Senin, 03 Oktober 2011

Martin Lings: Sufi-Penyair dari Inggris




 Perjalanan Pun Dimulai       
       Martin Lings (atau dikenal dengan nama Abu Bakar Siraj al-Din) dikenal sebagai sarjana dan penulis muslim sufi. Ia merupakan ahli Shakespeare serta murid dan pengikut Rene Guenon dan Frithjof Schuon. Ia lahir di Burnage, Lancashire, Manchester, tanggal 24 Januari 1909 pada sebuah keluarga Protestan. Meski begitu, dia banyak menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanyanya di Amerika Serikat, mengikuti ayahnya. Kembali ke Inggris, dia bersekolah di Clifton College, Bristol. Setelah itu, Lings melanjutkan pendidikan di Magdalen College, Oxford, belajar literatur Inggris dan memperoleh gelar BA tahun 1932. Saat sekolah di Magdalen ini ia berteman dengan C.S. Lewis. Pada tahun 1935, dia pergi ke Vyatautas Magnus University di Lithuania, menjadi pengajar studi Anglo-Saxon dan Inggris Abad Pertengahan.
      
        Salah satu moment penting pada masa ini adalah ketika ia menemukan dan membaca mendalam dari karya René Jean Marie Joseph Guénon (dikenal dengan nama Abd al-Wahid Yahya; ahli metafisika Perancis yang kemudian masuk Islam).  Dia lantas menjadi asisten pribadi serta penasehat spiritual Guenon. Pada saat yang sama Ia pun pergulatannya dengan Frithjof Schuon (ahli metafisika perenialis dan spiritual Islam berasal dari Jerman). Karenanya wajar apabila kemudian kedua tokoh di atas, sedikit banyak, mempengaruhi intelektualitas dan kepenyairan Martin Lings.
      Tahun 1939-1940, Lings datang ke Mesir mengunjungi seorang temannya yang kebetulan mengajar di Universitas Kairo. Ia pun mulai mengakrabi bahasa Arab. Akan tetapi, pada saat kunjungannya itu, sang teman meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Lings ditawari untuk mengisi posisi temannya sebagai pengajar bahasa Inggris. Dia menerima tawaran tersebut dan akhirnya tinggal di Mesir hampir lebih dari satu dekade. Di tengah-tengah aktivitas mengajarnya, ia sempat beberapa kali menulis naskah drama (paly) Shakespeare dan memerankannya di Mesir. Saat inilah, Lings sangat intens mempelajari Islam. Setelah banyak berhubungan dengan ajaran Sufi Shadlhiliyya, dia berketetapan hati untuk masuk Islam. 

Terjun ke dunia Sastra dan Seni
        Tahun 1944 menjadi tahun bersejarah bagi Lings. Pertama, dia menikah dengan Lesley Smalley, keduanya lantas tinggal di sebuah kamp pengungsi di dekat piramid. Kedua, tahun itulah awal kiprahnya di bidang seni, dengan memproduksi sandiwara “Shakespeare”. Para pemainnya tak lain adalah para muridnya.
Ia memang senang mempelajari karya-karya pujangga itu. Ketertarikannya pada karya-karya Shakespeare lantas membawanya, sekitar 40 tahun kemudian, membuat buku berjudul The Secret Of Shakespeare: His Greatest Plays Seen In The Light Of Sacred Art.
      Lings mungkin sudah memutuskan untuk tinggal selamanya di Mesir, namun situasi politik mengubah segalanya. Revolusi anti-Inggris oleh kaum Nasionalis pimpinan Abdul Naser, pecah, dan seluruh staf universitas berbangsaan Inggris terpaksa diungsikan. Kembali ke London tahun 1952, tanpa punya pekerjaan, Lings memutuskan untuk melanjutkan studi. Sementara Lesley yang berprofesi sebagai psikoterapis, bekerja sesuai bidangnya itu.
        Setelah berhasil memperoleh gelar BA pada jurusan studi Arab, dia juga memperoleh gelar PhD dari School of Oriental and African Studies (SOAS) untuk tesisnya tentang seorang sufi terkenal asal Aljazair, Ahmad Al-Alawi. Itu sekaligus menjadi basis dari salah satu bukunya yang terkenal berjudul A Sufi Saint of the Twentieth Century. Kemudian tahun 1955, dia bekerja sebagai asisten penelaah Naskah-naskah dan Buku-buku Ketimuran (overseeing eastern manuscripts and other textual) pada British Museum. Pekerjaan itu dilakoninya hingga dua dekade. Tahun 1973, Lings merangkap kerja di British Library, di mana dia memfokuskan perhatiannya terhadap kaligrafi Quran. Saat ini, ia banyak mengkontribusikan beberapa tulisannya pada jurnal, Studies in Comparative Religion. Beberapa tahun kemudian, dia mempublikasikan karya klasiknya pada subyek yang sama; The Qur’anic Art Of Calligraphy And Illumination, bertepatan dengan penyelenggaraan Festival Dunia Islam tahun 1976.
       Sejak itu, Lings pun mulai menulis secara teratur. Karya-karyanya, selain Sufism dan buku-buku lainnya, meliputi juga artikel mengenai tasawuf pada terbitan Cambridge University, Religion in the Middle East, The Eleventh Hour: The Spiritual Crisis of the Modern World in the Light of Tradition and Prophecy. Bahkan sebagai ahli Shakespeare, ia banyak menulis tentang Shakespeare dalam dimensi pemaknaan mendalam dan kental dengan pandangan spiritulitas Islam. Dalam beberapa tulisan terakhir, buku Lings tentang Shakespeare (yang diberi pengantar oleh Charles, Pangeran Wales), ia memberikan pandangan khasnya dalam Shakespeare's Spirituality: A Perspective. An Interview With Dr. Martin Lings. Tulisan-tulisan Lings dan lainnya pada Jurnal-Jurnal di Eropa dan Amerika ini turut andil dalam memperluas cakrawala dunia Barat dalam memahami ketinggian Islam.
        Namun, dari semua itu, salah satu karyanya yang paling menonjol adalah buku berjudul Muhammad: His Life Based On The Earliest Sources (pertama kali dipublikasikan pada tahun 1983), yang dia dedikasikan untuk pemimpin Pakistan, Zia ul-Haq. Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, yang sungguh luar biasa. Dengan keahlian yang seolah tak tertandingi, Martin Lings menghadirkan pada kita riwayat hidup Nabi Muhammad SAW dengan narasi dan detil mengagumkan. Buku tersebut, oleh banyak kalangan dinilai sebagai salah satu buku biografi Rasul terbaik yang pernah diterbitkan. Hanya seorang berkemampuan istimewalah yang dapat menghasilkan buku sedemikian menyentuh.
      Melalui karya-karyanya, semisal terjemahan teks Islam, puisi, seni, dan filsafat, dapatlah diketahui kualitas keilmuannya. Sering disejajarkan dengan Titus Burckhardt, Rene Guenon, Fritjhof Schuon, eksistensi Lings identik dengan seorang sufi yang gigih dalam menyebarkan Islam di Barat. Namun di luar itu semua, hal yang paling berkesan dari Lings adalah keterkaitan karya dengan jiwa ihsan (keindahan dan kecemerlangan) yang dimilikinya. Ini pada akhirnya, membuat dia akan selalu menganggap bahwa nilai estetis dari sebuah tulisan bagaikan artefak keimanan.
      Ditulis dari perspektif seorang cendekiawan-sejarahwan yang juga mempraktekkan Islam dalam keseharian, buku tersebut cepat terkenal dan menjadi bacaan wajib mengenai kehidupan Nabi Muhammad. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam 10 bahasa serta memperoleh sejumlah penghargaan dari dunia Islam.
Profesor Hamid Dabashi dari Columbia University, mengungkapkan kekagumannya. “Ketika membaca buku Muhammad karya Lings, kita akan bisa merasakan semacam efek kimia pada narasi dan komposisi bahasa yang terkombinasi dengan keakuratan serta gairah syair. Lings adalah cendekiawan-penyair,” katanya.
     Komitmennya dalam Islam terbawa sepanjang hayat. Bahkan 10 hari sebelum meninggal dunia, Lings masih sempat menjadi pembicara di depan 3 ribu pengunjung pada acara Maulid Nabi Muhammad, bertajuk ‘Bersatu untuk Sang Nabi’ yang diadakan di Wembley. Dan Lings mengatakan, itu adalah pertama kalinya dia berbicara mengenai makna kehidupan Nabi Muhammad dalam waktu 40 tahun. Tepat tanggal 12 Mei 2005 lalu, Martin Lings, menghembuskan nafas terakhir dalam usia 96 tahun. Umat Islam di seluruh dunia pun berkabung atas wafatnya penyair sufi modern terkemuka ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar