Prawacana
Salah satu karya Sastra Filsafat yang populer di kalangan Muslim dan Barat adalah Hay bin Yaqhdzan (Si Hidup bin Si Sadar). Karya ini merupakan novel-filsafat yang disusun secara apik dan nyastra oleh Ibn Thufail. Sejak dipublish ke publik kerajaan Muslim Granada, Spanyol, pada abad ke 6 H (abad ke 12 M), karya ini telah menarik perhatian para sastrawan dan filusuf Muslim, baik di Timur maupun di Barat, dan kalangan non-muslim Eropa. Sekalipun, pada awal publikasinya, karya ini dinilai kontroversial dari segi substansi, namun dari sudut pandang sastra, karya ini diakui oleh kalangan linguist Arab sebagai karya yang bernilai sastra tinggi.
Sinopsis Hay Bin Yaqdzan
Novel filsafat ini berkisah tentang perjalanan seorang anak manusia dalam mencari kebenaran dan prinsip-prinsip universal terkait alam semesta dan Penciptanya. Alkisah seorang bayi manusia terdampar di pulau tak bertuan (plato), tak seorangpun menemaninya. Ia hanya dimamah oleh seekor rusa dan diasuh oleh hewan yang ada di sekitarnya; mungkin seperti cerita Tarzan, The Jungle Book (Mowgli), atau George of the Jungle.
Pada perjalanannya ia mampu mengenali dan menjumpai "fitrah primordial"nya di tengah alam primitif (plato), dan pengembaraan intelektual dan jiwanya menuju "kebenaran puncak" (the ultimate truth), tanpa adanya pengaruh sosial dan intelektual sedikit pun. Gagasan inilah yang pada gilirannya betul-betul menguras perhatian intelektual muslim dan non-muslim dengan berbagai madzhab pemikirannya.
Tema sejenis bukanlah yang baru, karena Ibn Sina pun pernah menuliskan karya yang mempunyai gagasan yang sama dalam Salaman dan Absal, sebagaimana dilansir oleh Ahmad Amin. Keduanya menyampaikan "gagasan umum" tentang kesatuan (chemistry) antara manusia dan alam (hewan dan alam lainnya). Hal ini digunakan keduanya sebagai media dan metode untuk mempertunjukkan pengembaraan intelektual seseorang tentan "fitrah primordial"nya serta pencerapan dan pencapaian jiwa manusia pada jiwa metakosmik atau realitas tertinggi.
Yang baru dari karya ini adalah cara Ibn Thufail dalam menggelar gagasan filsafatnya yang dikemas dalam bentuk sebuah roman dengan citarasa tinggi dari keindahan estetika dan etika.
Pada perjalanannya ia mampu mengenali dan menjumpai "fitrah primordial"nya di tengah alam primitif (plato), dan pengembaraan intelektual dan jiwanya menuju "kebenaran puncak" (the ultimate truth), tanpa adanya pengaruh sosial dan intelektual sedikit pun. Gagasan inilah yang pada gilirannya betul-betul menguras perhatian intelektual muslim dan non-muslim dengan berbagai madzhab pemikirannya.
Tema sejenis bukanlah yang baru, karena Ibn Sina pun pernah menuliskan karya yang mempunyai gagasan yang sama dalam Salaman dan Absal, sebagaimana dilansir oleh Ahmad Amin. Keduanya menyampaikan "gagasan umum" tentang kesatuan (chemistry) antara manusia dan alam (hewan dan alam lainnya). Hal ini digunakan keduanya sebagai media dan metode untuk mempertunjukkan pengembaraan intelektual seseorang tentan "fitrah primordial"nya serta pencerapan dan pencapaian jiwa manusia pada jiwa metakosmik atau realitas tertinggi.
Yang baru dari karya ini adalah cara Ibn Thufail dalam menggelar gagasan filsafatnya yang dikemas dalam bentuk sebuah roman dengan citarasa tinggi dari keindahan estetika dan etika.
Biografi Singkat Ibn Thufail
Sastrawan ini bernama lengkap Abu Bakar Muhammad ibn 'Abd al-Malik ibn Muhammad ibn Thufail al-Andalusi al-Qaisi. Ia lahir pada tahun 500 H (1106 M) di lembah 'Asy (Wadi 'Asy atau Guadix) yang terletak di sebelah timur laut Granada, Spanyol. Jenjang karir tertingginya dalam bidang pemerintahan dimulai ketika ia menjadi wazir (kepala bidang administrasi dan eksekutif) di Granada, termasuk ketika wilayah ini berada di dalam lingkaran kekuasaan al-Muwahhidun, Maroko. Pada tahun 549 H (1154), ia diangkat menjadi orang kepercayaan Gubernur Jenderal Ceuta (Sabtah) dan Tanggier (Thanjah atau Tangger). Setelahnya, pada tahun 558 H (1163 M), ia pun ditunjuk menjadi dokter dan penasihat pribadi Abu Ya'kub Yusuf-- khalifah Dinasti Muwahhidun-- dan menjalaninya kurang lebih selama 20 tahun. Pada tahun 578 H (1183 M), ia mengundurkan diri dari jabatannya karena usianya yang udzur. Kedudukannya kemudian digantikan oleh Ibn Khaldun. Ibn Thufail meninggal dunia pada tahun 581 H (1185 M) dan dimakamkan di Marakesh.
Sekalipun ia menduduki berbagai jabatan dalam pemerintahan, kecintaan terhadap ilmu pengetahuan membuatnya selalu haus dan sibuk dengan dunia belajar dan pendidikan. Ia sangat gandrung dengan kajian-kajian filsafat, kedokteran, metafisika, ilmu-ilmu kealaman, ilmu jiwa, dan sastra. Karenanya, tidaklah aneh segudang karya lahir dari tangannya, yang sebagian besarnya dinarasikannya dengan cita rasa sastra yang tinggi, seperti Hay bin Yaqdzan ini.
Sekalipun ia menduduki berbagai jabatan dalam pemerintahan, kecintaan terhadap ilmu pengetahuan membuatnya selalu haus dan sibuk dengan dunia belajar dan pendidikan. Ia sangat gandrung dengan kajian-kajian filsafat, kedokteran, metafisika, ilmu-ilmu kealaman, ilmu jiwa, dan sastra. Karenanya, tidaklah aneh segudang karya lahir dari tangannya, yang sebagian besarnya dinarasikannya dengan cita rasa sastra yang tinggi, seperti Hay bin Yaqdzan ini.
Pengaruh Hay Bin Yaqdzan
Tercatat jumlah yang tidak sedikit dari kalangan intelektual Eropa pada zamannya hingga abad ke-18 menjadikan karya Ibn Thufail ini sebagai rujukan utama, ketika mereka berusama menjelaskan tentang keselarasan antara filsafat dan agama. Bahkan kalangan muslim modern pun banyak yang mendapatkan kajian mendalam mengenai Ibn Thufail dan karya-karyanya, termasuk Hay bin Yaqdzan ini, melalui sarjana-sarjana Eropa.
Tema serupa pernah diusung oleh lusinan pujangga di Timur dan di Barat; mulai dari Daniel Defoe (1660-1731) dalam petualangan Robinson Crusoe yang terdampar sebatang kara di sebuah pulau antah berantah, hingga Rudyard Kipling (1865-1936) dalam romannya yang bertajuk The Jungle Book (ditulis pada 1894-5) yang bertutur tentang seorang bocah bernama Mowgli yag diasuh oleh kawanan serigala.
Tema serupa pernah diusung oleh lusinan pujangga di Timur dan di Barat; mulai dari Daniel Defoe (1660-1731) dalam petualangan Robinson Crusoe yang terdampar sebatang kara di sebuah pulau antah berantah, hingga Rudyard Kipling (1865-1936) dalam romannya yang bertajuk The Jungle Book (ditulis pada 1894-5) yang bertutur tentang seorang bocah bernama Mowgli yag diasuh oleh kawanan serigala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar