Oleh: Ahmad Yulden
Erwin
Dalam sejarah perkembangan agama Islam di
Nusantara, ada beberapa tokoh Islam yang dikenal sangat dipengaruhi oleh ajaran
sufi dari Al Hallaj. Di tanah Jawa kita mengenal tokoh sufi yang bernama Syeikh
Siti Jenar, atau sering juga dikenal dengan panggilan Syeikh Lemah Abang.
Syeikh Siti Jenar ini dalam beberapa penelitian para ahli dikatakan salah satu
wali dari sembilan wali yang dianggap menjadi penyebar agama Islam di
Nusantara. Tetapi, dalam beberapa penelitian ahli lainnya, Syeikh Siti Jenar
dianggap bukan salah seorang dari sembilan wali tersebut. Namun, yang jelas,
kisah hidup Syeikh Siti Jenar hampir mirip dengan Al Hallaj di tanah Persia.
Syeikh Siti Jenar juga dihukum mati oleh para wali karena dianggap telah
menyesatkan umat dengan ajaran “Manunggaling Kawulo Gusti”, atau paham kesatuan
antara mahluk dengan Tuhan. Ajaran “Manunggaling Kawulo Gusti” dari Syeikh Siti
Jenar ini mirip dengan ajaran “Wahdatul Al Wujud” yang dikembangkan dan
dipraktekkan oleh Al Hallaj.
Namun, dalam perkembangan berikutnya,
juga ada seorang tokoh sufi lain di Nusantara yang juga dipengaruhi sangat kuat
oleh paham Wahdatul Wujud dari Al Hallaj ini, yaitu seorang putra Aceh yang
bernama Syeikh Hamzah Fansuri. Beliau adalah seorang sufi dari Aceh yang hidup
pada abad ke-17. Menurut para peneliti dan ahli sejarah Aceh, waktu dan tempat
kelahiran Hamzah Fansuri tidaklah diketahui. Ada sebagian ahli mengatakan ia
lahir di negeri Barus yang waktu itu masuk dalam kerajaaan Aceh (sekarang
termasuk salah satu daerah di Provinsi Sumatera Utara). Tetapi Prof. A. Hasjmy
dari Aceh berpendapat bahwa Hamzah Fansuri lahir di daerah Fansur, yaitu suatu
kampung yang terletak di antara Kota Singkel dengan Gosong Telaga (Aceh
Selatan). Dalam jaman kerajaan Aceh Darusalam, kampung Fansur ini dikenal
sebagai pusat pendidikan Islam.
Kecuali di Aceh sendiri, Syeikh Hamzah
Fansuri juga belajar di berbagai tempat dalam pengembaraannya seperti di Jawa,
India, Parsia, Arabia dan lain sebagainya. Beliau dikenal sebagai seorang sufi
yang zuhud dan banyak menguasai ilmu seperti ilmu fiqih, tasauf, logika,
filsafat, sastra, dan bahasa.
Sekembalinya dari pengembaraan, beliau
mulai mengajar di Barus, kemudian di Banda Aceh, dan terakhir beliau mendirikan
Dayah (Madrasyah) di daerah tempat lahirnya, dekat Rundeng (Singkel). Di tempat
kelahirannya ini pula kemudian beliau wafat sekitar tahun 1607-1610. Beliau
memiliki banyak murid, tetapi yang paling terkenal adalah Syeikh Syamsudin Sumatrani
yang berasal dari Samudra/Pase, yang menjadi qadi (penasehat agama) Sultan
Iskandar Muda yang wafat pada tahun 1630.
Di dalam hal taswuf atau ilmu kesufian,
Syeikh Hamzah Fansuri menganut paham Wahdat Al Wujud, yaitu paham kesatuan
antara Mahluk dan Tuhan. Dalam hal ini beliau sangat dipengaruhi oleh para sufi
seperti Muhyidin Ibnu Arabi, Abdul Karim Jili, Al Hallaj, Bayazid Al Bistami,
Fariduddin Attar, Jalaluddin Rumi, Al Ghazali dan lainnya.
Pada saat itu di Sumatera, khususnya di
Aceh, tengah terjadi perdebatan sengit tentang paham Wahdat Al Wujud yang
melibatkan ahli-ahli tasawuf, ushuludin, dan fiqih pada saat itu. Perdebatan
ini dibicarakan antara lain oleh Syeikh Nuruddin Ar-Raniri di dalam buku Bustan
Al-Salatin, yang menentang paham Wahdat Al-Wujud dari Syeikh Hamzah Fansuri dan
para muridnya.
Perdebatan itu akhirnya memuncak menjadi
perseteruan bernuansa politik. Pada masa Sultan Iskandar Tsani (1937-1641),
Syeikh Nuruddin Ar-Raniri diangkat menjadi qadi Sultan. Pada masa itu pula,
Syeikh Nuruddin Ar-Raniri kerap menyatakan di dalam khutbah-khutbahnya bahwa
ajaran tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri dan Syeikh Syamsudin Sumatrani telah
sesat, karena termasuk ajaran kaum zindiq dan pantheis. Kemudian atas saran
Syeikh Nuruddin Ar-Raniri dan ulama istana Aceh pada waktu itu, Sultan Iskandar
Tsani memerintahkan pembakaran ribuan buku karangan penulis penganut paham
Wahdat Al Wujud di halaman masjid Raya Kutaraja. Karya-karya Syeikh Hamzah
Fansuri juga termasuk yang dibakar. Bahkan, para murid dan pengikut Syeikh
Hamzah Fansuri banyak yang dikejar-kejar dan dibunuh.
Karya-karya Hamzah Fansuri yang selamat
dari pembakaran buku di halaman masjid Raya Kutaraja tersebut tidaklah banyak.
Di antaranya, buku yang berjudul Asrarul Arifin, Syarabul Asyikin, serta beberapa
puisi sufi seperti Rubai, Syair Perahu, Syair Burung Pingai, dll.
Semasa hidupnya, Syeikh Hamzah Fansuri
bukan hanya seorang ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka, tetapi juga seorang
perintis dan pelopor keilmuan dan kebudayaan Melayu. Kritik-kritiknya yang
tajam terhadap prilaku politik dan moral raja-raja, bangsawan dan orang-orang
kaya menempatkannya sebagai seorang sufi yang berani pada jamannya. Karena itu
tidaklah mengherankan apabila kalangan istana Aceh tidak menyukai kegiatan
Syeikh Hamzah Fansuri dan pengikutnya.
Di bidang keilmuan Syeikh Hamzah Fansuri
telah mempelopori penulisan risalah tasawuf dan keagamaan secara sistematis dan
bersifat ilmiah di dalam bahasa Melayu. Sebelum karya-karya Syeikh Hamzah
Fansuri muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah keagamaan,
tasawuf, dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab dan
Persia. Di bidang sastra, Syeikh Hamzah Fansuri telah mempelopori penulisan
puisi-puisi sufistik yang bercorak Melayu. Bahkan menurut sebagian ahli sasta
Indonesia saat ini, Syeikh Hamzah Fansuri adalah orang pertama yang menuliskan
puisi berbentuk pantun dalam bahasa Melayu.
Di bidang kebahasaan, sumbangsih Syeikh
Hamzah Fansuri juga sangat besar. Sebagai penulis pertama kitab keilmuan dan
sastra dalam bahasa Melayu, beliau telah berhasil mengangkat naik martabat
bahasa Melayu dari sekedar bahasa lingua franca (bahasa pergaulan sehari-hari),
menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi seni sastra yang modern. Tak
mengherankan jika pada abad ke-17, bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar di
berbagai lembaga pendidikan Islam, disusul dengan penggunaannya oleh para
misionaris Kristen untuk penyebaran agama, kemudian digunakan pula oleh
pemerintah kolonial Belanda sebagai bahasa administrasi dan pengantar di
sekolah-sekolah pemerintah. Inilah yang memberi peluang besar kepada bahasa
Melayu untuk dipilih serta ditetapkan menjadi bahasa persatuan dan kesatuan
bagi bangsa Indonesia dan Malaysia.
Namun, yang paling penting, dan sering
luput dari perhatian para ahli sejarah dan agama tentang Aceh, adalah ajaran
sufi atau tasawuf dari Syeikh Hamzah Fansuri yang sangat universal dan masih
tetap relevan bagi bangsa Indonesia bahkan dunia saat ini. Ajaran sufi dari
Syeikh Hamzah Fansuri sangat spiritual, humanis, dan mampu melintasi
sekat-sekat kemanusiaan yang tercipta akibat pandangan sempit kesukuan, ras,
serta agama.
Jalan Sufi adalah Jalan Menemukan Jati
Diri
Menurut Syeikh Hamzah Fansuri, seseorang
yang hendak memasuki jalan sufi, jalan spiritual, jalan untuk bertemu Tuhan
yang abdi, haruslah memulai perjalanannya dengan mengenal Jati Dirinya terlebih
dahulu. Simaklah syair yang ditulis beliau berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada
bagian I di bait 1:
“Sidang Faqir empunya kata,
Tuhanmu Zahir terlalu nyata.
Jika sungguh engkau bermata,
lihatlah dirimu rata-rata”.
Tuhanmu Zahir terlalu nyata.
Jika sungguh engkau bermata,
lihatlah dirimu rata-rata”.
Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, kehadiran
Tuhan itu sangatlah Maha Nyata (Zahir). Karena itu sang sufi, atau disebut
sebagai Faqir, adalah orang yang telah meninggalkan keterikatannya pada segala
sesuatu di luar dirinya, dan memulai perjalanan ruhaninya dengan “melihat” atau
mengenali dirinya sendiri setiap saat.
Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri
menegaskan bahwa untuk mengenal Jati Diri, seorang sufi harus memulai dengan
suatu metode tafakur tertentu, suatu latihan tertentu. Suatu metode atau
latihan yang sebenarnya juga banyak digunakan oleh berbagai aliran mistik
keagamaan atau spiritual di berbagai belahan dunia, yang lebih dikenal dengan
istilah meditasi. Selama ini pengertian meditasi atau tafakur sering
disalahtafsirkan hanya sebagai latihan pernapasan, atau berzikir, atau merapal
mantra. Tetapi Syeikh Hamzah Fansuri menjelaskan dengan tepat esensi dari
tafakur atau meditasi atau latihan sufi di dalam syair berjudul “Sidang Ahli
Suluk” pada bagian I di bait 9:
“Hapuskan akal dan rasamu,
lenyapkan badan dan nyawamu.
Pejamkan hendak kedua matamu,
di sana kaulihat permai rupamu”.
lenyapkan badan dan nyawamu.
Pejamkan hendak kedua matamu,
di sana kaulihat permai rupamu”.
Syeikh Hamzah Fansuri dengan sangat jelas
menyatakan bahwa setiap tafakur atau metode latihan sufi apa pun harus dimulai
dengan “hapuskan akal dan rasamu”, yang berarti suatu cara untuk menuju kepada
kondisi “No-Mind”,
kondisi berada dalam Kesadaran Murni atau Kesadaran Ilahi. Untuk mencapai
kondisi “No-Mind”
tersebut, maka seorang sufi harus “lenyapkan badan dan nyawamu”, yang berarti
melepaskan keterikatan terhadap tubuh dan berbagai pemikiran atau nafsu
(nyawa). Setelah itu, barulah sang sufi memejamkan kedua mata inderawinya,
untuk mengaktifkan “mata-ruhaninya”, guna melihat rupa dari Jati Dirinya yang
senantiasa berada dalam kondisi permai, kondisi “bahagia yang abadi”. Inilah
sesungguhnya inti dari tafakur atau meditasi menurut Syeikh Hamzah Fansuri.
Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri
mengisahkan pengalamannya mencari dan menemukan Tuhan, menemukan Allah yang
lebih dekat dari urat lehernya sendiri, menemukan Jati Dirinya sendiri. Simak
syair berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian 3 di bait 14:
“Hamzah Fansuri di dalam Mekkah,
mencari Tuhan di Bait Al-Ka’bah.
Dari Barus ke Qudus terlalu payah,
akhirnya dijumpa di dalam Rumah”.
mencari Tuhan di Bait Al-Ka’bah.
Dari Barus ke Qudus terlalu payah,
akhirnya dijumpa di dalam Rumah”.
Sebagai seorang Guru Sufi atau Murshid,
Syeikh Hamzah Fansuri memang mendidik para muridnya berdasarkan pengalaman
pribadinya sendiri. Seorang Murshid hanya membagi pesan atau memberi contoh
berdasarkan pengalaman yang pernah dilakoninya. Begitu pula dengan Syeikh
Hamzah Fansuri, beliau dengan jujur mengungkapkan bahwa selama ini ia telah
bersusah payah mencari Tuhan di luar dirinya, hal ini disimbolkan dengan Ka’bah
atau pun Qudus (nama mesjid di Yerusalem tempat kiblat sholat pertama umat
Islam sebelum Ka’bah di Mekkah). Proses pencarian Tuhan di luar dirinya
tersebut telah membawanya mengembara ke mana-mana meninggalkan kampung
halamannya yang bernama Barus di Aceh. Tetapi, akhirnya beliau tersadar, bahwa
Tuhan yang selama ini dicarinya di luar diri, ternyata “dijumpa” di dalam
“Rumah”, di dalam dirinya sendiri. Proses “perjumpaan” dengan Tuhan di dalam
dirinya sendiri ini telah mengakhiri “pencarian” yang meletihkan dari seorang
Hamzah Fansuri, sehingga beliau layak disebut sebagai seorang Syeikh, seorang Guru
Sufi, seorang Murshid yang mendidik para muridnya berdasarkan pengalaman
pribadinya sendiri.
Bagi seorang sufi sejati, penemuan Tuhan
sebagai Jati Dirinya sendiri akan membuat hidupnya benar-benar bebas dari
segala keterikatan apa pun, ia berada dalam “Kemiskinan Ilahiah”, kemiskinan
yang membebaskannya dari segala kemelekatan pada kesementaraan benda-benda,
pada ilusi dunia yang tercipta dari pikirannya sendiri. Ia bersiap sedia
mengurbankan dirinya demi melayani Kehendak Ilahi. Ia tidak lagi tersekat-sekat
dalam pandangan sempit kesukuan atau fanatisme agama, karena ia telah menyadari
bahwa keberadaannya yang sementara selalu berada dalam Keberadaan Sang Maha
Abadi. Ia sadar bahwa fungsinya di dalam dunia hanyalah menjadi perantara atau
pembawa pesan dari Keabadian, dari Allah yang senantiasa bersemayam dalam
hatinya. Itulah yang diungkapkan oleh Syeikh Hamzah Fansuri, yang saya kutip
secara bebas, di dalam syair yang berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian 1 di
bait 11:
“Hamzah miskin orang terbebaskan,
seperti Nabi Ismail menjadi qurban.
Fansuri bukannya Persia lagi Arabi,
selalu menjadi perantara dengan yang Baqi”.
seperti Nabi Ismail menjadi qurban.
Fansuri bukannya Persia lagi Arabi,
selalu menjadi perantara dengan yang Baqi”.
Kesatuan Hamba dan Tuhan di dalam Kasih
Pandangan kesufian Hamzah Fansuri memang
sangat universal. Bagi Hamzah Fansuri, ketika seorang manusia mencari hakekat
Tuhan di dalam dirinya, maka ia pasti akan menemukan bahwa Tuhan dan hamba
tiadalah berbeda. Simak salah satu bait dari “Syair Perahu” yang ditulis oleh
Beliau:
“La Ilaha Il Allah itu kesudahan kata,
Tauhid ma’rifat semata-mata,
Hapuskan kehendak sekalian perkara,
Hamba dan Tuhan tiada berbeda.”
Tauhid ma’rifat semata-mata,
Hapuskan kehendak sekalian perkara,
Hamba dan Tuhan tiada berbeda.”
Saya pikir, ungkapan Syeikh Hamzah
Fansuri ini sangat berani pada masanya. Beliau dengan berani mengungkapkan
hijab atau tirai yang menutupi pandangan sempit atau ketidaksadaran umat Islam
pada masa itu. “La Ilaha Il Allah itu kesudahan kata,” benar sekali pandangan
Syeikh Hamzah Fansuri dalam syair ini. Kalimat tauhid yang menjadi inti ajaran
Islam ini, La Ilaha Il Allah, Tiada Tuhan Selain Allah, adalah sesungguhnya
akhir dari setiap perkataan, akhir dari pikiran, akhir dari segalah ilusi,
untuk menuju keadaan: “Tauhid ma’rifat semata-mata,” suatu keadaan ketika
seluruh pikiran dan pengalaman telah terlampaui, suatu Keadaan Murni yang
dikenal dengan istilah “No-Mind”.
Namun, tentu saja, untuk mencapai Keadaan
Murni ini, seorang sufi harus mampu untuk “hapuskan kehendak sekalian perkara,”
untuk melampaui setiap kehendak yang masih terikat kepada berbagai perkara yang
digerakkan oleh nafsu-nafsu rendah, oleh kepicikan pikiran yang egoistik,
sehingga tercapailah suatu kondisi ketika “Hamba dan Tuhan tiada berbeda.”
Inilah sesungguhnya makna dari tauhid, makna dari ungkapan La Ilaha Il Allah,
Tiada Tuhan Selain Allah, yaitu suatu Keadaan Murni ketika seluruh kehendak
telah terlampaui, maka hamba dan Tuhan tiada berbeda. Namun, dalam hal apa
hamba dan Tuhan itu tiada berbeda?
Mari kita simak pandangan Syeikh Hamzah
Fansuri yang lain dalam kutipan berikut ini dari buku Zinat Al Wahidin
(Tentang Keesaan Allah) pada Bab Kelima:
“……..Alam ini seperti ombak. Keadaan
Allah seperti Laut. Sungguh pun ombak lain daripada laut, pada hakikatnya tiada
lain daripada laut.
“Nabi
Muhammad pernah bersabda: Allah menjadikan Adam atas RupaNya………….
“Selain
itu Rasullah juga pernah bersbada: Allah menjadikan Adam atas Rupa-Rahman.
Karena Rahman disebutkan sebagai Laut, maka Adam disebutkan sebagai buih…………..”
Berdasarkan uraian dalam bukunya di atas,
dapatlah disimpulkan pandangan Syeikh Hamzah Fansuri tentang ketauhidan
universal punya dasar yang cukup kokoh dalam ajaran Islam berdasarkan sabda
Rasul Muhammad SAW sendiri. Syeikh Hamzah Fansuri menggunakan satu permisalan
yang sudah cukup dikenal di dalam ajaran sufi dan mistikisme di dunia, yaitu
ombak dan laut. Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, alam dan segala isinya ini
merupakan “Gerak Ilahi” yang termanifestasi, dan ia ibaratkan sebagai ombak
dari lautan. Sedangkan “Keadaan Allah”, suatu kondisi ketika manusia mengalami
Kesadaran Ilahiah atau Kesadaran Murni, seperti lautan itu sendiri. Ombak
hanyalah bentuk lain dari laut. Pada hakekatnya, ombak dan laut itu satu
bentuk, yaitu air.
Syeikh Hamzah Fansuri dengan
pengetahuannya yang luas dan mendalam juga menambahkan kutipan dari sabda Rasul
yang mungkin tidak cukup populer di kalangan umat Islam saat ini. Di dalam
hadis itu diungkapkan bahwa Allah juga menjadikan Adam menurut Rupa Rahman
(Yang Maha Pengasih). Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, wujud “Lautan Ilahiah” itu
adalah sifat Yang Maha Pengasih, adalah “Kasih” itu sendiri. Maka, sesuai
dengan sabda Rasul, jika Allah adalah Kasih itu sendiri, sudah tentu Manusia
adalah buih dari Kasih itu sendiri. Inilah inti dari ajaran kesufian dari
Syeikh Hamzah Fansuri, yaitu: Tauhid-Kasih, bahwa hakekat manusia dan seluruh
alam ini adalah Kasih.
Dalam hal apa hamba dan Tuhan tiada
berbeda? Menurut Syeikh Hamzah Fansuri, Tuhan dan Hamba tiada berbeda dalam
perwujudannya sebagai Kasih. Kemudian Syeikh Hamzah Fansuri memperluas definisi
Cinta Ilahi ini menjadi “pelayanan tanpa pamrih” kepada sesama manusia dan
mahlukNya. Seperti kutipan berikut dalam kitab yang sama: “Barangsiapa cinta
akan Allah, maka hendaknya ia melakukan kebaktian pula.”
Relevansi Ajaran Syeikh Hamzah Fansuri
Pesan-pesan yang dibawa Syeikh Hamzah
Fansuri masih sangat relevan dengan kondisi kehidupan beragama di Indonesia
saat ini. Syeikh Hamzah Fansuri sangat menekankan agar manusia selalu beusaha
untuk menemukan Jati Diri yang Ilahi di dalam diri manusia sendiri. Jati Diri
manusia itu sesungguhnya “berada” dengan kenyataan yang sama, kesatuan umat manusia
dan seluruh mahluk-Nya di dalam Kasih. Seperti yang terungkap dalam terjemahan
bebas saya atas salah satu syairnya yang berjudul “Minuman Para Pencinta” pada bagian 5 di bait
3 berikut ini:
“Rahman
itulah yang bernama semesta,
Keadaan Tuhan yang wajib disembah dan dipuja.
Kenyataan Islam, Nasrani, dan Yahudi sebenarnya sama:
dari Rahman itulah sekalian menjadi nyata.”
Keadaan Tuhan yang wajib disembah dan dipuja.
Kenyataan Islam, Nasrani, dan Yahudi sebenarnya sama:
dari Rahman itulah sekalian menjadi nyata.”
Coba kita bayangkan, seorang sufi dan
ulama pada abad ke 17 di Aceh telah memiliki pandangan “Tauhid-Kasih” seperti
ini. Kalau pandangan Syeikh Hamzah Fansuri ini disebarluaskan di dunia Islam
saat ini, maka selesailah berbagai pertentangan atas nama agama yang disebabkan
oleh fanatisme sempit. Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, hakikat semua agama itu
sama, yaitu sifat Rahman dari Allah, sifat Yang Maha Pengasih dari Allah, atau
bisa juga disebut Allah sebagai Yang Maha Kasih itu sendiri. Karena Kasih itu
sendiri menjelma manjadi semesta, maka Allah dan wujudNya sebagai Kasih itu
pula sesungguhnya yang wajib disembah dan dipuja oleh semua agama. Esensi agama
Islam adalah Kasih. Esensi agama Nasrani adalah Kasih. Esensi agama Yahudi
adalah Kasih. Jadi, apa gunanya melakukan peperangan atas nama agama?
Demikianlah kira-kira menurut pemahaman saya tentang pesan Syeikh Hamzah
Fansuri dalam salah satu syairnya tersebut.
Tetapi, sungguh sangat ironi, jika saat
ini yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Pertikaian atas nama agama
justru semakin berkembang di Indonesia. Makin lama justru makin menajam.
Segelintir orang yang mengklaim dirinya sebagai ahli agama justru menebarkan
bibit permusuhan antar agama di kalangan umatnya. Toleransi antar umat beragama
yang dikembangkan selama ini, sekarang menjadi toleransi semu. Toleransi
ditafsirkan seperti suatu masa jeda perdamaian, untuk bersiap-siap kembali berperang.
Sebagai contoh yang terjadi di Indonesia,
paham pertikaian politis dan ekonomis yang dibalut sebagai pertikaian antara
agama Islam dengan Yahudi di negara-negara Timur Tengah dan Arab, saat ini
telah diekspor ke umat Islam di Indonesia. Tiba-tiba saja, saat ini begitu
banyak umat Islam di Indonesia yang begitu membenci orang Yahudi, tanpa tahu
sejarah politik dan ekonomi yang mendasari pertikaian di negara-negara Timur
Tengah dan Arab. Kita telah terkena propaganda dari kaum fanatisme sempit untuk
memecah belah bangsa Indonesia. Kebencian yang sangat tidak sehat ini, sekarang
berkembang lebih jauh kepada umat beragama yang lainnya, seperti agama Nasrani,
Buddha atau Hindu. Begitu juga sebaliknya. Sungguh sangat memprihatinkan
perkembangan kehidupan beragama di Indonesia pada saat ini. Jika kita sebagai
bangsa tidak segera sadar, maka kita berada dalam satu situasi kritis menuju
pertikaian antar umat beragama yang lebih luas.
Akankah kita sudi mengimpor peperangan
berlatar politik dan ekonomi yang dibumbui istilah “perang agama” di Timur
Tengah dan Arab ke tubuh Ibu Pertiwi yang tercinta ini? Lantas apa solusinya?
Coba kembali kita tengok pesan Syeikh Hamzah Fansuri dalam salah satu syairnya
yang berjudul “Burung Pingai” pada bagian 4 di bait 12:
“Ilmunya
ilmu yang pertama,
mazhabnya mazhab ternama,
cahayanya cahaya yang lama,
ke dalam surga bersama-sama.”
mazhabnya mazhab ternama,
cahayanya cahaya yang lama,
ke dalam surga bersama-sama.”
Di dalam syair ini, Syeikh Hamzah Fansuri
membuat permisalan Jati Dirinya sebagai “Unggas Ruhani” yang bernama Burung
Pingai (Burung Yang Berkilau Keemasan). Di dalam syair yang terdiri dari empat
bagian ini, Syeikh Hamzah Fansuri tetap menekankan pada soal Rahman, atau
Kasih. Bagi Syeikh Hamzah Fansuri ilmu tentang Kasih ini adalah ilmu yang
pertama. Mazhab atau aliran keagamaannya atau jalan kesufiannya juga adalah
“Mazhab Kasih”. Cahaya sebagai simbol Kesadaran Murni juga adalah cahaya yang
lama telah ada sejak pencipataan manusia yaitu “Cahaya Kasih”. Jadi, kesimpulan
Syeikh Hamzah Fansuri, jika ilmu dan agama atau kesadaran manusia selalu didasari
oleh Kasih, maka sudah pasti surga atau “keadaan bahagia abadi” akan terwujud.
Namun, surga itu milik bersama, milik semua umat manusia, tanpa membedakan suku
atau agama, pandangan politik atau ideologinya, status sosial atau jumlah
hartanya. Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, surga atau keadaan bahagia abadi itu
adalah hak dasar setiap manusia yang telah menyatu dengan Kasih, dengan Allah
itu sendiri.
Semoga ajaran “Sang Sufi Cinta” dari
tanah Aceh ini bisa bergema kembali di bumi nusantara, khususnya di bumi Nangroe
Aceh Darussalam. Dan marilah kita sebagai bangsa Indonesia berjuang bersama
mewujudkan “Surga-Kasih” dari Syeikh Hamzah Fansuri di negeri Ibu Pertiwi ini.
Semoga Kebahagiaan Ilahi selalu menyinari bangsa Indonesia dan seluruh umat
manusia beserta seluruh mahluk-Nya. Amin.
Pustaka:
- A. Hasjmy, Ruba’I Hamzah Fansuri: Karya Sastra Sufi Abad XVII, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajar Malaysia, 1976.
- Abdul Hadi W.M., Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, Bandung: Penerbit Mizan, 1995.
- Abdul Hadi W.M., Sastra Sufi, Bandung: Penerbit Mizan, 1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar