Dalam novel ini Najib Kailani mencoba
mengungkap nilai-nilai kemanusiaan dari sebuah pergolakan ideology yang terjadi
di negeri Ethiopia. Sebuah kegelisahan seorang
Iyasu yang tidak pernah puas
dengan kondisi sekitarnya yang penuh dengan kemunafikan dari para pemuka agama.
Sebuah pencarian yang dalam tentang nilai-nilai universal kemanusiaan. Tentang
kebebasan beragama, ketenangan, kejujuran, dan tentang agama kebenaran.
Pencarian yang akhirnya ia harus terusir dari kekuasaannya karena ia terus
berpegang teguh dengan apa yang diyakininya. Dan pada akhirnya pula Ethiopia
harus jatuh ke tangan Negara lain, akibat dari ketamakan seorang Tafari,
seorang gubernur di salah satu wilayah Ethiopia yang juga seorang kerabat
kekaisaran. Karena dia tidak setuju dengan usulan-usulan kaisar muda yang
memberikan kebebasan beragama bagi rakyatnya.
Perang Dunia I sudah lama berakhir. Dia
telah menjadi bagian dari sejarah. Paling tidak, ia menjadi saksi atas
kekalahan Turki melawan Negara-negara sekutu yang menyebabkan negeri tua itu
runtuh pada tahun 1924 M. di tangan Sultan Abdul Hamid II Turki mengalami kehancuran
yang disebabkan oleh Mustafa Kemal At- Taturk. Namun, jauh sebelum itu ia telah
menjadi singa ompong yang hanya mampu menkaut-nakuti orang saja. Banyak
pejabatnya yang korup dan sudah tidak memperhatikan rakyatnya. Yang mereka
pikirkan hanyalah kesenangan diri dan keluarga masing-masing. Dan rasanya tidak
ada yang patut dicontoh dari semua ketamakan itu, dan tidak pula patut untuk
dikenang dari semua kepahitan itu selain pelajaran. Dan inilah yang dengan baik
ingin diungkap dan diberikan oleh Najib Kailani dari novelnya. Secara tidak
langsung, dengan berkaca pada peristiwa-peristiwa di atas Najib Kailani mencoba
menggambarkannya dalam novel yang berjudul Bayang-Bayang
Hitam.