Rabu, 19 Oktober 2011

Madah Cinta Jalal al-Din al-Rumi dalam Film Ketika Cinta Bertasbih

         Jalal al-Din al-Rumi merupakan salah satu sufi-penyair terbaik yang pernah lahir di muka bumi ini. Jasad sang sufi-penyair ini bisa saja kini telah hilang menyatu dengan unsur-unsur bumi, dan ruhnya telah kembali ke haribaan Ilahi Rabbi sembari terus mengumandangkan madah (pujian)-cinta untuk sang kekasih dari dulu hingga kini. Madahnya selalu saja tersenandungkan lewat para pencintanya dengan berbagai ekspresi emosi, waktu, dan ruang. Salah satunya adalah terdapat beberapa bait syair dari Jalal al-Din al-Rumi yang dibaca oleh beberapa pemeran utama dalam film Ketika  Cinta Bertasbih. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Cinta adalah kekuatan,
yang mampu mengubah duri jadi mawar,
mengubah cuka jadi anggur,
mengubah sedih jadi riang,
mengubah amarah jadi ramah,
mengubah musibah jadi muhibbah,
itulah cinta..
(Petikan Syair Cinta Rumi ini diadaptasi dari Matsnawi 
dan dibacakan oleh Ayyatul Husna)
—–

Sekalipun cinta telah ku uraikan,
dan ku jelaskan panjang lebar,
namun jika cinta kudatangi,
aku jadi malu pada keteranganku sendiri…
meskipun lidahku telah mampu menguraikan,
namun tanpa lidah, cinta ternyata lebih terang..
sementara pena begitu tergesa-gesa menuliskannya..
kata-kata pecah berkeping-keping,
begitu sampai kepada cinta..
dalam menguraikan cinta,
akal terbaring tak berdaya,
bagaikan keldai terbaring dalam lumpur..
cinta sendirilah yang menerangkan cinta dan percintaan..
(Petikan Syair Cinta Rumi ini diadaptasi dari Diwan Syams al-Tabriz 
dan dibacakan oleh Anna AlthaFunnisa)

     Kesan saya terhadap syair-syair Rumi adalah:
           Syair cinta Rumi adalah keabadian
           tak mati di lintasan waktu
           Tak lekang di semaian zaman
           senandungkan dengan hati demi perdamaian…

        Nilai-nilai yang diusung dalam Puja-Puji Rumi adalah cinta abadi kepada sang Pemilik Cinta (Allah) yang termanifestasikan dalam nilai-nilai insaniyyah (kemanusiaan). Pesan cinta yang ingin disampaikan melewati batas-batas wilayah-geografis, suku bangsa, waktu, bahkan agama. Siapapun dapat mereguk nikmatnya cinta yang ingin dibaginya, tanpa harus mengukur jarak fisik, psikologi, dan keberagamaannya. Baginya, Allah adalah Sang MahaCinta yang tidak pilih kasih membagi sinar matahari dan rembulan bagi siapa pun yang menyadari dan mensyukuri keberadaan keduanya.
       Nilai-nilai universalitas cinta dari Rumi sepadan dengan seruan cinta dari para penyeru cinta pada masa klasik, seperti disenandungkan oleh Rabi'ah al-Adawiyyah, Junaid al-Badghdadi, al-Hallaj, dan Ibn al-'Arabi. Demikian pula, keuniversalitasan cinta adalah tema utama yang diusung oleh para penulis modern seperti Kahlil Gibran. Cermati puisi Gibran di bawah ini:

Cinta tak memberikan apa-apa kecuali dirinya sendiri
Dan tiada mengambil apa pun kecuali dari dirinya sendiri.
Cinta tiada memiliki, pun tiada ingin dimiliki;
Karena cinta telah cukup bagi cinta.
Pabila kau mencintai kau takkan berkata, “Tuhan ada di dalam hatiku,”
Tapi sebaliknya, “Aku berada di dalam hati Tuhan”.
Dan jangan mengira kaudapat mengarahkan jalannya Cinta,
Sebab cinta, pabila dia menilaimu memang pantas, mengarahkan jalanmu.
Cinta tak menginginkan yang lain kecuali memenuhi dirinya.
Namun pabila kau mencintai dan terpaksa memiliki berbagai keinginan,
Biarlah ini menjadi aneka keinginanmu:
Meluluhkan diri dan mengalir bagaikan kali,
yang menyanyikan melodinya bagai sang malam.
(Kahlil Gibran)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar