Salah satu pengaruh metafisis paling mendalam terhadap dunia Muslim
maupun Kristen adalah ajaran Ibnu Arabi as-Sufi, dalam bahasa Arab
disebut asy-Syekh al-Akbar (Mahaguru). Ia keturunan Hatim ath-Tha'i,
yang masih termasyhur di kalangan bangsa Arab sebagai laki-laki paling
dermawan yang pernah dikenal dan dalam Ruba'iyat versi FitzGerald
disebutkan, "Ijinkan Hatim ath-Tha'i berseru: Pesta! "Jangan hiraukan
dia!" (maksudnya karena terlalu seringnya menjamu orang-orang lain).
Spanyol
telah menjadi negeri Arab selama lebih dari empat abad ketika Ibnu
Arabi (dari) Murcia dilahirkan pada 1164. Diantara nama-namanya adalah
al-Andalusi, dan tidak diragukan dia lah salah satu tokoh terbesar dari
beberapa tokoh besar Spanyol yang pernah hidup. Secara umum diyakini
bahwa tidak
ada puisi cinta yang lebih besar dari karyanya; dan tidak ada seorang Sufi yang begitu mendalam menarik perhatian para teolog ortodoks dengan makna batin dari kehidupan dan karyanya.
ada puisi cinta yang lebih besar dari karyanya; dan tidak ada seorang Sufi yang begitu mendalam menarik perhatian para teolog ortodoks dengan makna batin dari kehidupan dan karyanya.
Latar
belakang Sufinya, menurut para ahli biografi, adalah bahwa ayahnya
pernah berhubungan dengan Abdul Qadir al-Jilani yang agung,
Sulthanul-Ikhwan (1077-1166). Ibnu Arabi sendiri disebutkan terlahir
sebagai akibat pengaruh spiritual Abdul Qadir, yang meramalkan bahwa ia
akan menjadi seorang dengan anugerah yang sangat luar biasa.
Ayahnya
memastikan untuk memberikan pendidikan terbaik yang mungkin baginya,
sesuatu yang diberikan bangsa Moor Spanyol pada waktu itu, hingga pada
suatu tingkatan yang tidak tertandingi di mana saja. Ia pergi ke
Lisabon, di mana ia belajar Fiqih dan Kalam. Berikutnya, ketika masih
anak-anak, ia pergi ke Sevilla, di mana ia belajar al-Qur'an serta Hadis
di bawah bimbingan para ulama terbesar pada masanya. Di Cordoba ia
menghadiri kuliah-kuliah dari Syekh asy-Syarrat al-Kabir, dan
mengkhususkan dirinya dalam jurisprudensi.
Selama periode ini,
Ibnu Arabi memperlihatkan kualitas-kualitas intelek jauh melebihi mereka
yang sezamannya, meskipun mereka berasal dari elite skolastik dimana
dalam keluarga-keluarga semacam ini kapasitas intelektual sangatlah
masyhur pada zaman pertengahan. Selama masa remajanya, di luar disiplin
ketat pada sekolah-sekolah akademik tersebut, ia habiskan semua waktu
dengan para Sufi, dan mulai menulis puisi.
Ia tinggal di Sevilla
selama tiga dekade, puisi dan kefasihan bahasanya menempatkannya pada
posisi puncak di atmosfir Spanyol yang berperadaban tinggi, begitu juga
di Maroko, yang juga merupakan pusat kehidupan kebudayaan.
Dalam
beberapa hal Ibnu Arabi menyerupai al-Ghazali (1058-1111). Seperti
al-Ghazali, ia berasal dari sebuah keluarga Sufi, dan berpengaruh
terhadap dunia Barat. Juga seperti al-Ghazali, ia sangat menguasai
ajaran (ortodoks) Islam. Tetapi jika al-Ghazali pertama kali menguasai
skolastisisme Islam, kemudian setelah merasa tidak cukup, ia berpaling
ke Sufisme pada puncak kebesarannya; sementara Ibnu Arabi, melalui
hubungan dan puisi, mempertahankan suatu hubungan berkelanjutan dengan
arus Sufistik. Al-Ghazali mendamaikan Sufisme dengan Islam, menjadikan
orang-orang skolastik memahami bahwa Sufisme bukan suatu bid'ah, tetapi
suatu makna batin agama. Misi Ibnu Arabi adalah untuk menciptakan
kesusastraan Sufi dan menyebabkannya dipelajari, hal mana masyarakat
mungkin bisa memasuki semangat Sufisme -- menemukan para Sufi melalui
keberadaan dan ungkapannya, apa pun latar belakang budayanya.
Bagaimana
proses ini bekerja, dicontohkan dalam sebuah ulasan Profesor R.A.
Nicholson yang terkenal itu, yang menterjemahkan karya Ibnu Arabi,
Tarjuman al-Asywaq (Penterjemah Kerinduan):
Adalah benar bahwa
sebagian puisi itu tidak bisa dibedakan dari kidung cinta biasa, dan
ketika melihat sebagian besar dari teks itu, sikap dari orang-orang
sezaman dengan penulisnya, yang menolak untuk mempercayai bahwa karya
ini memiliki suatu pandangan esoterik, adalah wajar dan bisa dipahami.
Di sisi lain ada banyak bagian yang sepenuhnya bersifat mistis dan
memberikan kunci pemahaman untuk bagian lainnya. Jika orang-orang yang
skeptis kurang memiliki kemampuan membedakan, mereka layak memperoleh
rasa terima kasih kita karena mendorong Ibnu Arabi untuk mengajari
mereka. Tentu saja tanpa bimbingannya, semua pembaca yang simpatik sulit
menemukan makna tersembunyi dimana kemurnian dan keindahannya yang
fantastik berasal dari sebuah lagu (qasidah) Arab.1
Banyak sekali
peninggalan tulisan-tulisan Ibnu Arabi yang sampai saat ini dikaji
sekaligus diperdebatkan, dibanding para Sufi lainnya. Sebagian
tulisan Ibnu Arabi ditujukan kepada mereka yang telah memahami mitologi
kuno dan disusun dengan istilah-istilah tersebut. Sebagian yang
berhubungan dengan dunia Kristen berperan sebagai pembuka jalan bagi
orang-orang yang mempunyai komitmen kepada Kristen. Puisi lainnya
berperan memperkenalkan jalan Sufi melalui wahana puisi cinta. Tidak
seorang pun bisa menjelaskan semua karyanya hanya melalui makna
skolastik, keagamaan, romantik dan perlengkapan intelektual. Hal ini
membawa kita pada isyarat lain dari misinya yang terkandung dalam
namanya.
Menurut tradisi Sufi, misi Ibnu Arabi adalah
"menyebarkan" (bahasa Arabnya adalah nasyr, NSYR) ajaran Sufi melalui
pandangan kontemporer dan berhubungan dengan berbagai tradisi hidup
dalam masyarakat. Pandangan tentang penyebaran ini tentu saja absah dan
sesuai dengan pemikiran Sufi. Karena istilah Sufi untuk kata penyebaran
(NSYR) pada waktu itu tidak dipergunakan secara umum, Ibnu Arabi
menggunakan sebuah alternatif. Di Spanyol ia dikenal sebagai Ibnu
Saraqa, "anak gergaji". Akan tetapi Saraqa dengan akar kata SRQ
merupakan kata lain dari gergaji yang diambil dari akar kata NSYR. Akar
kata NSYR jika diubah secara normal bermakna "penerbitan, penyebaran",
dan juga bermakna "menggergaji". Kata ini juga bermakna menghidupkan.
Nama pribadi Ibnu Arabi, Muhyiddin, diterjemahkan dengan "Yang
Menghidupkan Agama."2
Dengan mengambil akar kata NSYR secara
literal, seperti hampir semua sarjana melakukannya, bahkan menyebabkan
seorang sejarawan yang terhormat semacam Ibnu al-Abbar menyimpulkan
bahwa ayahnya adalah seorang tukang kayu. Ia hanya bisa dikatakan
sebagai "tukang kayu" dalam pengertian kedua sebagaimana dikenal oleh
para Sufi yang menggunakan istilah untuk pertemuan mereka, dalam
menjelaskan jamaah mereka di suatu tempat bagi sejumlah orang yang tidak
ingin terlihat sebagai kelompok penentang.
Sebagian pernyataan
Ibnu Arabi yang diambil dari karya-karyanya sendiri sangat mengejutkan.
Dalam kitab Fushushul-Hikam, ia mengatakan bahwa Tuhan tidak pernah
dilihat dalam suatu bentuk material. "Pandangan tentang Tuhan dalam
perempuan adalah pandangan paling sempurna". Bagi Sufi, puisi cinta
sebagaimana puisi lainnya, mampu memantulkan suatu pengalaman ketuhanan
yang utuh dan koheren seraya memenuhi fungsi-fungsi lainnya. Setiap
pengalaman Sufi merupakan suatu pengalaman mendalam dan mengandung
ketidakterbatasan kualitatif. Bagi orang awam, satu kata hanya memiliki
satu makna, atau satu pengalaman tidak memiliki sejumlah arti penting
yang sama-sama valid. Keberagaman wujud merupakan sesuatu yang, meskipun
ditolak oleh kalangan non-Sufi, seringkali dilupakan oleh mereka ketika
membahas materi Sufi. Paling jauh mereka biasanya hanya dapat memahami
bahwa ada sebuah alegori bagi mereka hanya memiliki satu makna.
Kepada
para teolog yang membatasi diri pada formalisme ketuhanan, Ibnu Arabi
secara terang-terangan mengatakan bahwa, "Malaikat sebenarnya merupakan
kekuatan-kekuatan tersembunyi dalam fakultas-fakultas dan organ-organ
manusia." Tujuan Sufi adalah menghidupkan organ-organ ini. Tanpa
mempertimbangkan perbedaan antara formulasi dan pengalaman, Dante3
mengambil alih karya sastra Ibnu Arabi dan mengkristalkannya dalam suatu
kerangka kerja yang mungkin sedang berlaku. Untuk melakukan hal itu, ia
telah mencuri pesan Ibnu Arabi dari validitas Sufinya dan benar-benar
mengabaikan Profesor Asin dengan suatu contoh abadi dari apa yang oleh
pikiran modern hampir berpuncak pada perampasan gagasan. Sebaliknya,
Raymond Lully mengambil alih bahan kesusastraan Ibnu Arabi, namun
disamping itu menekankan arti penting latihan-latihan Sufi yang
diperlukan untuk menyempumakan pengalaman Sufistik.
Ibnu Arabi
yang belajar di bawah bimbingan perempuan Sufi Spanyol, Fatimah binti
Waliyya, tidak diragukan bahwa ia cenderung pada keadaan-keadaan fisik
tertentu; yang hal ini juga digunakan oleh para Sufi. Ia merujuk hal ini
di berbagai kesempatan. Sebagian karyanya ditulis dalam keadaan "mabuk"
(trance), dan maknanya tidak jelas baginya sampai setelah beberapa saat
penulisannya. Ketika berumur tiga puluh tujuh tahun, ia mengunjungi
Ceuta, di mana ia memperbaharui madzhab Ibnu Sabain (penasehat Kaisar
Roma, Frederick). Di sana ia mengalami mimpi aneh yang ditakwilkan oleh
seorang ulama masyhur. Orang alim itu mengatakan, "Tidak bisa diukur ...
jika orang itu ada di Ceuta, ia tidak lain adalah anak muda Spanyol
yang baru datang."
Sumber inspirasinya adalah mimpi dimana
kesadarannya masih aktif Dengan melatih fakultas Sufi ini, ia mampu
menghasilkan suatu hubungan dengan realitas terakhir (supermatif) dari
akal batinnya -- realitas yang dijelaskannya mendasari penampakan dunia
biasa. Ajarannya menekankan arti penting pelatihan
fakultas-fakultas ini yang tidak diketahui oleh semua orang dan oleh
banyak orang telah diserahkan pada okultisme yang konyol. "Seseorang,"
tuturnya, "harus mengendalikan pikiran-pikirannya dalam mimpi. Dengan
melatih kesigapan ini, ia akan menghasilkan kesadaran tentang dimensi
perantara. Kesadaran ini akan mendatangkan manfaat besar bagi individu
itu. Setiap orang seharusnya melatih diri untuk mencapai kemampuan yang
sangat besar nilainya itu."4
Tidak akan ada gunanya untuk mencoba
menafsirkan Ibnu Arabi dari satu pandangan yang pasti. Ajaran-ajarannya
diambil dari pengalaman-pengalaman batin, kemudian disajikan dalam
suatu bentuk yang mempunyai suatu fungsi. Jika puisinya mempunyai makna
ganda dan sering demikian, ia bukan saja bertujuan menyampaikan kedua
makna itu, tetapi juga menegaskan bahwa keduanya adalah valid. Jika
puisi ini dinyatakan dalam istilah-istilah yang digunakan oleh
orang-orang sebelumnya, hal ini tidak dimaksudkan harus dipahami sebagai
bukti pengaruh luar. Apa yang diperbuatnya dalam hal ini adalah
ditujukan kepada dirinya sendiri untuk orang-orang dalam istilah yang
membentuk sebagian latar belakang budaya mereka sendiri. Ada puisi-puisi
Ibnu Arabi yang bisa dibaca dalam pengertian yang berubah-ubah --
maknanya bermula dalam suatu tema dan kemudian berubah ke tema lainnya.
Ia melakukan hal ini secara sengaja, dengan tujuan untuk mencegah proses
asosiasi otomatis yang akan membawa pembaca ke dalam kenikmatan biasa,
sebab Ibnu Arabi adalah seorang guru, bukan seorang penghibur.
Bagi
Ibnu Arabi, sebagaimana bagi semua Sufi, Muhammad mewakili Insan Kamil.
Pada saat yang sama, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud "Muhammad"
dalam konteks ini. Dalam persoalan ini Ibnu Arabi lebih tegas
dibandingkan persoalan lainnya. Ada dua versi maksud kata Muhammad --
sosok manusia yang hidup di Mekkah dan Madinah serta Muhammad yang hidup
abadi. Muhammad yang terakhir inilah yang dibicarakannya. Muhammad
dalam pengertian kedua ini diidentifikasikan dengan semua Nabi, termasuk
Yesus. Gagasan ini menyebabkan klaim di kalangan Kristen bahwa Ibnu
Arabi atau para Sufi atau keduanya adalah orang-orang Kristen rahasia.
Klaim Sufi adalah bahwa individu-individu yang telah melaksanakan
fungsi-fungsi tertentu pada dasarnya adalah satu. Kesatuan ini mereka
sebut dengan asal-usulnya sebagai Haqiqatul-Muhammadiyyah.
Dalam
karyanya yang menjadi rujukan utama Sufi, Insan Kamil, al-Jili
menjelaskan inkarnasi Hakikat (Muhammadiyah) ini kepada semua orang. Ia
berusaha menggambarkan faktor esensial ini dengan memperlihatkan
keberagaman dari apa yang kita sebut seorang individu. Sebagai contoh,
Muhammad artinya "Yang Terpuji". Nama lainnya, sebagai suatu pemaparan
dari suatu fungsi, adalah Ayah al-Qasim. Dan namanya, yaitu Abdullah, ia
berfungsi sesuai dengan makna literalnya -- Hamba Allah. Nama-nama
adalah kualitas-kualitas atau fungsi-fungsi. Inkarnasi adalah satu
faktor sekunder: "Ia diberi nama-nama dan di setiap masa memiliki satu
nama yang sesuai dengan wujud yang ada pada masa itu. Ketika ia dilihat
sebagai Muhammad, ia adalah Muhammad, namun ketika dilihat dalam bentuk
lain, maka ia disebut dengan nama bentuk itu sendiri."
Ini bukan
suatu teori reinkarnasi, meskipun teori ini sangat mirip. Realitas
esensial yang menghidupkan manusia dengan sosok Muhammad atau lainnya
ini harus diberi nama sesuai dengan lingkungannya. Mereka yang
menggunakan sikap ini dengan doktrin Logos dari Plotinus, menurut para
Sufi, berarti menisbatkan suatu hubungan historis pada suatu situasi
yang mempunyai realitas obyektif para Sufi tidak meniru doktrin Logos,
meskipun ide tentang Logos dan Hakikat Muhammadiyah mempunyai sumber
yang sama. Pada akhirnya, sumber informasi Sufi dalam persoalan ini
adalah pengalaman pribadi Sufi, bukan formulasi kepustakaan sebagai
salah satu manifestasi historisnya. Perangkap pemikiran historis, yang
beranggapan bahwa tidak ada sumber batiniah pengetahuan yang mendasar
dan harus mencari inspirasi kepustakaan dan superfisial, tetap dihindari
oleh para Sufi. Beberapa mahasiswa Barat yang mengkaji Sufisme, hal ini
harus diakui, telah menekankan kemiripan lahiriah, sementara
terminologi atau waktu tidak membuktikan penyampaian gagasan esensial
itu.
Ibnu Arabi telah membingungkan para sarjana, sebab ia adalah
orang yang dalam Islam disebut sebagai seorang konformis dalam agama,
sementara ia tetap seorang esoteris. Seperti semua Sufi, ia mengklaim
bahwa ada suatu kemajuan koheren, sinambung dan sepenuhnya bisa diterima
oleh setiap agama formal, dan pemahaman batin dari agama itu yang akan
membawa pada pencerahan pribadi. Biasanya doktrin ini tidak bisa
diterima oleh para teolog (mutakallimun) dengan kepentingannya yang
bergantung pada banyak atau tidaknya fakta-fakta statis, bahan sejarah
dan kekuatan penalaran.
Meskipun Ibnu Arabi dicintai oleh semua
Sufi, mempunyai banyak pengikut pribadi dan menjalankan fungsi teladan
kehidupan, tidak diragukan ia merupakan suatu ancaman bagi kalangan
formalis. Seperti al-Ghazali, kekuatan intelektualnya lebih unggul dari
semua orang sezamannya yang lebih konvensional (di bidang pemikiran).
Alih-alih menggunakan berbagai kemampuan ini untuk mengukir satu tempat
dalam skolastisisme, ia menyatakan -- seperti banyak Sufi lainnya --
bahwa jika seseorang memiliki intelek yang kuat, fungsi terakhirnya
adalah memperlihatkan bahwa intelektualitas hanyalah suatu sarana
pengantar kepada sesuatu yang lain. Sikap ini bukan suatu kesombongan --
apalagi kalau kita benar-benar bertemu dengan orang semacam ini dan
mengetahui kerendahan hatinya.
Banyak orang bersimpati kepadanya,
tetapi tidak berani mendukungnya, sebab mereka bekerja pada tataran
formal, sementara ia bekerja pada tataran rahasia. Seorang alim yang
terhormat menurut riwayat mengatakan, "Aku sama sekali tidak meragukan
bahwa Muhyiddin (Ibnu Arabi) adalah seorang pembohong besar. Ia adalah
pemuka kalangan ahli bid'ah dan seorang Sufi yang tidak tahu malu." Akan
tetapi seorang teolog besar, Kamaluddin Zamlaqani menegaskan, "Betapa
bodohnya mereka yang menentang Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi! Pernyataannya
yang sublim dan tulisannya yang bernilai itu terlalu tinggi bagi
pemahaman mereka."
Dalam sebuah kesempatan yang masyhur, guru
pembaharu Syekh Izuddin ibnu Abdussalam sedang memimpin sekelompok murid
mempelajari fiqih. Selama berlangsung suatu diskusi, pertanyaan tentang
definisi bid'ah muncul. Seorang murid menyebut Ibnu Arabi sebagai
contoh utama. Sang guru tidak menyanggah penegasan ini. Kemudian ketika
makan malam dengan guru ini, Salahuddin yang pada masa selanjutnya
menjadi Syekh al-Islam, bertanya kepadanya, siapakah alim paling
terkemuka pada masanya:
"Ia menjawab, 'Menurut Anda siapa?
Teruslah makan.' Aku menyadari bahwa ia tahu. Aku berhenti makan dan
menekannya untuk menjawab pertanyaanku dengan menyebut nama Allah. Ia
tersenyum dan berkata, 'Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi.' Untuk sesaat aku
terkejut sehingga tidak bisa berkata-kata. Syekh itu bertanya kepadaku
tentang keadaanku saat itu. Kujawab, 'Aku heran, sebab pada pagi ini
seseorang mengatakan bahwa ia adalah ahli bid'ah. Pada saat itu, Anda
justru tidak menyanggahnya. Sekarang Anda menyebut Muhyiddin sebagai
Wali al-Quthb di Zaman Ini, manusia teragung yang pernah hidup, guru
dunia'."
"Ia mengatakan, 'Kala itu aku berada di tengah-tengah pertemuan para ulama, para fuqaha'."
Penentangan
utama terhadap Ibnu Arabi disebabkan koleksi karya puisinya yang sangat
mengagumkan dan mengejutkan -- puisi Cinta yang dikenal sebagai
Penterjemah Kerinduan (Tarjuman al-Asywaq). Puisi ini sangat sublim,
mengandung begitu banyak kemungkinan makna dan penuh dengan khayalan
fantastik, sehingga ia bisa menimbulkan pengaruh magis bagi pembacanya.
Bagi para Sufi, karya ini dipandang sebagai produk perkembangan paling
jauh dari kesadaran kemanusiaan. Mungkin akan adil bila ditambahkan
bahwa D.B. MacDonald memandang luapan rasa Ibnu Arabi itu sebagai "suatu
paduan aneh antara teosofi dan paradoks-paradoks metafisik. Semuanya
lebih menyerupai teosofi pada masa kita sekarang."
Bagi para
sarjana, salah satu hal penting dalam kitab Tarjuman al-Asywaq adalah
masih adanya komentar tentang puisi-puisi itu yang dibuat oleh
penulisnya sendiri; di dalamnya ia menjelaskan bagaimana metafora
disesuaikan dengan agama Islam ortodoks. Hal ini hanya bisa dikaji
dengan menghadapkan latar belakang sejarah kitab tersebut.
Pada
tahun 1202, Ibnu Arabi memutuskan untuk pergi Haji. Setelah menghabiskan
beberapa waktu perjalanannya melalui Afrika Utara, tibalah ia di
Mekkah. Di sana bertemu dengan sekelompok imigran Persia, para mistikus
(Sufi?) yang menyambut dan menerimanya memasuki kelompok tersebut,
meskipun ia dituduh melakukan bid'ah dan keburukan di Mesir. Ia nyaris
terbunuh pada percobaan pembunuhan oleh seorang fanatik.
Ketua
komunitas Persia itu bernama Mukinuddin. Ia memiliki seorang putri yang
cantik, Nizam, salehah dan menguasai fiqih. Berbagai pengalaman
spiritualnya di Mekkah dan pernyataan simbolisnya tentang jalan mistik,
diungkapkan dalam puisi-puisi cinta yang dipersembahkan kepada Nizam.
Ibnu Arabi menyadari bahwa kecantikan manusia berkaitan dengan realitas
ketuhanan. Karena itulah ia mampu menghasilkan puisi-puisi yang
mengagumi kesempurnaan gadis itu dan juga sekaligus, dalam perspektif
yang benar, menggambarkan suatu realitas yang lebih dalam. Tetapi
kemampuan untuk melihat hubungan itu ditolak oleh para agamawan formal
yang memandangnya sebagai skandal.
Para pendukung Ibnu Arabi
memperlihatkan, seringkali dengan rahasia, bahwa kebenaran sejati
mungkin dinyatakan dengan berbagai cara sekaligus. Mereka merujuk pada
cara Ibnu Arabi dalam mengangkat mitos dan legenda maupun sejarah
tradisional, untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran esoteris yang
tersembunyi di dalamnya, demikian pula nilai kesenangannya. Konsep
keberagaman makna dari suatu faktor dan yang sama ini kurang dipahami
pada masanya maupun saat ini. Pemahaman terdekat dari orang awam yang
bisa diperoleh dari hal ini adalah pengakuan bahwa "seorang cantik
adalah karya seni Ilahi". Ia tidak mampu memahami perempuan cantik dan
ketuhanan dalam waktu yang bersamaan. Hal ini adalah problema umum dari
pernyataan Sufi dalam suatu pilihan kata-kata yang sangat terbatas.
Oleh
karena itu, kitab Tarjuman al-Asywaq karya Ibnu Arabi itu terkesan
sebagai sebuah kumpulan puisi erotik. Ketika ia pergi ke Aleppo di
Syria, sebuah pusat ortodoksi keagamaan, ia mendapati bahwa para ulama
(ortodoks) Islam yang mengatakannya sebagai pembohong semata, berupaya
membenarkan puisi erotiknya dengan mengklaim suatu makna yang lebih
dalam. Tiba-tiba ia mulai membuat sebuah komentar untuk membawa karya
tersebut ke dalam pandangan ortodoks. Hasilnya para ulama itu
benar-benar merasa puas, sebab penulisnya telah berperan dalam mendukung
penafsiran mereka sendiri tentang hukum keagamaan dengan menjelaskan
makna-makna dalam karyanya itu. Meskipun demikian, bagi Sufi, ada makna
ketiga dalam kitab itu. Dengan menggunakan terminologi yang lazim, Ibnu
Arabi sedang memperlihatkan kepada mereka bahwa berbagai superfisialitas
itu bisa jadi benar, bahwa cinta manusia bisa jadi sepenuhnya absah;
namun aktualitas kedua hal ini telah menutupi suatu kebenaran batin,
atau perluasan maknanya.
Realitas batin inilah yang dirujuknya
ketika ia menerima semua formalisme, meski demikian menyatakan suatu
kebenaran di balik dan di luarnya. Profesor Nicholson telah
menterjemahkan salah satu puisi yang paling mengejutkan kalangan
agamawan yang saleh dan meyakini bahwa kepercayaan mereka merupakan
jalan bagi penyelamatan manusia:
Hatiku bisa menjelma berbagai bentuk:
Sebuah biara bagi pendeta, dupa untuk berhala,
Sebuah padang rumput bagi rusa-rusa.
Aku lah Ka'bah bagi orang-orang yang shalat,
Lembaran-lembaran Taurat dan al-Qur'an.
Cinta adalah agama yang kupegang: ke mana pun.
Kendaraan dalam melangkah, Cinta tetap agama dan keyakinanku.
Orang
yang berpikiran romantis mungkin memahaminya dengan makna yang biasa
dikenal, jenis cinta kuantitatif yang secara otomatis oleh pikirannya
dikaitkan dengan kata-kata, "Itulah yang dimaksud Ibnu Arabi." Bagi Sufi
yang biasa menggunakan tema "cinta", Sufisme hanyalah satu bagian,
terbatas, dimana di baliknya, di bawah keadaan-keadaan biasa, tidak
pernah dirambah oleh orang kebanyakan.
Catatan kaki:
- Kitab Tarjuman al-Asywaq (Interpreter of Desires), terjemahan R.A. Nicholson, London, 1911, hlm. 7. Pendapat Nicholson tentang Sufisme harus didekati dengan hati-hati. Sebagai contoh adalah pernyataannya yang sangat mengejutkan, hampir tidak bisa dipahami untuk seorang Sufi, "Dengan mengaku mencintai suatu abstraksi universal, mereka menjadikan individu tertentu sebagai obyek penyembahan mereka." (Selections from the Diwan-i-Shams-i-Tabriz, tr. Nicholson, Cambridge, 1898, hlm. xxi).
- Lihat anotasi "NSYR".
- Miguel Asin Palacios, Islam and the Divine Comedy, tr. H. Sunderland, New York, E.P. Dutton, 1926.
- Dikutip oleh Ibnu Syadakin.
Judul Buku: Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi
Pengarang: Idries Shah
Judul asli: The Sufis, Penterjemah M. Hidayatullah dan Roudlon, S.Ag.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar