli sufi
tak bisa dilepaskan dari unsur sosiobudaya dan politik pada saat itu. Pada
sekitar tarikh 1243 M, Bani Saljuk dikalahkan oleh tentara Mongol hingga
menimbulkan keresahan masa yang berdampak negatif pada sisi spiritual dan
psikologis para penduduk Timur Tengah. Paham yang masih dianut oleh khalifah
yang berkuasa pada saat itu adalah Muktazilah yang sangat mengagungkan akal
dalam pemecahan masalah hingga ke hal yang transenden sekalipun.
Namun, setelah mengalami kekecewaan perang, masyarakat menjadi goyah akan
ideologi yang selama ini mereka usung mengenai logika berpikir. Saya berasumsi
bahwa kehadiran Rumi merupakan angin segar untuk menggapai hal yang sebelumnya
tak teralisasikan dalam kehidupan nyata. Ajaran-ajaran Rumi seolah
mengisyaratkan bahwa masih ada sesuatu yang perlu digapai oleh seseorang dalam
kehidupan spiritualnya yakni kedekatan dengan Tuhan (Meskipun pada saat Rumi
telah menjadi tokoh sufi yang dianggap mumpuni banyak yang justru menganggap ia
berubah dan tak lagi mau mengajarkan ilmu agama lagi pada para muridnya).
Terlalu ironis mungkin jika dikatakan sebagai pelarian tapi mungkin ini bisa
disebut sebagai pengembangan suatu metode pencerahan jiwa kearah yang
samasekali baru.
Jika dilihat dari unsur ekstrinsiknya, sudah dipastikan novel ini sedikit
banyaknya merupakan gambaran yang memuat
realitas sejarah. Ada kesinambungan tertentu yang terjalin antara struktur
sosial dengan struktur karya. Namun, tidak semua realitas yang terjadi dalam
kehidupan nyata bisa diungkap dengan gamblang dalam suatu karya kerena ada
suatu proses seleksi tertentu yang nantinya akan menggabungkan fakta sosial dan
imajinasi. Penggunaan imajinasi bukannya hanya digunakan untuk menghibur pembaca
namun juga digunakan untuk menciptakan suatu kapasitas pemahaman mengenai
ideologi dan pesan yang ingin disampaikan pengarang.
Karya sastra, karya seni pada umumnya, menganggap imajinasi, kreativitas,
dan unsur-unsur estetis yang menyertainya, justru sebagai kualitas rekaan yang
menyediakan sejumlah energi untuk memperbaharui pola-pola yang sudah usang,
sekaligus membentuk pola-pola yang baru (Ratna, 2011:96).
Jika disinggung apakah Kimya benar-benar ada di kehidupan
nyata, bukan hanya sebagai tokoh rekaan belaka, saya tak mendapat informasi
jelas mengenai ini. Sekalipun tokoh Kimya adalah semata-mata fiksi pun, hal itu
tidak masalah samasekali, karena apa yang akan dibahas adalah realitas yang
terjadi di novel yang terkandung dalam unsur intrinsiknya dan berkaitan
langsung dengan teori Mary Wollstonecraft.
Unsur Intrinsik Novel Kimya Putri Rumi
Hal pertama yang menarik perhatian saya ketika membacanya adalah
penggunaan diksinya. Novel ini seperti tidak begitu mementingkan alur atau
jalan cerita dalam pengungkapan realitas yang terjadi. Narator menyediakan
kapasitas lebih besar untuk mengungkap pengalaman-pengalaman spiritual setiap
tokoh dengan keagungan bahasa beserta kedalaman maknanya. Pengungkapannya
mengenai bagaimana para tokoh seperti Rumi, Tabriz dan Kimya menjalani
kehidupan sehari-harinya yang sederhana tapi dengan pemaknaan yang berlimpah
seakan mengingatkan pembaca untuk menggali kedalaman spiritualnya. Bahwa
mungkin kehidupan akan lebih terarah jika kita tak sekedar memaknai kehidupan
ini hanya sebagai aktivitas budaya yang berbanding lurus dengan berjalannya
waktu. Saya rasa itulah yang menjadi ciri khas sekaligus pesan yang ingin
disampaikan pengarang. Salah satu hal menarik yang saya dapat adalah dialog
antara Akbar, salah seorang murid sekaligus pengagum Rumi dengan Sadruddin,
sahabat Rumi. Akbar begitu kecewa dengan sikap Rumi yang berubah seratus
delapan puluh derajat setelah kedatangan Syams. Ia merasa kehilangan pijakan
karena selama ini seseorang yang selalu ia agungkan telah berubah sikapnya. Ia
merasa dikhianati dan kehilangan pijakan.
‘Jagalah kemurnian cintamu pada Maulana dan kau akan lihat
segalanya akan baik-baik saja. Waktu yang akan membuktikannya. Dan ingatlah
selalu, bersabarlah.” Dia melafalkan kata terahir dengan perlahan, seolah
sedang mengajarkan kosakata baru pada anak kecil. Kembali ia tertawa dan
bangkit. ‘Sabar adalah sebuah kata, ya aku tau itu tak memikat anak muda.’
Mungkin perasaan Akbar
ini mewakili keheranan dan perasaan pembaca. Bisa dikatakan bahwa narator
seolah mengajak pembaca untuk mengembara dan mengalami keraguan akan salah satu
tokoh tapi di saat yang sama narator menghadirkan pemuasan akan keraguan itu
sendiri dengan menghadirkan karakter tokoh bandingan.
Dari unsur narasinya, novel ini bercerita mengenai perjalanan
seorang perempuan dalam menempuh perjalanan menjadi sufi wanita. Kimya
berasal dari keluarga petani yang menetap di pedalaman Anatolia di Turki.
Sejak kecil, ia telah banyak mengalami kejadian yang mengguncang sisi spiritual
dalam dirinya. Ia dianggap berbeda oleh teman sepermainan bahkan oleh orang
tuanya sendiri. Seringkali, ia terlihat seperti meninggalkan dunia tempat ia
berada dan termenung, seakan jiwanya terbang mengelana ketempat yang tak
terjangkau indra. Pada saat itu, ia tak bisa menjelaskan mengapa ia merasakan
hal itu, ia sendiripun tak mengerti hal apa yang menimpanya. Kepindahannya ke
Konya mengubah total seluruh kehidupannya. Sebagai putri angkat Rumi, Kimya
banyak belajar banyak hal terutama, sisi spiritual dan kerinduannya akan Tuhan
makin terasah. Konflik lalu timbul saat ia menikah dengan Tabriz, seorang sufi
berasal dari Syams yang juga merupakan guru Rumi. Banyak orang yang tak suka
akan keberadaan Tabriz, karena setelah kedatangannya ke Konya, Rumi tak lagi
ingin mengajar ilmu agama tapi banyak berkhalwat dengannya. Rumi seolah
menelantarkan murid-muridnya yang haus akan ilmu pengetahuan agama. Disinilah
ketahanan Kimya sebagai seorang perempuan diuji. Kimya menunjukkan bagaimana ia
bertahan menghadapi tuduhan orang-orang yang mengarah pada Tabriz sebagai orang
yang paling bertanggung jawab atas berubahnya Rumi. Para perempuan pun bergosip
bahwa Tabriz telah mengekang Kimya sedemikian rupa hingga ia tak boleh bergaul
dengan teman-temannya.
Jika dilihat dari segi karakter utama, Kimya, menurut saya,
sikap Kimya dalam menghadapi berbagai permasalahan yang menimpanya adalah
identitas karakter yang membumi sekaligus memberikan teladan. Saat usianya belum dewasapun Kimya telah
mampu menunjukan kedewasaannya dengan tak berpikiran negatif mengenai apa yang
terjadi dalam keluarganya setelah kedatangan Tabriz seperti apa yang
orang-orang pikirkan. Ia begitu tersinggung dengan gunjingan orang-orang.
Keesokan harinya, di pasar Kimya mendengar orang-orang
menyebut Syams sebagai Iblis dan ‘Betapa mengerikannya harus hidup bersamanya
dalam satu atap!’ Dia terus berjalan, tak memedulikan omongan tersebut, tapi
hatinya terasa sesak, ingin sekali ia menangis keras-keras. ‘Semua sama sekali
tidak benar. Syams bukan iblis. Ia adalah angin yang sangat dahsyat yang mengobarkan api yang membakar apapun
yang disentuhnya. Dia adalah sang pembawa berita rahasia. Dia…’ (hl. 189)
Dalam kutipan tersebut jelas bahwa adalah pribadi yang
kuat dengan segala karakter feminin yang ia miliki. Ia tidak tergoyahkan dengan
asumsi orang-orang yang mendiskreditkan kehadiran Tabriz ke tengah keluarganya.
Ia tak menggunakan pertimbangan emosi belaka ketika menghadapi masalah. Di satu
sisi, ia juga begitu membumi dengan segala kegelisahan yang ia alami ketika
melihat sikap Tabriz kepadanya. Hal ini terbukti ketika ia bertanya-tanya
mengapa suaminya seakan tak memperhatikan dirinya.
Kimya sedang berbaring di ranjang. Dia sepenuhnya terjaga.
Syams telah pergi seharian. Sekarang malam semakin larut saja tapi Syams belum
juga pulang. Apakah menikah itu hidup bersama layaknya kakak adik atau lebih
seperti ayah dan anak? Apakah menikah itu jarang sekali bertatap muka dengan
pasangannya? Kalau Syams berada di dekatnya, rasanya begitu tenang dan puas
hati. Kehadirannya entah bagaimana, mengatur ulang kenyataan dan
mempertajamnya.
Dalam cerita selanjutnya, perjalanan spiritual Kimya
menjadi semakin terasah dan berliku setelah ia mengalami berbagai peristiwa
aneh. Kimya bisa tiba-tiba berada pada satu ruangan bersama Tabriz dan Maulana
(Rumi) padahal sebelumnya ia sedang memasak
atau berbaring. Ketika ia ingat melihat tangannya, yang tampak hanyalah
lantai tempat ia duduk. Ia terkejut saat melihat ka cermin, ia samasekali tak
melihat pantulan bayangannya. Maulana menyebutnya sebagai karunia Tuhan. Namun,
justru Kimya malah merasakan kesepian karenya. Ia merasa itu adalah hal yang
menjadi penyebab utama kesendiriannya (hal. 286-287).
Karakter Kimya dan Konsep Mary Wollstonecraft
Kaitannya dengan apa teori Mary adalah konsepnya mengenai
penolakan terhadap novel yang disebut ‘picisan’ karena mendramatisir kearakter
kelemahan perempuan. Di sini, saya bukannya akan megasumsikan bahwa novel ini
adalah contoh apa yang disebut dengan karakter novel picisan atau
mengaplikasikan teori Mary mengenai konsep karakter perempuan seharusnya dengan
menganalisa karakter Kimya berdasarkan cerita. Karena, walaupun bagaimana tak
akan terjadi korelasi sebab keduanya sangat kontradiktif, Mary menceritakan
mengenai perempuan dalam kehidupan nyata sedangkan objek kajian kita adalah
tokoh fiksi dalam sebuah cerita novel. Jadi, apa yang akan dibahas? Perlu saya
jelaskan terlebih dahulu bahwa pemikiran-pemikiran Mary dilatarbelakangi oleh
banyak karya yang memarginalkan karakter perempuan dalam banyak karya sehingga
sedikit banyaknya hal itu berpengaruh terhadap perkembangan paradigma sosio
masyarakat mengenai konsep patriarki. Secara singkatnya, Mary menentang
karakter perempuan yang lebih terbelakang dalam segi pendidikan dan logika
berpikir dibanding laki-laki. Perempuan hanya mementingkan perasan dibanding
dengan intelejensi berpikir sehingga mereka lebih menyukai karya-karya yang
picisan dan termehek-mehek. Mary dengan jelas menentang itu semua terlebih,
pada kenyataannya novel picisan tersebut dikarang oleh banyak kaum pria yang samasekali
tak tau apa-apa mengenai perempuan, alasannya adalah kesangsian akan totalitas pria
dalam mengemukakan perasaan perempuan sebab mereka bukanlah perempuan. Memang
jika disinggung, hal itu adalah fiksi belaka, tapi hal yang menjadi masalah
adalah mengenai penggambaran negatif itu sendiri. Seharusnya jika karya sastra
itu fair maka tak akan ada makna
superior dan inferior dalam karya yang menggambarkan karakter perempuan tadi. Bahkan
Mary menyebutkan bahwa cara terbaik untuk menghadapi karya sastra yang
termehek-mehek dan merendahkan karakter perempuan adalah dengan menganggapnya
sebagai lelucon yang tak pantas dikonsumsi.
The best methode, I believe, that can be adopted to correct
fondness for novels is to redicule them: not indiscriminately, for them it
would have the little effect; but, if a judicious person, with some turn of
humour, would read several to a young girl. And point out both tones and apt
comparisons with patheic incidents and heroic characters in history, how
foolishly and ridiculously they caricatured human nature, just opinions might be
subtituted instead of romantic sentiments (Adam, 1996:339).
Jadi, apa yang ingin saya kemukakan adalah novel Kimya Putri Rumi ini adalah contoh ideal
dari realisasi penggambaran karakter perempuan seharusnya dalam karya sastra. Memang,
dalam esaynya Mary tak menyebutkan karya sastra apa yang mendeskripsikan
perempuan dari segi positif atau minimal segi netralnya karena memang yang
menjadi fokus utamanya adalah perempuan dalam kehidupan nyata. Namun, sedikit
banyaknya, karakter Kimya memperbaiki citra perempuan sebagai tokoh yang tak
termarginalkan sekaligus menolak mentah karakter feminis yang melibihi
kapasitasnya. Sebagai contoh, Kimya bersikap bijak dalam menghadapi konflik
batin yang disebabkan oleh berbagai peristiwa aneh dalam jiwanya dan sikap
suaminya. Kimya mengaitkan pemecahan masalahnya dengan hal transenden. Saya
rasa inilah yang menjadi nilai plus dalam karakternya. Kekayaaan jiwanya yang
telah terasah sejak ia kecil adalah suatu keagungan yang membantunya sendiri
keluar dari masalahnya.
Dia terkenang akan mawar-mawar Tabriz yang pernah dikatakan
Syams dulu jauh sebelum pernikahan mereka mawar-mawar kuning dengan tetesa
darah yang tertabut di pintu masuk pondok di hari pernikahan mereka.
‘Mawar-mawar ini begitu dekat dengan Tuhan,’ begitu katanya. Hanya hati yang
berdarah-darah yang dapat menemukannya.’ Kalimat itu dulu terdengar menakutkan
tapi sekarang dia paham apa maksudnya. Dia pernah merasa diabaikan Tuhan dan
Syams. Di tengah kegersangan yang total itu, dia jadi memahami bahwa alih-alih
melabuhkan hatinya untuk Tuhan, dia begitu bergantung pada Syams sehingga
kondisi hatinya berubah-uba, dan kehilangan pijakan. Sekarang ia mengerti!
Tanpa pijakan itu yang tersisa hanyalah kepedihan. Itulah perbedaannya! Cinta,
cinta sejati, adalah sama seperti seseorang yang melihat melalui jendela Tuhan.
Selain itu hanyalah keterikatan, dan keterikatan itu seperti kita terjatuh dari
jendela itu. Dia diliputi kelegaan. Seseorang bisa saja mencintai tanpa
menginginkan balasan apapun dari orang yang ia cintai! (hal.316)
Saya tak menyinggung ini sebagai masalah yang pantas untuk digiring ke
ranah faminisme. Karena, terdapat perbedaan yang mendasar di sini mengenai
sejarah konsep feminisme itu sendiri. Selalu ada konfrontasi antara perbandingan
perkembangan feminisme Barat dan Timur. Seperti yang kita tau bahwa sejarah
feminisme Barat begitu kelam hingga menimbulkan pemberontakan yang berlangsung
hingga sekarang dan berakibat pada ekses negatif yang membawa pada aliran
ekstrimis sedangkan di Timur sendiri, seperti banyak di negara-negara Timur
Tengah, feminisme menjadi hal krusial karena ketidakpastiannya akan
eksistensinya antara wilayah sosial dan agama. Dalam karya ini bagaimanapun,
tujuan analisa saya bukanlah untuk berargumen di satu sisi membenarkan apa yang
Mary ungkapkan mengenai konsep feminismenya. Tapi, seperti yang telah
dijelaskan di atas, mencoba menyoroti karakter tokoh seorang perempuan dalam
karya yang bertema sufistik.
Kesimpulannya adalah kehadiran tokoh Kimya dalam karya sastra yang bertema
sufistik ini telah memposisikan karakter prempuan dengan identitas femininnya
untuk berada dalam ranah sebagai tokoh yang termarginalkan tapi justru membuatnya
menempati wilayah istimewa karena kedekatannya dengan Tuhan.
Daftar Pustaka
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra; dari Strulturalisme
Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hazard, Adams. 1996.
Critical Theory Since Plato. Harcourt
Brace Jovanovich Collage Publishers.
Maufroy, Maurel.
2004. Kimya Putri Rumi. Bandung:
mizan.
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar