Selasa, 25 Oktober 2011

Islam, Agama Populer atau Elitis?


Abdurrahman Wahid
Kompas, 6 Sep 2002

PADA tahun 1950-an dan 1960-an, di Mesir terjadi perdebatan sengit tentang bahasa dan sastra Arab, antara para eksponen modernisasi dan eksponen tradisionalisasi. Dr Thoha Husein, salah seorang tunanetra yang pernah menjabat menteri pendidikan dan pengajaran serta pelopor modernisasi, menganggap bahasa dan sastra Arab harus mengalami modernisasi, jika diinginkan ia dapat menjadi wahana bagi perubahan-perubahan sosial di zaman modern ini. Ia menganggap bahasa dan sastra Arab yang digunakan secara klise oleh sajak-sajak puja (al-madh) seperti bahasa yang digunakan dalam dziba'iyyah dan al-barzanji sebagai dekadensi bahasa yang justru akan memperkuat tradisionalisme dan menentang
pembaruan. Dari pendapat ini dan dari tangan Dr Thaha Husein, lahir para pembaru sastra dan bahasa Arab yang kita kenal kini.
Nama-nama terkenal seperti Syauqi Dhaif dan Suhair al-Qalamawi muncul sebagai bintang-bintang gemerlap dalam perbincangan mengenai pembaruan bahasa dan sastra Arab. Sejak masa itu, muncul mazhab baru bahasa Arab, yang dirasakan oleh mereka sebagai pendorong dinamika dan perubahan sosial. Bahasa dan sastra Arab dari masa lampau, yang lebih berbau agama dikesampingkan oleh kebangkitan kembali bahasa dan sastra Arab masa pra-Islam ('asr al-jabiliyah).
      Dalam pandangan ini, produk-produk dekaden harus dikesampingkan, guna memberi jalan kepada proses modernisasi bahasa dan sastra Arab. Ini merupakan reaksi terhadap faham serba agama yang merajai Timur Tengah sebelum itu, sejalan dengan tumbuhnya nasionalisme Arab (al-qawmiyyah al-arabiyyah) yang kala itu menjadi pikiran dominan di kalangan para pemikir Arab. Dengan demikian, tradisionalisme yang dibawakan agama, dianggap sebagai penghalang munculnya kecenderungan baru itu. Karena sifatnya yang intelektual, pandangan ini tidak langsung diikuti rakyat kebanyakan, hanya menjadi pemikiran elitis kaum cendekiawan di negeri-negeri Arab selama 25 tahun.
      Di negeri kita juga berkembang kemunculan kelompok nasionalis, namun tidak dengan sikap memandang rendah tradisionalisme yang dibawakan agama. Namun, ada persamaan antara pandangan elitis antitradisionalisme bahasa dan sastra Arab di kalangan bangsa-bangsa Arab, dan elitisme kaum cendekiawan yang tidak menyentuh pikiran-pikiran rakyat awam di negeri itu. Dengan demikian, agama dengan tradisionalismenya tidak dipersalahkan jika menghambat kemajuan. Mungkin ini disebabkan kekuatan politik organisasi tradisional agama, seperti NU. Tradisionalisme agama yang dibawakan justru menyatu dengan kaum nasionalis, karena keduanya harus berhadapan dengan modernisme non-ideologis yang datang dari Barat, dalam berbagai bentuk. Yang terpenting di antaranya adalah pragmatisme yang dibawakan faham teknokrasi, yang di permukaan berarti penyerahan diri total kepada sistem nilai yang dimiliki orang-orang Barat.
        Modernisasi dianggap sebagai pengikisan tradisionalisme agama dan rasa kebangsaan kaum nasionalis. Tidak heran, jika yang muncul di permukaan adalah manifestasi tradisionalisme agama itu sendiri. Digabung dengan semangat nasionalisme yang mengagungkan kejayaan masa lampau, kedua kecenderungan itu menampilkan tradisionalismenya sendiri: anti-Barat, antipenuhnya rasionalisme dan penghormatan berlebihan kepada masa lampau. Bila hal ini diingat benar, dengan sendirinya kita melihat kedangkalan pendekatan tradisional itu, dan mengembalikan pertimbangan-pertimbangan rasio ke tempatnya semula.
     Manifestasi budaya dari munculnya kembali tradisionalisme agama itu, seperti terlihat dalam belantika musik kita dewasa ini. Musik Arab tradisional dengan enam belas birama (bahr, pluralnya buhur) seperti ada dalam sajak-sajak Arab tradisional yang hampir seluruhnya didominasi sajak-sajak keagamaan, muncul sebagai "wakil agama" dalam belantika musik kita dewasa ini. Pembaruan bahasa dan sastra nasional, yang dirintis Sutan Takdir Ali Syahbana tidak sampai menyentuh akar tradisionalisme agama itu dan sebagai akibatnya kita melihat sebuah penampilan yang lucu: bahasa dan sastra nasional yang diperbarui dan berwatak kontemporer dan-pada saat yang sama, menampilkan tradisionalisme agama.
       DENGAN memperhatikan kenyataan itu, kita sampai pada sebuah pertanyaan fundamental: haruskah kehidupan beragama kita semata-semata berwatak tradisional dan adakah penggunaan rasio dalam menyegarkan kembali tradisionalisme agama itu dianggap sebagai "bahasa"? Pertanyaan ini patut dipikirkan jawabannya secara mendalam, karena percampuran antara semangat kebangsaan kaum nasionalis dan tradisionalisme agama hanya membawa hasil positif di bidang politik belaka, bukan di bidang budaya dan bahasa. Tradisionalisme agama tidak menyukai ideologi-agama dalam kehidupan bernegara, seperti terbukti dari penolakan atas Piagam Jakarta.
      Kehidupan beragama kita, yang dengan sendirinya membawakan aspek kebudayaan dalam kebudayaan kita, bagaimanapun juga harus berwatak rasional. Apa yang dikemukakan AA Navis dalam cerpen Robohnya Surau Kami adalah rasionalitas kehidupan beragama yang kita perlukan, bukannya sesuatu yang harus ditakuti. Ini tidak berarti memandang rendah tradisionalisme agama, karena elemen-elemen positif dan rasional dari tradisionalisme itu sendiri harus kita teruskan. Tetapi, unsur-unsur irasional yang akan menghambat pem-fungsi-an tradisionalisme itu sendiri harus diganti dengan nilai-nilai rasional yang akan menjamin kelangsungan tradisionalisme agama itu sendiri. Sama halnya dengan kontrareformasi yang dijalani gereja Katolik Roma, yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup tradisionalisme agamanya. Penggunaan gamelan di satu sisi-misalnya, dan musik hardrock serta rap di sisi lain, sama-sama rasionalnya dalam penyampaian pesan-pesan gerejawi melalui misa dan sebagainya.
      Dengan demikian, revitalisasi tradisionalisme agama amat diperlukan, dalam bentuk memasukkan unsur-unsur rasional ke dalamnya, hingga tradisionalisme agama itu sendiri dapat dirasakan sebagai kebutuhan baik di kalangan elitis yang diwakili para cendekiawan, maupun rakyat jelata yang mengembangkan tradisionalisme agama populis. Di sinilah terletak tantangan yang dihadapi Islam di negeri kita, dengan penduduk Muslimnya yang berjumlah lebih dari 170 juta jiwa. Masalahnya kini, bagaimana mengembangkan modernisme agama dan tradisionalisme agama yang serba rasional, dan menghindarkan agar keduanya tidak bertabrakan secara praktis. Dapatkah kaum Muslimin di negeri ini mencapai hal itu?

Dijumput dari: http://www.gusdur.net/Thoughts/Detail/?id=39/hl=id/Islam_Agama_Populer_Atau_Elitis

2 komentar: